Menuju konten utama

Markam: Disebut Menyumbang Emas Monas, Dipenjara oleh Soeharto

Markam adalah pengusaha yang dekat dengan Sukarno dan disebut-sebut sebagai penyumbang 28 kg emas untuk Monas.

Markam: Disebut Menyumbang Emas Monas, Dipenjara oleh Soeharto
Ilustrasi Teuku Markam, orang yang disebut menyumbang emas 28 kg untuk puncak Monas. Foto/Istimewa

tirto.id - Di tugu raksasa berbentuk Lingga-Yoni bernama Monumen Nasional (Monas), yang paling menggiurkan dari bangunan itu adalah pucuknya yang berbentuk nyala api dan terbuat dari emas. Muasal emas itu, seperti banyak disebut di dunia maya, konon berasal dari seorang pengusaha Aceh bernama Markam. Ia pengusaha kaya di era Sukarno. Benar tidaknya soal emas dari Markam itu, ia tetap saja sosok menarik dalam sejarah Indonesia.

Laki-laki kelahiran Panton Labu, Aceh Utara, 12 Maret 1924 ini, tak sempat lulus SD. Markam hanya sekolah hingga kelas lima. Dia anak bandel dan jarang masuk sekolah ketika masih bocah. “Paling dua kali seminggu,” aku Markam di buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984: 473).

Ayahnya khawatir sekolah formal ala Barat akan membuat si anak jadi kafir. Di buku tersebut, Markam mengaku masuk Heiho (pembantu tentara) di zaman Jepang dan dapat pangkat setara letnan dua. Ia juga mengklaim dirinya ditempatkan di Manila, Filipina.

Waktu Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Markam sedang berada di Singapura. "Dari sana saya menyelundupkan senjata ke Pekanbaru, untuk perjuangan," kata Markam (hlm. 473).

Sebagai mantan Heiho, dia dianggap punya pengalaman militer. Sebagai penyelundup untuk kepentingan Republik, Markam pun diberi pangkat militer. Di masa revolusi, orang seperti dirinya bisa menjadi letnan, sekali pun tidak lulus SD.

Dia terus berdinas di militer setidaknya setelah Belanda angkat kaki pada 1950. Pangkatnya sudah kapten di tahun 1950-an dengan NRP 12276. Dia hengkang dari militer setelah berseteru dengan atasannya yang berpangkat mayor. Markam pun melapor kepada Kolonel Gatot Subroto untuk minta berhenti pada 1957 lantaran tidak sudi harus terus memberi hormat kepada mayor tersebut.

Keluar dari dinas militer, Markam pun terjun ke dunia usaha. Dia mendirikan pabrik kulit bernama Karkam, singkatan dari Kulit Aceh Raya Kapten Markam, dan terlibat dalam proyek pemindahan ibukota provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Namanya melejit sebagai pengusaha yang dekat dengan Presiden Sukarno. Dalam hal ini, ia mirip dengan pengusaha yang lebih senior, Agoes Moesin Dasaad.

Nasib Apes Setelah Sukarno Tumbang

Dari orang yang kurang dikenal, Markam kemudian sohor di kalangan jetset Jakarta. “Markam adalah seorang Letnan tak dikenal, yang mendirikan perusahaan Karkam,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi dan Pampasan Perang (1994: 204).

Kekayaannya melonjak dengan cepat dalam tiga tahun. Lonjakan itu didapat dari hak eksklusif mengekspor karet ke Malaysia dan Singapura di masa konfrontasi.

“Wajahnya cukup dikenal di pesta-pesta yang diadakan di Istana Sukarno dan merupakan peserta lelang yang dermawan dalam lelang tertutup yang diselenggarakan di istana,” tulis Nishihara (hlm. 204-205).

Ketika Ibu Pertiwi “hamil tua” di tahun 1965, Markam kecipratan proyek dari Presiden. “Bulan maret 1965, dia berjumpa dengan Sukarno, yang selaku Komandan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi mengesahkan impor Markam atas sejumlah besar jip Nissan, suku cadang, semen Asano dari Jepang,” lanjut Nishihara (hlm. 204-205).

infografik teuku markam

Sudah tentu Markam kena sial setelah Sukarno lengser. Sebagai orang yang dicap Sukarnois, Markam ditangkap bersama Subandrio, Sabur, juga Jusuf Muda Dalam.

Dalam persidangan Jusuf Muda Dalam, Markam dihadirkan sebagai saksi. Meski sama-sama orang Aceh, seperti ditulis di buku Anak Penjamun Di Sarang Perawan (1966) yang disusun Effendy Sahib, Markam mengaku dalam persidangan bahwa dirinya tidak kenal lama dengan Jusuf. Ia baru kenal dengan Jusuf ketika yang bersangkutan jadi Presiden Direktur Bank Negara Indonesia (hlm. 94).

Soal Deferred Payment khusus yang diberikan pada Markam, hakim bertanya, “Sesudah Jusuf Muda Dalam jadi Menteri Bank Sentral, apa saudara memperoleh Deferred Payment khusus?” Markam menjawab pernah. Tapi ketika hakim bertanya bagaimana Markam mendapatkannya, Markam menjawab: “melalui Pak Adam Malik.” Belakangan, Adam Malik adalah orang yang menjadi Menteri Luar Negeri lalu Wakil Presiden RI di masa Soeharto.

Markam mengaku kehilangan perusahaannya, PT Proyek Percontohan Berdikari. Kala itu, duit Markam mencapai Rp20 miliar ditambah $30 juta. Selain duit, harta Markam seperti mobil, rumah, dan tanah juga ludes. “Semua dipinjam negara, sampai sekarang belum dikembalikan,” aku Markam dalam Apa dan Siapa (hlm. 474).

Markam menjalani masa penjara sekitar 9 tahun, sejak 23 Maret 1966 hingga sekitar 1975. Menurut catatan buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani (2001) yang disusun Benedicta A. Surodjo dan J. M. V. Soeparno, Markam ditahan bersama Mohamad Aslam, seorang pengusaha yang juga jaya di masa Sukarno (hlm. 156). Setelah ditahan di Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, keduanya dipindah ke Nirbaya. Di penjara itu, Corps Polisi Militer menjaga mereka.

Setelah bebas, Markam terjun kembali ke dunia usaha dengan mendirikan perusahaan kontraktor bernama PT Marjaya. Di perusahaan itu, ia menjabat Presiden Komisaris. Proyek terbesar yang digarap PT Marjaya adalah pembuatan jalan di Lhokseumawe, Aceh, dan di Cileungsi, Jawa Barat.

Markam tutup usia di awal 1985. Dia meninggal karena penyakit liver dan gula. Dalam banyak sumber tertulis, Markam hanya disebut sebagai pengusaha. Sulit menemukan catatan yang menegaskannya sebagai penyumbang 28 kg emas untuk pucuk Monas.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan