Menuju konten utama

Sejarah Jaga Monyet dan Makian Monyet di Kalangan Tentara

Istilah "jaga monyet" punya riwayat panjang. Kata "monyet" juga kerap dipakai sebagai panggilan akrab di dunia militer.

Sejarah Jaga Monyet dan Makian Monyet di Kalangan Tentara
Tentara jaga monyet. tirto.id/fiz

tirto.id - Penjaga di pos monyet Istana Merdeka bukanlah penjaga pos istana dalam serial Mr. Bean. Mereka tentu saja tak bisa diperlakukan seperti Mr. Bean ngisengin penjaga Istana Buckingham. Anda akan tercatat dalam sejarah jika cukup punya nyali besar mendekati penjaga pos monyet Istana Merdeka dan merias muka mereka seenaknya.

Salah satu kawan saya pernah bercerita soal itu. Suatu siang sekitar sepuluh tahun lalu, ia dan seorang temannya tengah berjalan di seberang Istana Merdeka. Tiba-tiba keisengannya muncul: ia menjulurkan lidah ke arah dua penjaga pos monyet.

Kawan saya lalu diteriaki salah satu penjaga, "Woooy anjing!"

Hebatnya, sang penjaga berteriak pada posisi tetap siaga—dengan raut muka penuh kedongkolan. Kawan saya selalu menyesali perbuatan degilnya itu. "Kasihan mereka. Sudah seharian berdiri, eh, malah gue ledek."

Saya juga pernah mengalami kejadian yang hampir mirip. Bedanya, saya tidak meledek. Ketika asyik bersepeda di sekitar Jl. Veteran dan Jl. Merdeka Barat, saya keliru mengambil jalur yang mengarah ke istana. Saya pun kena semprot penjaga pos monyet.

Bukan cuma Istana Merdeka yang punya pos monyet, tangsi-tangsi atau markas-markas militer pun memiliki pos monyet beserta penjaganya. Para penjaga di pos monyet biasanya prajurit dengan pangkat tak lebih dari kopral. Mereka berjaga bergantian. Bisa lebih dari 8 jam sekali shift.

Pos monyet kadang juga disebut rumah monyet atau gardu monyet. Menurut Usamah Hisyam dalam SBY: Sang Demokrat (2004), “Disebut rumah monyet karena bentuknya kecil, mirip rumah monyet” (hlm. 86).

Di situlah prajurit penjaga berteduh dari panas dan hujan sembari tetap siaga mengawasi bahaya dari luar. Menurut Usamah, Susilo Bambang Yudhoyono waktu masih jadi prajurit taruna pernah berjaga di pos monyet Akabri. Keliru istilah kegiatan berjaga dengan berdiri di pos monyet itu disebut juga sebagai "jaga monyet".

Kawasan Jaga Monyet

Tak jauh dari Istana Negara, di arah barat yang dilintasi Jalan Suryopranoto, ada sebuah kawasan yang di masa lalu terkenal dengan nama Jaga Monyet. Kawasan ini sudah ada sejak zaman VOC. “Untuk mengamankan daerah sekitar Batavia beberapa benteng kecil dibangun (1656-1659),” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016: 332).

Di antara benteng yang dibangun itu adalah Benteng Rijswijk dan Benteng Jaga Monyet. Benteng yang disebut Jaga Monyet dibangun pada 1668. Ketika Benteng Rijswijk dikosongkan sekitar 1729, benteng di Jaga Monyet tetap terjaga. Benteng-benteng di arah selatan Kota Tua kerap difungsikan untuk menghalau serangan musuh pribumi VOC. Benteng di Jaga Monyet pernah dibakar serdadu VOC ketika meletus pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia (1740).

Nama Jaga Monyet, menurut Heuken, muncul karena tiga ratus tahun lalu tempat tersebut sepi dan masih banyak monyet. “Para tentara tidak mempunyai kesibukan selain menjaga monyet, yang bermain di pohon-pohon besar di sekitar pos mereka itu,” tulis Heuken.

Menjaga monyet sering disebut sebagai Apenwatch. Serdadu penjaga biasanya berdiri berjam-jam dan sangat jarang bertemu musuh dalam jangka waktu cukup lama. Tak heran jika monyet lebih sering mereka lihat.

Heuken termasuk orang yang menyayangkan nama lokal seperti Jaga Monyet di Jakarta menghilang dari ingatan masyarakat. Di kawasan Jaga Moyet tersebut juga ada daerah bernama Petojo. Menurut Rachmat Ruchiat dalam Asal-usul Nama Tempat di Jakarta (2012: 125), nama Petojo diambil dari nama kolega Arung Palaka—yang sama-sama kabur ke Batavia karena tekanan imperialisme Gowa atas Bone—yakni Arung Petuju.

Hingga kalahnya Hindia Belanda atas balatentara Jepang pada 1942, daerah Jaga Monyet menjadi kawasan militer Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Sepengakuan Abdul Haris Nasution, yang pernah menjadi perwira KNIL di Jakarta sebelum 1942, dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990: 118), di Jaga Monyet terdapat batalyon artileri anti serangan udara. Seorang Jawa bernama Mayor Soeria Santoso pernah jadi komandan di batalyon tersebut.

Sementara itu, dalam buku Dari Jakarta kembali ke Jakarta (1996), R.H.A. Saleh menyebut di Jaga Monyet terdapat pula tangsi kavaleri KNIL.

Sejarah daerah Jaga Monyet sebagai kawasan militer berlanjut di zaman Jepang. Salah satu batalyon tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta bertangsi di tempat itu. Kasman Singodimedjo, Pahlawan Nasional yang diangkat tahun ini, pernah menjadi komandan batalyonnya.

Batalyon PETA Jaga Monyet ini pernah memberikan pelatihan militer kepada orang-orang sipil, termasuk mahasiswa sekolah tinggi kedokteran Jakarta (Ika Daigaku). Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik pernah dilatih di sana. “Latif Hendraningrat bertindak sebagai pemimpin latihan sehari-hari,” tutur Kecik dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit, Volume 1 (1995: 40).

Presiden RI ke-2 Soeharto juga pernah melatih di sana. “Saya dipindahkan ke Jaga Monyet di Jakarta untuk melatih murid-murid STM untuk dijadikan tentara zeni,” aku Soeharto dalam autobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 25).

Mereka yang dilatih Soeharto itu lalu dijadikan bintara berpangkat komandan regu di PETA.

PETA Jakarta yang bertangsi di Jaga Monyet ini, menurut Dien Madjid dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moeʼmin (1999: 9), ikut berperan dalam menjaga proklamasi pada pagi 17 Agustus 1945. Ketika PETA akan dibubarkan, beberapa personel PETA di Jaga Monyet telah membawa kabur senjata, yang tampaknya akan berguna jika perang pecah lagi.

Beberapa bulan setelah PETA dibubarkan dan tentara Belanda masuk, tangsi militer Jaga Monyet kembali dijadikan tangsi KNIL.

Antara Monyet dan Tentara

Tentara memang tidak jauh dari istilah monyet. Selain ada tangsi tentara di kawasan Jaga Monyet, ada juga pos monyet, rumah monyet, atau gardu monyet. Beberapa tentara, bahkan perwira tinggi, pernah merasakan dipanggil monyet oleh salah satu jenderal sohor Angkatan Darat, Gatot Subroto.

Hingga 1962, jenderal aktif yang tergolong paling lama berdinas di militer adalah Gatot Subroto. Sebelum Abdul Haris Nasution, Soeharto, atau Ahmad Yani jadi tentara, Gatot Subroto sudah belasan tahun berdinas sebagai serdadu KNIL. Soal merasakan jaga monyet, tentunya Gatot Subroto juga lebih dulu. Setidaknya, Gatot Subroto lebih dulu tahu makna "monyet" dalam dunia militer ketimbang ketiga jenderal tadi.

Dalam pertempuran di Ambarawa, seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam TB Silalahi: Bercerita Tentang Pengalamannya (2008), Gatot Subroto berteriak memanggil Soeharto: “Hei monyet, mari ke puncak sini.”

Soeharto yang pernah merasakan kasarnya kehidupan serdadu tidak ambil pusing dan tidak pernah sakit hati kepada Gatot Subroto.

Infografik Jaga Monyet

Buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Riwayat hidup singkat pimpinan tentara nasional Indonesia Angkatan Darat (1981: 492) menyebut, “Bawahan Pak Gatot Subroto merasa bahagia atau untung jika dipanggil oleh Pak Gatot.”

Sementara itu, Sayidiman Suryohadiprojo dalam Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi (1997: 246) menuturkan, "Kalau beliau [Gatot Subroto] suka kepada seorang maka beliau panggil orang itu monyet."

Di masa awal berdirinya Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, istilah monyet juga kerap dipakai. Dalam buku Letjen (Pur) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen (2015) dikisahkan, Soegito, yang angkatannya (1958) dipanggil "Kacung" oleh para seniornya, memberi sebutan monyet kepada juniornya angkatan 1959. Diperkirakan panggilan monyet ini karena terkenang oleh Gatot Subroto.

Puluhan tahun selulus dari AMN, para taruna yang disebut monyet itu jadi jenderal. Tentu saja, ketika mereka jadi jenderal panggilan monyet tidak terdengar lagi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan