Menuju konten utama

Masalah Ganti Rugi yang Tak Kunjung Disepakati

Proses ganti rugi tanah warga untuk Bandara Internasional Kulonprogo hingga saat ini masih menyisakan banyak masalah. Mereka yang semula setuju akhirnya menarik diri karena simpang siur ketentuan. Padahal, banyak warga yang mengaku sudah bisa memahami perlunya pembangunan bandara.

Masalah Ganti Rugi yang Tak Kunjung Disepakati
Ratusan warga yang tergabung dalam Forum Komunikasi Penggarap Lahan Pesisir (FKPLP) menggelar aksi di depan Gedung DPRD, DI Yogyakarta, Kamis (15/9). Dalam aksinya warga terdampak pembangunan bandara Kulonprogo, menuntut kompensasi ganti rugi sebesar sepertiga dari total Rp727 miliar. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Proses pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo sudah mencapai tahapan pembayaran kepada warga terdampak. Sebagian warga Kecamatan Temon sudah menerima uang pengganti, tapi masih ada warga dari desa Ngringgit dan Punggahan yang mengalami penundaan karena berbagai macam persoalan tanah yang belum selesai. Direncanakan warga desa Ngringgit dan Punggahan akan menerima pembayaran pada 7 November 2016. Artinya, mereka akan menyerahkan hak kepemilikan tanah kepada Angkasa Pura.

Ditemui di rumah salah seorang warga Ngringgit, Sumaryadi menjelaskan persoalan-persoalan yang belum selesai itu. Selain masalah pembayaran, ada juga persoalan lokasi relokasi untuk warga juga belum jelas. Ketidakjelasan itulah yang membuat ada warga yang sebelumnya sudah bersedia direlokasi akhirnya berbalik sikap.

“Disuruh menunggu, masalah nunggunya berapa bulan saya tidak yakin,” papar Sumaryadi.

Laki-laki yang kesehariannya bertani ini mengatakan proses pencairan belum terjadi karena ada perubahan nilai ganti rugi. Perubahan itu terjadi lantaran masyarakat tidak terima dengan nilai ganti rugi yang ditetapkan Tim Appraisal yang menggunakan hasil penghitungan tanah yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sejak ada sosialisasi rencana pembangunan bandara, warga menjadikan sertifikat sebagai pedoman untuk mendapatkan uang pengganti atau tanah relokasi yang disebutkan oleh tim Appraisal. Namun, sertifikat tersebut dikalahkan oleh prosedur penghitungan ulang yang dilakukan BPN. Penghitungan baru ini yang justru dipakai tim Appraisal untuk menentukan harga tanah, rumah, beserta asetnya.

Sumaryadi mengatakan hasil penghitungan ulang terhadap tanah warga banyak yang tidak sesuai dengan sertifikat yang mereka miliki. Ada selisih antara luas tanah di sertifikat dan hasil penghitungan ulang BPN. Bahkan ada yang selisihnya sampai 2000 meter. Warga yang tidak terima kemudian mencoba membawa gugatannya ke pengadilan. Sumaryadi adalah salah seorang warga yang mengajukan gugatan tersebut.

“Kemarin tanah saya itu saya gugatkan yang tiga bidang karena penilaiannya tidak sesuai. Tapi semuanya kalah, katanya telat (dari waktu yang ditetapkan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan, yakni 14 hari setelah diumumkan hasil penilaian dari Tim Appraisal),” ujar Sumaryadi.

Kekalahan yang dialami Sumaryadi dan warga lainnya terjadi lantaran mereka kesulitan mendapatkan berita acara dari Kantor Wilayah (Kanwil) BPN DIY. Berita acara itu sangat penting karena itulah bukti otentik kalau memang ada selisih antara luas yang termaktub dalam sertifikat dengan luas hasil penghitungan ulang BPN. Padahal berita acara itu menjadi salah satu syarat untuk mengajukan gugatan keberatan terhadap nilai yang ditentukan tim appraisal.

“Tanggal 15 Agustus terakhir mengajukan gugatan. Sebelum itu, tanggal 9, 10, 11, dan 12 kami ke Kanwil BPN meminta petikan berita acara sebagai syarat pengajuan gugatan. Ketika saya datang dikatakan petikan belum dibuat dan kesempatan yang terakhir belum ditandatangani. Ketika di pengadilan, saya meyakinkan hakim fakta-fakta di lapangan itu, tapi tetap saya kalah,” terang Sumaryadi.

