Menuju konten utama
Byte

Masa Depan Bisnis Teknologi Asia Tenggara di Genggaman Vietnam

Vietnam melesat sebagai pusat riset dan industri teknologi mutakhir, terutama setelah Nvidia memutuskan menanamkan modal besar. Lalu, bagaimana Indonesia?

Masa Depan Bisnis Teknologi Asia Tenggara di Genggaman Vietnam
Ilustrasi Industri Teknologi Digital. foto/istockphoto

tirto.id - Kabar masuknya Nvidia ke Vietnam, yang bakal membangun pusat riset dan pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) senilai US$200 juta, menjadi pukulan telak bagi Indonesia.

Tak lama sebelum pengumuman tersebut muncul, bos Nvidia, Jensen Huang, sebetulnya sudah terlebih dahulu mampir ke Jakarta dan menjadi pembicara kunci di acara Indonesia AI Day 2024. Tak lupa, gimik-gimik seperti makan gulai tikungan (gultik) pun dilakukan olehnya.

Namun, efek dari kunjungan ini, khususnya jika dibandingkan dengan yang kemudian dia lakukan di Vietnam, amatlah timpang. Indonesia hanya kebagian "hura-hura" saja, sementara kerja sesungguhnya ada di Negeri Naga Biru sana.

Sebenarnya, belum dijelaskan secara rinci kapan pusat pengembangan AI di Vietnam itu bakal mulai dibangun dan beroperasi. Akan tetapi, bahwa Nvidia bakal membangun itu semua di sana, sudah dipastikan dan disahkan hitam di atas putih. Nantinya, Nvidia bakal melakukan sejumlah riset, mulai dari AI generatif sampai pengembangan kendaraan otonom atau swakemudi.

Beberapa bulan lalu, hal serupa juga terjadi dengan Apple. Kedatangan Tim Cook ke Indonesia "hanya" berbuah janji pembangunan sebuah pusat pendidikan dalam bentuk Apple Developer Academy senilai Rp1,6 triliun.

Baru-baru ini mereka juga kembali berjanji membangun pabrik di Indonesia, tetapi juntrungannya sama sekali belum jelas. Di sisi lain, di Vietnam, Apple mau berinvestasi hingga Rp256,79 triliun untuk memproduksi iPad, AirPods, dan Apple Watch.

Aktivitas Nvidia dan Apple sudah cukup menunjukkan bahwa Vietnam telah menjadi pemain krusial dalam industri teknologi dan informasi di Asia Tenggara. Itu semua tentu saja bukanlah kebetulan.

Sesuatu yang dinikmati Vietnam saat ini merupakan hasil dari gabungan beberapa faktor sehingga akhirnya menjadi destinasi investasi dan bisnis favorit banyak jenama raksasa teknologi.

Para Raksasa yang Bercokol di Vietnam

Sudah cukup lama sebenarnya Vietnam menarik minat investor teknologi. Salah satu perusahaan pertama yang melihat potensi ini adalah Qualcomm. Sejak 2003 mereka beroperasi di Vietnam untuk memperkenalkan teknologi telekomunikasi, mulai dari 2G hingga 5G.

Perusahaan asal AS tersebut juga berkontribusi pada ekosistem lokal, salah satunya melalui agenda Qualcomm Vietnam Innovation Challenge yang memberi dukungan pada sejumlah perusahaan rintisan lokal.

Tak lama setelah itu, Renesas Electronics dari Jepang juga ikut berinvestasi di Vietnam. Pada 2004, perusahaan semikonduktor tersebut mendirikan pusat desain terbesar di Ho Chi Minh City. Pendirian pusat desain Renesas terbesar di luar Jepang tersebut sekaligus menegaskan betapa pentingnya Vietnam sebagai basis strategis pengembangan teknologi.

Intel kemudian masuk pada 2006 dengan investasi senilai 1 miliar dolar AS untuk membangun pabrik yang juga terletak di Ho Chi Minh City. Fasilitas tersebut sekarang menjadi pusat perakitan mikrocip Intel terbesar di dunia. Bagi Vietnam, itu membuat mereka menjadi pemain tak tergantikan dalam rantai pasok semikonduktor global.

Pada 2013, giliran Samsung yang memperluas pengaruhnya di Vietnam dengan investasi masif di provinsi Bac Ninh dan Thai Nguyen. Dengan nilai total melebihi 17 miliar dolar AS, perusahaan asal Korea Selatan tersebut menjadikan Vietnam sebagai basis utama produksi perangkat elektronik, termasuk ponsel pintar dan gawai yang diekspor ke seluruh dunia.

Enam tahun berselang, Apple mengintensifkan operasinya di Vietnam melalui mitra manufaktur, seperti Foxconn dan Luxshare. Impaknya, sejak awal 2020-an, Vietnam menjadi lokasi strategis untuk memproduksi komponen penting dan merakit beberapa lini produk seperti AirPods, bagian dari taktik diversifikasi rantai pasokan Apple.

Berikutnya ada Amkor Technology, penyedia layanan perakitan semikonduktor terbesar kedua di dunia, yang membuka pabrik di Bac Ninh pada 2023. Fasilitas tersebut dirancang untuk memproduksi komponen semikonduktor canggih yang mampu menyerap hingga 10.000 tenaga kerja.

Pada tahun yang sama, perusahaan-perusahaan asal Tiongkok, seperti Huawei dan BOE Technology, memperluas operasinya di Vietnam. Mereka berfokus pada manufaktur elektronik dan produksi panel layar.

logo Nvidia

logo Nvidia yang ditampilkan ditempatkan pada motherboard komputer dalam ilustrasi ini yang diambil pada 6 Maret 2023. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Foto

Sampai akhirnya, tibalah tahun 2024 ketika Nvidia mengumumkan investasi strategis yang membawa babak baru dalam transformasi digital Vietnam. Dengan nilai penanaman modal mencapai 250 juta dolar AS, Nvidia bermitra dengan FPT, perusahaan teknologi lokal, untuk membangun fasilitas pengembangan kecerdasan buatan dan teknologi kendaraan otonom.

Langkah Nvidia bisa dibilang bersejarah karena, dengan begini, Vietnam sudah naik kelas dari "sekadar" negara manufaktur menjadi negara yang berpotensi memimpin riset teknologi mutakhir.

Terbantu Rivalitas AS-Tiongkok

Harus diakui, salah satu alasan Vietnam menjadi destinasi favorit bagi perusahaan teknologi global adalah karena faktor geopolitik yang menguntungkan, terutama dalam hubungannya dengan Amerika Serikat dan Tiongkok.

Seiring meningkatnya ketegangan perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam menjadi alternatif yang menarik bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mendiversifikasi rantai pasokannya.

Hal ini secara khusus terlihat pada sektor manufaktur dan teknologi. Vietnam menawarkan biaya tenaga kerja rendah serta lokasi strategis di Asia Tenggara yang memudahkan akses ke pasar global​.

Hubungan Vietnam-AS telah dinormalisasi sejak 1995 dan terus merekat berkat berbagai kerja sama di bidang perdagangan dan teknologi. Vietnam pun telah meneken sejumlah perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan negara-negara Barat lainnya melalui Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) serta Perjanjian Perdagangan Bebas Uni Eropa-Vietnam (EVFTA).

Berkat beberapa perjanjian tersebut, Vietnam mendapat keuntungan, misalnya pengurangan tarif impor serta akses yang lebih mudah ke pasar besar seperti AS dan Eropa. Perusahaan teknologi yang berinvestasi di Vietnam pun bakal merasakan insentifnya.

AS memandang Vietnam sebagai penengah di Asia Pasifik untuk membendung pengaruh Tiongkok. Itulah alasan AS memberikan perhatian khusus pada wilayah tersebut.

Di sisi lain, hubungan Vietnam dan Tiongkok lebih kompleks. Meskipun terdapat persaingan politik dan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, hubungan perdagangan antara kedua negara tetap sangat kuat.

Vietnam sebagai anggota ASEAN berperan penting dalam aliran perdagangan regional. Dalam hal ini, Tiongkok menjadi salah satu mitra dagang utama mereka. Namun, di mata AS dan Barat, Vietnam merupakan solusi terbaik untuk mengurangi ketergantungan, khususnya dalam proses manufaktur, terhadap Tiongkok.

Peran Pemerintah dan Keuntungan Demografis

Faktor lain yang membuat Vietnam unggul dari segi investasi dan bisnis teknologi adalah peran krusial pemerintah yang telah menelurkan pelbagai kebijakan proaktif.

Peresmian National Digital Transformation Program dan pembangunan National Innovation Center (NIC) dilakukan untuk mempercepat proses transformasi digital di berbagai sektor. Program-program tersebut tidak hanya mendorong inovasi dan pengembangan teknologi, tetapi juga berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang digital dengan melibatkan sektor swasta dan lembaga pendidikan.

Kebijakan transformasi digital bertujuan mengintegrasikan teknologi ke dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi dan sosial. Ini mencakup adopsi teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), serta solusi berbasis data dan cloud computing. Harapannya, upaya tersebut dapat meningkatkan efisiensi sektor-sektor lain, seperti pertanian, manufaktur, dan kesehatan, untuk meningkatkan daya saing Vietnam di pasar global.

Kota-kota besar di Vietnam, seperti Ho Chi Minh City dan Hanoi, telah menjadi pusat inovasi teknologi yang berkembang pesat. Ho Chi Minh City sebagai pusat ekonomi Vietnam telah menjadi pusat teknologi keuangan dan niaga-el, dengan banyaknya perusahaan rintisan berbasis teknologi yang muncul. Sementara itu, Hanoi sebagai ibu kota negara berfokus pada pengembangan teknologi informasi dan industri kreatif.

Infrastruktur teknologi pun terus berkembang di kota-kota tersebut, mulai dari ruang ruang kerja bersama sampai pusat penelitian. Selain itu, pendanaan dari modal ventura serta dukungan dari akselerator dan inkubator, membantu startup dan perusahaan teknologi berkembang lebih cepat. Efeknya, lingkungan bisnis teknologi di Vietnam menjadi lebih kompetitif dan menarik sehingga raksasa-raksasa global pun tertarik ikut bermain.

Ilustrasi Industri Teknologi Digital

Ilustrasi Industri Teknologi Digital. foto/istockphoto

Di samping itu, demografi Vietnam yang sangat muda menjadi salah satu kekuatan utama dalam mendukung transformasi teknologi. Dengan usia median penduduknya sekitar 33 tahun, populasi muda Vietnam merupakan sumber daya manusia yang sangat potensial dalam bidang teknologi.

Setiap tahunnya, lebih dari 57 ribu lulusan IT baru memasuki dunia kerja dengan keterampilan yang relevan dan up-to-date. Hal ini memberikan keuntungan besar bagi perusahaan teknologi yang berinvestasi di Vietnam. Mereka dapat memanfaatkan tenaga kerja muda dan terampil dengan biaya jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Singapura atau Jepang.

Pelajaran untuk Indonesia

Indonesia, meskipun memiliki pasar besar dengan ekonomi digital yang terus berkembang, menghadapi berbagai hambatan untuk menjadi pusat teknologi seperti Vietnam.

Salah satu tantangan utama adalah lingkungan regulasi yang sering dianggap tidak konsisten dan kelewat birokratis. Meskipun Indonesia telah melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki iklim investasinya, perusahaan asing masih menghadapi kendala dalam hal lisensi, pajak, dan navigasi, melalui birokrasi yang bertele-tele dan korup. Hal ini menciptakan ketidakpastian bagi perusahaan yang ingin beroperasi jangka panjang di negara ini.

Sebaliknya, Vietnam telah menerapkan regulasi yang lebih transparan dan efisien untuk memudahkan bisnis asing dalam berinvestasi dan beroperasi. Pemerintahnya juga secara proaktif menciptakan kebijakan yang mendorong investasi asing secara langsung, terutama di sektor teknologi dan inovasi.

Masalah besar lainnya bagi Indonesia adalah infrastruktur yang, meskipun terus berkembang, masih tertinggal di belakang Vietnam. Kota-kota besar, misalnya Jakarta, masih menghadapi masalah seperti kemacetan lalu lintas, infrastruktur digital yang kurang memadai, serta konektivitas internet yang tidak stabil. Akibat kendala-kendala tersebut, perusahaan teknologi kesulitan menjalankan operasional yang efisien.

Di sisi lain, Vietnam telah membuat langkah signifikan dalam membangun infrastruktur yang diperlukan untuk ekosistem teknologi yang berkembang pesat, terutama di kota-kota besar, seperti Ho Chi Minh City dan Hanoi.

Terakhir, sistem pendidikan Indonesia masih kesulitan menyediakan keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam inovasi teknologi, seperti kecerdasan buatan dan pengembangan perangkat lunak. Kekurangan tenaga kerja terampil dalam bidang ini membuat Indonesia lebih bergantung pada talenta asing yang makin menghambat kemampuannya menarik investasi teknologi dalam skala besar.

Pendek kata, tantangan regulasi, infrastruktur yang terbatas, dan kurangnya tenaga kerja terampil, membuat Indonesia, setidaknya untuk saat ini, kesulitan menjadi pusat teknologi yang kompetitif. Rasanya, tanpa niat politik yang memadai, Indonesia di masa depan nanti bakal jauh tertinggal dibanding Vietnam.

Baca juga artikel terkait VIETNAM atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Teknologi
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin