Menuju konten utama
Slamet Iman Santoso

Masa Muda Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia

Sejak kecil, Slamet Iman Santoso dikenal sebagai siswa pintar dan banyak akal. Ikut serta dalam arus pasang gerakan nasionalisme.

Masa Muda Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia
Header Slamet Iman Santoso. tirto.id/Fuad

tirto.id - Suatu ketika dalam hari-hari tikungan sejarah Indonesia, Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara (MPRS) menugaskan seorang profesor gaek untuk mengetuai sebuah seminar. Tak main-main, MPRS meminta seminar itu memilah “Ajaran Bung Karno” yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat untuk alam Orde Baru, lengkap dengan argumentasinya.

Jelas, tugas ini sama sekali tidak ringan. Karena merasa tak punya kapasitas, terlebih karena bidang keilmuannya berlainan, sang guru besar menolak. Dia berterus terang tak pernah mempelajari “Ajaran Bung Karno” manapun. Pengakuannya kontan membuat hadirin sidang meledak dalam tawa, termasuk dua orang petinggi ABRI yang duduk di barisan depan.

Walakin, pemimpin sidang yang bingung lantas meminta saran bagaimana sebaiknya tugas itu dilakukan. Maka sang guru besar mengusulkan, “Tumpukan dokumen ‘Ajaran Bung Karno’ di meja, harap dibagi rata kepada semua anggota seminar, dan diberikan batas waktu besok sore, sebelum kita tetapkan mana bagian yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.”

Peserta seminar pun akur. Dan esok sore, sesuai kesepakatan, peserta seminar berkumpul.

Setelah duduk tenang, sang guru besar pun mulai mengajukan pertanyaan, “Siapa mendapat bagian ajaran yang bermanfaat, mohon berdiri dan menyebutkan nama!”

Hening.

Jadi semua yang duduk merasa ‘Ajaran Bung Karno’ tidak bermanfaat?”

Pun nihil jawaban. Alhasil sang guru besar menyelesaikan laporan dengan cepat.

Yak, sesuai mufakat bulat, seminar menyimpulkan Ajaran Bung Karno tidak ada yang bermanfaat!”

Sang profesor sebenarnya sudah menerka hasil itu. Tensi tinggi politik dan gemuruh protes terhadap Orde Bung Karno menjadikan antipati terhadap segala hal mengenai Sukarno ikut memuncak. Namun, tak ada yang menyangka bahwa hasil seminar itu di kemudian hari turut menjadi tonggak kebijakan desukarnoisasi yang diawetkan selama tiga dasawarsa kekuasaan Orde Baru.

Boleh jadi, sang ketua seminar, Prof. Dr. Raden Slamet Iman Santoso, juga tidak menduganya.

Satu hal yang jelas, gaya Slamet memimpin seminar itu mencerminkan watak pribadinya sebagai seorang guru besar: teknokratis, tahu diri, apa adanya, dan tidak mempunyai pretensi ideologis tertentu.

Keluguan yang melekat pada pribadinya membuat dirinya jenaka secara alamiah. Dia kaya pengalaman dan karenanya teguh dalam prinsip. Tak ayal, dia sukses menyelamatkan kampus Universitas Indonesia pada titik-titik kritis. Termasuk saat menara gading yang turut dia dirikan itu terjerembap dalam panasnya hawa politik 1965.

Lalu, seperti apa perjalanan hidup yang turut membentuk pribadi seorang Slamet Iman Santoso?

Kebak Akal Tuan Muda

Slamet Iman Santoso terlahir sebagai putra sulung di keluarga Asisten Wedana R. Baroen Soerodipoetro di Kejajar, Wonosobo, pada 7 September 1907. Slamet mula-mula dipersiapkan sejak dini untuk meneruskan jejak ayah dan eyangnya menjadi pegawai negeri.

Karena itu, jelang memasuki usia sekolah, Slamet diantar ibunya dari kampung ke pusat Kota Wonosobo untuk dipondokkan pada seorang guru. Slamet mengingat guru itu adalah seorang Belanda berambut putih yang mendudukkannya di bangku terdepan di kelas. Tak suka diperlakukan demikian, Slamet diam-diam menghafal jalan pulang ke kampungnya dan melarikan diri selepas sekolah.