Sumaryadi dan kepala keluarga yang lain sebenarnya pernah mempersoalkan penghitungan tanah yang dilakukan oleh BPN itu: “Kenapa BPN memakai penghitungan yang baru, lalu sertifikat kami tidak berguna?”

Tidak hanya petani seperti Sumaryadi yang mengalami masalah dengan perhitungan nilai, petambak di desanya juga mengajukan gugatan karena tambak-tambak mereka tidak diberi nilai oleh tim Appraisal. Para petambak pun mengajukan gugatan, sampai kemudian Tim Appraisal meluluskan nilai untuk alat-alat pendukung tambak.

“Sekarang pihak Angkasa Pura mengajukan kasasi, akhirnya petambak akan menang lagi atau kalah di tingkat kasasi itu yang masih menunggu,” ungkap Sumaryadi.

Triyanto, warga Dusun Nggringgit, menambahkan keterangan Sumaryadi, bahwa setelah penandatanganan persetujuan pencairan dana, Angkasa Pura di dalam kontrak perjanjian mencantumkan beberapa persyaratan. Dalam perjanjian disebutkan dalam jangka 1 bulan rumah harus dikosongkan, aset tanaman dan lain-lain tidak boleh diambil. Poin lainnya adalah kalau Angkasa Pura kurang dalam memberi ganti rugi maka pihak Angkasa Pura tidak bertanggungjawab.

“Sayangnya warga tidak membaca itu,” keluh Triyanto.

Menurut penuturan Sumaryadi dan Triyanto, warga terjebak oleh janji manis. “Katanya ada 5000 lapangan kerja, masyarakat terbuai mimpi. Relokasi dan rumah ternyata bayar,” ujar Triyanyo.

“Waktu itu saya tanya (kepada petugas sosialisasi relokasi). Dapat berapa meter? Harga berapa? Kas desa (lokasi relokasi) mana Mbak? Dia jawab tidak tahu,” imbuh Triyanto.

Belum lagi, masyarakat dibingungkan dua aturan yang berbeda soal relokasi. Triyanto mengatakan versi Angkasa Pura menegaskan warga yang menerima dana pengganti tidak akan mendapatkan tanah relokasi, sedangkan versi Pemerintah Provinsi DIY mengatakan akan disediakan relokasi untuk semua warga namun warga harus membayar.

Kondisi simpang siur inilah yang membuat sebagian warga memutuskan tidak memilih relokasi. Triyanto adalah salah satu yang tidak memilih relokasi. Dia hanya menunggu dana penggantinya cair. Berbeda dengan Waluyo, tetangga desanya, yang memutuskan mengambil relokasi di samping menerima dana pengganti.

Waluyo kelak akan membayar tanah dan rumah relokasi tersebut. “Lha, saya sudah tidak punya tanah, maka saya ambil relokasi,” terang Waluyo.

Meski demikian ia sebenarnya kecewa pada setiap tahapan yang dilaksanakan oleh tim Angkasa Pura. Waluyo bersama istrinya saat ini menganggur di rumah karena lahannya tidak boleh disentuh. Ia mengaku ketika proses sosialisasi relokasi telah berlangsung, ia masih merasa belum jelas.

“Sampai sekarang, relokasi belum jelas, harga berapa, posisi di mana. Belum jelas,” ungkap Waluyo.

Ia mengaku paham fungsi jangka panjang Bandara Internasional Kulonprogo, namun ia dan warga lain mengharapkan persetujuan mereka dibalas dengan harga yang memuaskan. Ia menyebut tanah di area pinggir jalan dinilai dengan harga Rp1,7 juta per meter persegi, sedangkan tanah yang berada di belakang rumahnya, walau jaraknya tak sampai sedepa, harganya sudah jatuh tajam, hanya Rp700 ribu per meter persegi.

“Sebenarnya masih mengganjal, tapi saya bisa apa, bukannya pasrah, umpama mau mengadu, mengadu ke siapa? Tetangga yang mengajukan gugatan saja kalah. Saya pro bersyarat, yang penting syarat saya dipenuhi,” ujarnya.

Waluyo bersama warga pro bersyarat lainnya sudah melakukan berbagai upaya protes agar nilai-nilai pembelian lahan mereka bisa sesuai dengan yang diharapkan. Aksi-aksi protes itu terekam dalam berbagai baliho yang dipasang di sepanjang Jl. Daendels.

Ia bertekad, jika tidak segera dibayar ia akan tetap tinggal di rumahnya meskipun ia sudah menandatangani persetujuan. “Kalau ndak dibayar saya tetap di sini,” tegasnya.

Tak jauh beda dengan yang diungkapkan oleh Sumaryadi, Triyanto, dan Waluyo, Sugiman warga desa yang sudah melepaskan sertifikat tanahnya memaparkan persoalan yang serupa. Ia mengatakan ada perbedaan perhitungan tanah. Jumlah luas lahan di sertifikat berbeda dengan jumlah yang dihitung tim sukses Angkasa Pura.

Ia membenarkan warga yang terdampak pembangunan bandara sekarang menganggur berkat kontrak tertulis yang dibuat Angkasa Pura yang tidak mengijinkan warga untuk memindahkan, merusak, merobohkan barang yang ada di dalam lokasi pembangunan bandara.

“Sekarang warga menganggur, banyak warga yang tidak menanam, petani di sawah sudah pada takut. Pernah ada masalah penebangan, yang menebang ditangkap dibawa ke polsek,” ujar Sugiman.

Ia menjelaskan warga sudah menganggur sejak penandatanganan persetujuan penyerahan sertifikat dan proses pencairan dana pengganti bergulir.

“Warga yang mau menanam itu sudah malas. Apalagi ada ancaman (patok atas nama angkasa pura),” ujar Sardiman.

“Yang jelas kami ini menunggu kepastian dari pemerintah pusat tentang janji lapangan pekerjaan, masyarakat ini bingung,” imbuh Sardiman.

Infografik Bandara Kulon Progo 2

Penjelasan Tim Angkasa Pura

Terkait proses pembayaran yang belum tuntas, Pemimpin Proyek PT Angkasa Pura I (Persero) R. Sujiastono mengatakan pembayaran saat ini masih menunggu proses dari BPN. Ia menerangkan bahwa BPN sedang melakukan penghitungan terhadap tanah warga yang sebelumnya tidak bersedia direlokasi.

Perubahan sikap warga ini membuat Angkasa Pura memberi kesempatan pada BPN dan Tim Appraisal untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kepada warga yang sebelumnya tidak sepakat, Tim Appraisal dan BPN memberi kesempatan pada warga untuk mengajukan permohonan pendataan tanah dan aset sebelum tanggal 18 Oktober 2016.

“Setelah 18 oktober tidak ada permohonan lagi. Maka kami sedang menunggu hasil penilaian akhir dari Tim Appraisal,” papar Sujiastono, via telp, Senin (30/10/2016).

Sementara itu, terkait gugatan terhadap luas tanah yang berbeda antara yang tertera di sertifikat kepemilikan warga dengan hasil penghitungan BPN, Angkasa Pura menganggap persoalan itu sudah beres. Alasannya: warga sudah menggugat ke pengadilan dan pengadilan menolak gugatan warga.

“Itu sudah clear, sudah tidak ada masalah,” tegas Sujiastono.

Persoalan sertifikat tersebut juga diklarifikasi mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi D.I. Yogyakarta, Arie Yuriwin, S.H., M.Si, via telepon (30/10/2016). Ia mengatakan, “Sudah tidak ada masalah, sudah dibuatkan berita acara.”

Pada Juni lalu, ketika Arie masih menjabat sebagai kepala kantor wilayah BPN DIY, ia mengikuti proses penghitungan tanah sampai Tim Appraisal menentukan nilainya. Ia menyampaikan pihaknya menyiapkan dua pilihan untuk warga terdampak, pilih ganti rugi berupa uang atau relokasi.

Sejauh ini sudah ada 52 persen warga pro yang sudah menerima pembayaran. Sementara itu, warga yang meminta relokasi sampai detik ini jumlahnya baru 100 KK. Namun, jumlah itu bisa terus bertambah karena masih berlangsung proses komunikasi dengan warga terdampak.

Baca juga artikel terkait ANGKASA PURA I atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Hukum
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti