tirto.id - Sulit menemukan orang yang berani memanggil Soeharto monyet. Seumur hidupnya, orang yang pernah memanggil Soeharto monyet adalah Jenderal Gatot Subroto. Tapi Soeharto tidak bisa marah. Secara usia dan pengalaman di dunia serdadu, Gatot yang kelahiran 1909 tentu jauh di atas Soeharto yang kelahiran 1921. Keduanya pernah berdinas di tentara kolonial Hindia Belanda (KNIL) yang terkenal kasar. Panggilan berbau binatang tentu bukan hal aneh.
Atmadji Sumarkidjo dalam TB Silalahi: Bercerita Tentang Pengalamannya (2008) menyebut Gatot Subroto berteriak memanggil Soeharto di masa pertempuran Palagan Ambarawa. “Hei monyet, mari ke puncak sini.”
Soeharto yang secara kepangkatan dan usia jauh di bawah Gatot tentu menurut. Orang kelahiran Kemusuk yang pernah merasakan kasarnya kehidupan serdadu ini tidak ambil pusing dan tidak pernah sakit hati kepada Gatot Subroto. Keduanya, ketika sama-sama berdinas di Jawa Tengah, memang terkenal dekat. Menurut Robert Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik (2005: 150), Gatot Subroto ikut menyelamatkan karier Soeharto yang nyaris dikeluarkan dari Angkatan Darat.
“Teguran keras 'zeg monyet' dalam setiap perjumpaan merupakan salam khas dari Gatot Subroto yang dikenal setiap orang. Tetapi setiap orang juga mengerti bahwa teguran itu justru tanda terbukanya hati tokoh ini menerima kedatangan seseorang untuk berbicara maupun urusan yang lain,” tulis Moh. Oemar dalam biografi Gatot Subroto, Jenderal Gatot Subroto (1976: 112).
"Kalau beliau [Gatot Subroto] suka kepada seorang maka beliau panggil orang itu monyet," aku mantan taruna revolusi Sayidiman Suryohadiprojo dalam Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI:SebuahOtobiografi (1997: 246).
Sementara buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Riwayat hidup singkat pimpinan tentara nasional Indonesia Angkatan Darat (1981: 492) menyebut, “Bawahan Pak Gatot Subroto merasa bahagia atau untung jika dipanggil oleh Pak Gatot.”
Tanda Suka kepada Bawahan
Soeharto pun bukan satu-satunya orang yang pernah dipanggil monyet oleh Gatot Subroto. Masih banyak yang lain lagi. Tak hanya memanggil secara langsung, Gatot sering menyebut orang yang dikenalnya sebagai monyet. Semua tentara di masa Gatot Subroto masih hidup tentu harus rela dipanggil monyet. Itu adalah bentuk keakraban Gatot dengan para bawahan atau juniornya.
Hasjim Ning dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang (1987: 164) punya cerita. Dalam suatu perjalanan di luar negeri, Boetje Wantanea, makelar kopra dan dikenal sebagai pejudi, mendatangi Hasjim. Boetje hendak menghadap Sukarno. Hasjim lalu memberi tahu Gatot lewat telepon ada Botje yang ingin bertemu presiden untuk memberi dokumen tentang kekuatan militer Belanda.
“Bawa monyet itu ke sini,” kata Gatot, yang mengenal Botje ketika Gatot menjadi Panglima Wirabuana di Makassar.
Dibawalah Botje oleh Hasjim ke kamar Jenderal Gatot. Dokumen itu lalu dibawa oleh Gatot.
Hashim mengaku dirinya tidak masalah dipanggil monyet oleh Gatot. Tapi jika panggilan macam itu dilakukan oleh orang lain kepadanya, maka perkaranya bisa panjang.
Tak semua orang suka dipanggil monyet oleh Gatot Subroto. Suatu hari, setelah meninggalnya Menteri Penerangan Muhamad Yamin pada 10 Oktober 1962, Presiden Sukarno menunjuk Ruslan Abdulgani menjadi penggantinya. Gatot Subroto adalah orang yang ikut menyampaikan rencana Sukarno.
"Nanti kamu akan diminta Bung Karno menggantikan Yamin. Monyet, jangan sampai nolak, ya,” kata Gatot kepada Ruslan.
Ruslan bukan tentara, meski belakangan diberi pangkat jenderal kehormatan. Roeslan yang tidak suka dipanggil monyet pun protes.
“Pak, saya bukan monyet,” kata Roeslan, seperti diceritakannya dalam M.E.M.O.A.R senarai kiprah sejarah (1993: 27).
Ahmad Yani yang ada di situ pun menengahi dan bilang, “Kamu jangan marah. Kalau Pak Gatot bilang kamu monyet, berarti dia senang. Pak Gatot 'kan orangnya begitu. Kalau dia tidak senang malah bilang sebaliknya: Paduka Yang Mulia.”
Tidak Layak
Di dunia ketentaraan Indonesia, monyet dekat dengan tentara. Ada istilah pos monyet. Bahkan, tidak begitu jauh dari Istana Merdeka, ada tempat yang pernah menjadi pos jaga serdadu Belanda. Tempat itu belakangan disebut 'jaga monyet'.
Menurut Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016: 332), istilah jaga monyet muncul karena di masa lalu “para tentara tidak mempunyai kesibukan selain menjaga monyet, yang bermain di pohon-pohon besar di sekitar pos mereka itu.”
Monyet juga pernah jadi panggilan untuk para taruna di akademi militer Magelang. Di masa awal Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang didirikan, istilah monyet kerap dipakai. Dalam buku Letjen (Pur) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen (2015) dikisahkan, Soegito, yang masuk tahun 1958, dipanggil "kacung" oleh para seniornya.
Soegito kemudian memberi sebutan monyet kepada juniornya yang masuk tahun 1959. Diperkirakan panggilan “monyet” ini karena terkenang oleh Gatot Subroto. Puluhan tahun selulus dari AMN, para taruna yang disebut monyet itu jadi jenderal juga.
Di akademi militer, sosok Gatot Subroto sangatlah dihormati. Menerima diri dengan sebutan monyet dari sesama taruna atau perwira yang mendidik mereka adalah perkara domestik yang barangkali bisa diterima dengan ikhlas oleh para taruna. Tapi tidak elok dan tidak layak jika sebutan monyet dipergunakan di luar ketentaraan; misalkan ketika berhadapan langsung dengan rakyat sipil, yang sejatinya harus dilindungi tentara.
Editor: Ivan Aulia Ahsan