Orang tua Slamet lantas mencari cara agar kejadian serupa tidak terulang. Dengan bekal surat permohonan yang diteken kakeknya, seorang pengajar bahasa dan sastra Jawa di sekolah pamong praja OSVIA, Slamet didaftarkan pada Europeesche Lagere School (ELS)di Magelang. Terbukti cerdas saat diuji seorang guru Belanda totok, Slamet pun berhasil menjadi siswa bumiputra di antara teman-teman satu kelasnya yang berdarah Eropa.

Di Magelang, Slamet turut mukim di panti asuhan Pa van der Steur. Lantaran statusnya sebagai anak priyayi sekaligus bumiputra satu-satunya, dia jadi sasaran pemerasan oleh teman-temannya yang lebih tua.

Saya kalah fisik, jadi tidak bisa melawan,” tukasnya.

Hari-hari buruk itu berlangsung selama empat tahun pertamanya di ELS. Namun, Slamet kemudian berhasil mengatasinya dengan cara unik. Slamet sengaja membiarkan seorang anak Belanda bongsor duduk di belakangnya dan boleh menyontek hasil kerjanya. Sebagai gantinya, dia musti membela Slamet dari para pemeras.

Tepat saat Slamet lulus pada 1920, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuka Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Magelang. Direktur ELS memberinya rekomendasi khusus lantaran dinilai cerdas dan tidak pernah tinggal kelas.

Pada bulan April 1920, Kepala Derde Lagere School di Boton, Magelang, telah mendaftarkan nama Slamet pada Direktur MULO Magelang, dua bulan sebelum masa pendaftaran resmi dibuka,” catat Masjkuri dalam Prof. Dr. Slamet Iman Santoso: Hasil Karya dan Pengabdiannya (1983, hlm. 14).

Bersekolah di MULO dengan disiplin ketat ternyata tak menjadikan Slamet hilang ide untuk mengakali aturan. Suatu ketika, dia mengumpulkan uang dari teman-teman sekelas dan menyogok penjaga sekolah untuk membelikan sekeranjang pisang goreng di luar jam istirahat.

Tindakan itu tentu saja terlarang. Namun, Slamet berani menyediakan diri sebagai pembuka jalan mengambil pisang goreng itu di kamar penjaga sekolah. Sebelum beraksi, dia berpesan pada kawan-kawannya bahwa akan bersiul jika keadaan aman.

Jadi yang pertama masuk ke kamar penjaga sekolah, dia pun cepat-cepat mengudap beberapa potong pisang goreng sebelum memberi isyarat. Kemudian, Slamet melihat seorang guru piket saat hendak keluar dari kamar itu. Dia pun panik dan spontan saja bersiul lalu bersicepat kabur.

Celakanya, teman-temannya tetap mengartikan siulan Slamet itu sebagai tanda aman. Maka mereka pun menyerbu masuk kamar penjaga sekolah untuk menyikat bagiannya. Keributan yang mereka timbulkan lantas menarik perhatian guru piket.

Sang guru piket pun menangkap basah mereka. Sebagai konsekuensi, mereka pun terpaksa menjalani hukuman hingga pukul 3 siang. Slamet tidak kena, tapi sebagaimana dia kenang dalam Warna-warni Pengalaman Hidup (1992, hlm. 42), “Hari berikutnya saya dikeroyok, dipukuli kawan-kawan saya yang terjebak dihukum. Tidak ada ampun, tetapi saya tidak dikucilkan.”

Teguh Prinsip Seorang Amtenar

Usai berhasil lulus MULO tepat waktu pada 1923, Slamet meneruskan pendidikannya di Algemeene Middelbare School(AMS) B di Yogyakarta.

Guru sangat sedikit memberikan pelajaran, barangkali dua-tiga minggu pada permulaan tahun pelajaran. Selanjutnya terus-menerus diberi tugas membaca, menghafalkan, membuat soal matematika, karangan singkatan novel yang tiap bulan diberikan, atau menterjemahkan,” ujar Slamet (1992, hlm. 53).

Kecintaan Slamet pada mata pelajaran kimia mendorongnya memilih sekolah kedokteran STOVIA untuk pendidikan tingginya. Di sisi lain, pilihannya menjadi dokter merupakan benih dari rasa kebangsaan yang berkembang semasa duduk di AMS B. Karena itu pula, Slamet mantap menolak tawaran menjadi patih atau pamong praja.

Infografik Slamet Iman Santoso

Infografik Slamet Iman Santoso. tirto.id/Fuad

Rasa kebangsaan pulalah yang menggerakkannya untuk aktif dalam Clubhuis Langen Siswo. Organ ini merupakan salah satu kelompok diskusi mahasiswa nasionalis pasca-Kongres Pemoeda II 1928.

Karier Slamet di bidang kedokteran dimulai dengan menjadi ko-asisten bidang kebidanan pada tahun ajaran 1930/1931. Setahun berselang, tepatnya 14 April 1932, Slamet pun berhasil menyandang gelar Indisch Arts yang diperbantukan pada Centrale Burgerlijk Ziekenhuis (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo).

Dua tahun berselang, diangkatlah dia menjadi Gouvernment Arts kelas II setelah lulus ujian matrikulasi di Geneeskundige Hoogeschool (GHS).

Slamet bertungkus-lumus sebagai dokter pemerintah kolonial selama lima tahun pertama sejak ditugaskan. Dia berstatus pegawai Dienst der Volks Gezondheid. Di CBZ, dia bertugas di poli anak dan poli psikiatri. Setelah menerima gelar Arts pada 1935, Slamet mulai dilibatkan dalam rapat-rapat pimpinan GHS, satu-satunya fakultas kedokteran di Hindia Belanda ketika itu.

Pada April 1937, Slamet dipindahtugaskan ke Medan sebagai Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer. Kala itu, dia turut memboyong istrinya yang baru dinikahi dua bulan sebelumnya. Macam-macam persoalan ditangani Slamet saat memimpin RSJ Gloegoer, mulai dari masalah fasilitas dan inventaris yang sangat terbatas, kontrolir yang tidak kooperatif, hingga pasien karantina yang harus ditampung di bangsal dengan alas tidur tikar karena semua ranjang diperuntukkan bagi pasien sakit jiwa!

Tidak hanya menuntut tanggung jawab profesional, posisi direktur juga membuat Slamet memegang kedudukan terpandang di kota itu.

“Di Medan, ia diangkat menjadi anggota Gementeeraad (Dewan Kota) Medan bersama dengan Soegondo, pemimpin Taman Siswa Medan. Dalam dewan itu, Prof. Slamet pernah mengajukan usul supaya bahasa Indonesia digunakan dalam sidang, di samping bahasa Belanda,” catat Masjkuri (1983, hlm. 19).

Baru setahun di Medan, Slamet lalu dimutasi kembali ke CBZ. Pasalnya, dia dianggap terlalu dekat dengan eksponen gerakan nasionalis. Padahal, konduitenya sebagai direktur rumah sakit dinilai baik-baik saja.

Sesampainya di Batavia kembali, Slamet mendapat perluasan tugas. Secara intelektual, dia pun makin memantapkan diri pada dua bidang keilmuan sekaligus: neurologi psikiatri dan pendidikan.

Sulit untuk tak menyebut beban kerja Slamet sebagai berlebihan. Dia ditugasi mengawasi utang-piutang pegawai, mengumpulkan dana untuk mendirikan rumah sakit, mempersiapkan unit psikopat di Penjara Glodok, melayani pemeriksaan jiwa narapidana se-Batavia, mengurus reintegrasi napi, hingga ikut serta dalam komisi investigasi skandal homoseksual.

Itu belum lagi menghitung tugas-tugasnya di CBZ dan GHS yang tetap harus dijalankan seperti sediakala.

“Setelah beberapa bulan saya melaksanakan semua tugas tadi, suatu hari saya dipanggil oleh bekas guru saya yang biasa saya panggil Oom. Bekas pengajar tadi menegur saya, ‘Slamet, je bent een ezel. Waarom heb je al dat werk aangenomen? Je bent een ezel, die wordt uitgebuit door de Fakulteit!’ (Slamet, kamu bego! Mengapa kamu terima semua pekerjaan itu? Kamu betul-betul bego, mau saja diperas oleh fakultas!),” kenang Slamet (1992, hlm. 138).

Teguran itu menyadarkan Slamet. Namun, yang lebih penting baginya adalah bahwa semua pekerjaan dan tanggung jawab itu berkelindan dengan urusan bangsanya sendiri.

“Siapa lagi yang harus memikul tanggung jawab dasar untuk mengawasi lapangan tersebut, kalau bukan orang Inlander sendiri? Terbukti, sampai penyerbuan Jepang, tidak ada seorang pun yang mau menggantikan saya.”

Slamet tidak membual. Dia patuh pada panggilan tugas sebagai tenaga medis hingga detik terakhir eksistensi negara kolonial Hindia Belanda.

Bersambung...

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi