tirto.id - Secara ekonomi mereka merasa profesi mereka adalah petani. Warga tidak memiliki keahlian di bidang lain. Jika melepas tanah, berarti juga melepas lapangan kerja mereka. Alasan sejarah karena masyarakat setempat telah tinggal secara turun temurun di wilayah tersebut, sehingga mereka ingin menjaga lokasi tersebut.
Alasan sosial, yakni masyarakat setempat ingin menyelamatkan masa depan anak cucu mereka. Pindah akan membuat mereka menempati lokasi baru dan artinya membentuk budaya baru yang belum tentu pas untuk anak cucunya.
Selain itu, jika mereka memuluskan rencana pembangunan, mereka berpikir akan memuluskan juga rencana-rencana pembangunan lainnya seperti pembangunan stasiun, jalan tol, dan lain-lain yang akan berdampak pada penggusuran-penggusuran lanjutan di daerah lain.
Berikut petikan wawancara khusus Mutaya Saroh dari tirto.id dengan ketua WTT, Martono, yang sudah bergabung sejak awal pendirian WTT.
Sejak mulai menolak Bandara, pernahkah menerima intimidasi dari aparat?
Kalau intimidasi itu banyak.
Apa saja bentuk intimidasinya?
Kalau tidak mau (melepas tanah) nanti kena masalah dengan negara, seperti tanah diminta (paksa), anak tidak bisa sekolah, listrik dicabut, jalan ditutup, dan segala macam lainnya. Oknum-oknum itu menjanjikan warga akan diberi pekerjaan, rumah gratis, uang pengganti, dan lain-lain. Masalahnya, itu hanya berjanji tanpa alat bukti, cuma lewat lisan, tidak ada hitam di atas putih. Ketika warga menanyakan janji itu, warga tidak bisa mendapatkannya.
Kenapa masih menolak padahal ada uang pengganti dan relokasi?
Pertama, WTT menolak karena ternyata rumah harus beli, tanah harus beli, setelah pelepasan hak harus nganggur, (ekonomi) lima tahun ke depan harus makan apa tidak terpikir. Kata pemerintah warga harus mandiri, tapi petani mandiri dengan pindah jadi penjual es cendol, kan, itu jauh dari harapan. Warga tidak diarahkan ke investasi, bandara memang disterilkan dari partisipasi warga.
Kedua, untuk melestarikan peninggalan nenek moyang, karena (tanah) itu suatu amanah. kita punya alasan hak dengan punya sertifikat, kita bukan penumpang gelap. Ketiga, kita sudah hidup di sini sejak lama, sekarang teman-teman pro (yang melepaskan tanah) hidup tanpa kejelasan tanpa penghasilan dan harus segera meninggalkan rumahnya.
Mereka sudah menjual tanah, lalu akan bertahan sampai berapa tahun? Mereka sudah merugi dua kali lipat. Uang penjualan dari Angkasa Pura tidak cukup untuk beli yang baru. Contohnya, tanah di Minggiran ini dihargai Rp. 1,7 juta per meter, di seberang yang tidak terdampak per meter dijual Rp. 3 juta.
Upaya-upaya apa saja yang dilakukan WTT agar pembangunan dibatalkan?
Mengajukan gugatan ke BPD. Jawaban ke BPD nggak sangggup, “Siapa yang berani melawan sultan”, begitu katanya. Ke komnas HAM hanya berputar-putar, sudah kasasi ternyata kalah, mau PK juga kalah karena untuk kepentingan umum. Secara hukum kami sudah maksimal.
Sudah ada warga WTT yang berbalik arah jadi pro?
Ada warga WTT keluar, tapi ada juga yang kembali tapi mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena sertifikat terlanjur lepas. Kami punya prediksi kalau (pembangunan bandara) bisa dibatalkan, tanah-tanah yang ada di sini bisa kita manfaatkan.
Pernahkah bertemu dengan sultan atau bernegosiasi dengan tim Angkasa Pura?
Kami sudah minta sultan untuk datang, temui warga maunya apa, jangan mau ditipu oleh tim. Saya yakin yang pro akan berontak nanti, karena urusan perut itu penting, sebab pemerintah tidak memberikan solusi untuk pekerjaan baru pada mereka.
Pendekatan tim Angkasa Pura seperti apa?
Mereka pakai alasan sertifikat. Orang berdomisili di situ (Kec. Temon) tapi tidak punya sertifikat atas namanya dianggap tidak terdampak, walaupun ahli waris tapi sertifikat nama masih orang tua, tidak bisa dianggap punya suara untuk menyatakan penolakan atau pun setuju. Yang terdampak adalah mereka yang punya sertifikat sehingga punya hak suara.
Kalau Angkasa Pura tetap lanjut, apa yang akan dilakukan WTT?
Seperti mereka, kami juga sama, mereka nekat kami juga nekat. Kami pasrahkan pada Allah, jalannya Allah yang tentukan, kami percaya saja bandara tidak jadi. Kalau mereka tetap lanjut, kami akan tetap tinggal di dalam kotak bandara.
Peletakan batu pertama diundur sampai tahun 2017, Anda tahu karena apa?
Mungkin karena pro belum beres, ada yang (tanah) pro belum diukur, kontra terus keluar dan ikut pro sekarang belum diproses sehingga belum kondusif. Relokasi juga kelihatannya ricuh. Tanah kas desanya juga perlu diuruk dan itu tidak sedikit biayanya, perlu miliaran. Soalnya lahan untuk relokasi itu bekas perikanan (tambak), menimbun itu butuh ribuan (ton) tanah. Itu bahaya untuk mendirikan rumah, karena bagian bawah bisa lembek, nanti mlotot karena bangunan itu berat.
Belum lagi pemerintah harus mengganti kas desa karena sebagian kas desa itu tanah untuk pertanian. Lalu kalau dihabiskan untuk relokasi, petani makan apa nantinya?
Kalau begitu hubungan warga pro dan kontra seperti apa saat ini?
Kita akan berpisah, yang pro akan pergi, kita sudah tidak ada komunikasi dengan mereka, seperti hajatan, kenduri, mujahadan, sripah. Kalau orang pro ada yang meninggal, ya kita melayat saja. Yang agak payah yang tidak terdampak langsung itu otomatis tidak berkomunikasi. Diputuskan hidup masing-masing dan setelah hidup masing-masing akhirnya lebih lancar untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan.
Saya pikir situasi ini nyaman-nyaman saja, meski berdampingan dan tidak sehati itu tidak apa-apa. Kita anggap tetangga saja. (Sebelum ada proyek bandara ini) Dulu harmonis, karena ada dua pikiran berbeda itu ya bagaimana mau bersatu?
Bagaimana WTT menjaga solidaritas antar warga WTT?
Semakin ke sini intimidasi semakin keras, kan? Pastilah berkurang terus jumlahnya, tapi kita punya prinsip dan percaya bahwa “benih” akan tetap tertinggal di sana. Untuk menjaga itu, setiap malam berganti tempat dan sebulan sekali kita melaksanakan Mujahadah akbar. Di sana kita berbagi informasi dan juga berdoa bersama kepada Tuhan.
Jika bandara akhirnya jadi dibangun, akan seperti apa, sih?
Jika bandara berdiri, penggusuran akan terjadi terus menerus, seperti pembebasan tanah untuk stasiun, jalan tol, kereta api, perusahaan asing, hotel, dan masih banyak lagi. Itu akan memakan tanah-tanah warga.
Catatan redaksi: Berdasar master plan pembangunan bandara internasional Kulonprogo dan sekitarnya, direncanakan akan dibangun fasilitas penunjang seperti jalur ganda kereta api dan kereta commuter untuk melayani penumpang kargo dari bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Cilacap sampai dengan Madiun).
Menurut Anda sebaiknya bandara dibangun di mana?
Perkiraan bandara dibangun di sini itu salah. Kenapa di sini? Mestinya Adi Sumarno dan Adi Sucipto dibesarkan, lalu dibagi agar pesawat komersil ada di Solo dan Yogya, lalu pangkalan militer tetap di Wonosari agar terlindungi oleh alam. Lebih bagus kalau pangkalan militer di tepi laut, lebih aman. Bandara komersil tetap di tengah kota saja. Masalah soal (pengunjung) wisata ke Kulonprogo atau ke Borobudur, tinggal jalannya saja yang diperlebar. Dari pada sini jadi bandara komersil sedangkan kekuatan militer di tengah kota, coba jika terjadi pengeboman, kan, kena semua warga kota.
Kalau untuk kota wisata dan industri tidak harus bangun bandara. Bangun bandara itu dampaknya besar, bisa melibas tanah warga. Kalau wisata saja, kan, tidak berdampak sebesar itu, karena tanah warga masih bisa dimanfaatkan warga sendiri. Itu harapan kami.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti