tirto.id - Pada 10 Oktober 2016, tepat hari ini 3 tahun lalu, Maulwi Saelan tutup usia. Sebagian pecinta sepakbola mengenalnya sebagai mantan kapten tim nasional Indonesia. Sebagian pembaca sejarah Indonesia mengenalnya sebagai mantan ajudan Presiden Sukarno. Maulwi yang bekas pejuang adalah seorang militer dengan pangkat terakhir kolonel. Sejarah membuatnya harus jadi tentara, sementara mimpilah yang membawanya bermain di Olimpiade.
Maulwi kecil tak pernah bercita-cita jadi tentara, apalagi sampai harus jadi salah satu ajudan Sukarno. Cita-citanya adalah ikut bermain sepakbola di ajang olahraga akbar dunia bernama Olimpiade. Mimpi itu lahir setelah Maulwi, yang baru berumur 10, menonton film dokumenter tentang Jesse Owen dalam Olimpiade 1936 di Berlin. Mengapa sepakbola? Tak lain karena sepakbola memang kegemarannya sejak kecil. Meski dia juga tak ragu untuk bermain tenis dan lainnya.
Maulwi terlahir dari keluarga yang tak diragukan nasionalismenya. Ayahnya, Amin Saelan, termasuk tokoh nasionalis Taman Siswa di Makassar. Maulwi anak kedua dan anak laki-laki satu-satunya. Seperti Maulwi, sang ayah juga pecinta olahraga. Sebagai orang tua yang terpelajar, Amin sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya. Setamat dari SD Fraterschool, dia disekolahkan ke HBS Makassar, tetapi tak tamat karena Jepang keburu datang. Cita-citanya untuk ikut Olimpiade makin terpendam. Setelah Jepang kalah pun Maulwi tak punya waktu latihan yang baik karena harus angkat senjata melawan Belanda dan Inggris. Revolusi membuatnya harus jadi Tentara.
Angkat Senjata Bersama Wolter Monginsidi
Meski sudah dinyatakan lulus dari Cugakko atau SMP zaman Jepang setelah 1945, Maulwi ikut belajar di SMP Nasional yang didirikan tokoh nasionalis Sam Ratulangi. Di sekolah ini ada juga Wolter Monginsidi, Andi Sose, dan pemuda nasionalis lainnya. Bersama Wolter dan Andi, Maulwi termasuk pimpinan dari sebuah laskar bernama Harimau Indonesia. Laskar ini terlibat banyak bentrokan dengan aparat militer atau polisi Belanda. Selain militer Belanda, di kota kelahiran dan tumbuhnya Maulwi, militer Inggris juga ada di sana.
Menurut Maulwi dalam autobiografinya, Kesaksian Wakil Komandan Cakrabirawa: Dari Revolusi 1945 hingga Kudeta 1966 (2001), mantan Presiden Pakistan Zia Ul Haq adalah salah satu perwira militer Inggris berpangkat kapten yang berada di Hotel Empress Makassar dan ikut digempur pemuda-pemuda nasionalis Makassar pada 29 Oktober 1945. Setelah direbut dari tangan NICA Belanda, para pemuda itu dipukul tentara Australia yang diperalat pejabat NICA Belanda di Makassar. Ketika itu militer Belanda sedang dibangun dan belum kuat sama sekali, jadi militer Inggris juga Australia dimanfaatkan Belanda.
Para pemuda itu terpaksa mundur dan bertahan di sekitar gereja, sampai akhirnya mereka ditangkap oleh militer Australia. Maulwi merupakan salah satu dari pemuda yang juga ditangkap. Di ruang tahanan, dia bertemu Wolter yang dianggapnya sebagai pahlawan.
Tak hanya Wolter yang harus mati muda dalam revolusi. Revolusi kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan, juga mengorbankan salah satu anak Amin Saelan, kakak perempuan Maulwi, Emmy Saelan. Ketika serdadu-serdadu KNIL hendak menangkapnya, Emmy meledakkan granat yang dipegangnya. Selain Emmy, granat itu juga menewaskan serdadu-serdadu KNIL yang berada dekatnya.
Jelang tertangkapnya Wolter, perjuangan di Sulawesi Selatan makin sulit bagi pemuda Indonesia. Banyak pejuang, termasuk Maulwi, terpaksa ke Jawa. Jika di Sulawesi berjuang tanpa pangkat militer, di Jawa dia diberi pangkat letnan satu dalam Tentara Rakyat Indonesia yang belakangan jadi TNI. Maulwi terlibat pertempuran di Sidobunder, Karanganyar, lalu bergerilya di Gunung Kawi Selatan.
Mimpi Itu Terwujud
Setelah 1949, Maulwi menjadi letnan satu Polisi Militer. Dia pernah bertugas di Bandung, Purwakarta, lalu Makassar. Ia kemudian jadi kapten Polisi Militer di Makassar. Setelah mendapat pelatihan paratrooper (pasukan penerjun), Maulwi menjadi Komandan POMAD Para, sebuah unit polisi militer dengan kemampuan terjun. Dia terlibat juga dalam operasi Trikora, sebelum akhirnya menjadi Kepala Staf Komandan Resimen Cakrabirawa (Pengawal Presiden Soekarno) pada 1962. Setelah 1964, Maulwi naik menjadi Wakil Komandan Resimen. Sambil bermain bola, karier Maulwi terbilang lumayan. Pada 1959 dia disekolahkan ke Amerika untuk belajar soal Provost dan Polisi Militer.
Setelah pulang ke Jawa, Maulwi punya banyak waktu berolahraga. Pada 1948, ketika Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo, Maulwi diikutkan sebagai penjaga gawang alias kiper kesebelasan Jakarta Raya. Lima tahun kemudian, Maulwi ikut PON lagi, yakni PON III di Medan. Tak hanya jadi kiper, tapi juga jadi Kapten. Kali ini dalam kesebelasan Sulawesi Selatan, tanah kelahirannya.
Sejak 1950, Maulwi masuk tim nasional sepakbola Indonesia sebagai kiper, juga kapten di kesebelasan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Bersama Timnas, sebelum ke Olimpiade, Maulwi pernah membela Merah Putih di Asian Games I 1951 di New Delhi dan Asian Games III 1954 di Tokyo. Sebagai kapten dan kiper juga, Maulwi ikut serta dalam Tour Asia timnas PSSI ke Manila, Hongkong, dan Bangkok pada 1955. Pada 1956 ia terlibat lagi dalam tur ke Eropa Timur. Mereka bertandang dan bertanding di Rusia, Yugoslavia, Jerman Timur, dan Chekoslovakia.
Di kesebelasan nasional, Maulwi harus jadi kapten dalam Olimpiade yang diimpikannya sejak usia 10 tahun. Tim yang dipimpinnya itu bertanding di Olimpiade Melbourne 1956. Tak tanggung-tanggung, kesebelasan yang dilawan tim PSSI ini adalah tim Uni Soviet yang terkenal tangguh. Apalagi ketika itu dunia dilanda Perang Dingin. Jadi Uni Soviet, sebagai pemimpin blok timur yang komunis, tentu berusaha tampil maksimal dalam Olimpiade demi menjadi kelompok tak terkalahkan dari blok Barat pimpinan Amerika.
Hal terhebat yang dicetak kesebelasan pimpinan Maulwi pada 17 November 1956 itu adalah berhasil menahan imbang 0:0 kesebelasan tim Beruang Merah tersebut. Prestasi Maulwi itu terdengar sampai di Indonesia. Hingga ucapan selamat membanjiri kesebelasan nasional yang sedang istirahat tersebut, esoknya mereka harus tanding ulang lagi.
Sebenarnya, kalah dari tim raksasa tentu bukan hal memalukan bagi timnas Indonesia yang baru dan sulit berkembang itu. Apalagi bisa menahan imbang 0:0. Prestasi timnas di bawah kepemimpinan Maulwi itu jadi bagian penting dalam sejarah persepakbolaan Indonesia yang makin hari oleh sebagian pihak dianggap menyedihkan.
Kabar gembira itu harus diwarnai juga dengan kekalahan timnas dalam tanding ulang esok harinya. Timnas yang kelelahan itu dibantai 4:0 oleh kesebelasan Beruang Merah Uni Soviet. Kekalahan tersebut tak membuat timnas pimpinan Maulwi tampak buruk. Lebih baik kalah dari monster blok Timur Beruang Merah yang kuat itu dibanding kalah melawan kesebelasan dari negara yang kehadirannya tak diinginkan Sukarno.
Prestasi Maulwi sebagai kapten dan kiper timnas Indonesia setelah Olimpiade Melbourne adalah mengantarkan timnas menjadi Juara Asia pra-FIFA pada 1958. Di dunia persepakbolaan Indonesia, selain sebagai kiper dan kapten tim nasional, Maulwi pernah dipercaya menjadi Ketua PSSI sejak 1964 hingga 1967.
Penjaga Pemimpin Besar yang Malang
Setelah menjaga gawang tim nasional Indonesia, Maulwi pun kebagian tugas menjadi bagian pasukan penjaga Presiden Sukarno. Setelah beberapa kali percobaan pembunuhan yang gagal, maka dibangunlah sebuah resimen yang terdiri pasukan pilihan yang bertugas menjaga keamanan Sukarno. Sebelumnya, Sukarno hanya dijaga sepasukan dari kepolisian yang dipimpin komandan polisi Mangil sejak 1945. Semula Maulwi adalah Kepala Staf Resimen, lalu menjadi wakil Komandan. Jabatan Komandan dipegang Brigadir Jenderal Saboer.
Dari Angkatan Laut, satu batalyon Korps Komando (Marinir) dimasukkan ke Resimen Cakrabirawa itu. Dari Kepolisian, satu batalyon Brigade Mobil (Brimob) juga disumbangkan. Angkatan Udara tak ketinggalan dengan satu batalyon Pasukan Gerak Tjepat, yang belakangan menjadi Paskhas AU, ditempatkan untuk menjaga Bung Karno.
Sementara Angkatan Darat tak memberikan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), melainkan satu batalyon raider dari 454/Diponegoro. Letkol Untung menjadi komandan batalyon pasukan tersebut jelang Oktober 1965. Status Untung jelas bawahan Maulwi Saelan. Semua tahu, Untung kemudian memimpin sebuah aksi penculikan perwira tinggi Angkatan Darat dengan membawa 60 anggota Cakrabirawa pada 30 September 1965.
Ketika malam kejadian, Maulwi mengawal Sukarno di Senayan. Setelahnya pulang, lalu esok paginya Maulwi meyakini Sukarno di rumah Ratna Sari Dewi di Jalan Gatot Subroto. Maulwi juga tidak menyangka Untung akan memakai 60 anggota Cakra untuk menculik. Masa gelap lalu melingkupi Sukarno dan tentu saja resimen Cakrabirawa itu. Pasukan Cakra, yang tentu saja tidak semuanya terlibat penculikan, kemudian dikembalikan ke angkatannya masing-masing. Pasukan penjaga Presiden Sukarno pun tinggal sepasukan kecil polisi pimpinan Mangil dan sepasukan Pomad Para Angkatan Darat.
Pelan-pelan, Sukarno lengser dari kekuasaannya. Maulwi sendiri kemudian sempat dipenjara. Maulwi dipenjara karena tak mau memberi pengakuan palsu bahwa Sukarno terlibat G30S. Sejak 1967 Maulwi diperiksa dan mulai terkurung. Sejak tahun itu juga dia tak lagi menjabat Ketua PSSI—sebuah kursi empuk yang diperebutkan elite nasional masa kini.
Maulwi mendekam di Rumah Tahanan Polisi Militer Budi Utomo, lalu Nirbaya, Jakarta. Setelah kira-kira 5 tahun dipenjara tanpa pengadilan, Maulwi dibebaskan. Ketika dibebaskan, Sukarno sudah meninggal. Dalam menjalani masa tuanya, Maulwi, laki-laki kelahiran Makassar 8 Agustus 1926 itu, memilih terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan Yayasan Sifa Budi dan Sekolah AL Azhar di Jakarta. Ia mengelola sekolah itu sambil sesekali menjadi narasumber terkait sepakbola Indonesia yang tak bisa segemilang di zamannya muda.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 11 Oktober 2016 sebagai obituari Maulwi Saelan. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan