tirto.id - Suatu ketika di tengah gejolak revolusi, Adnan Kapau Gani berduka. Usahanya mengekspor hasil bumi rugi besar. Dia begitu sakit hati. Ini bukan salah Agoes Moesin Dasaad yang ikut mengekspornya untuk kepentingan Republik. Di mata Republiken ini adalah salah Belanda. Jika hasil bumi itu sukses diekspor, keuntungannya akan jadi modal perjuangan bagi Republik Indonesia.
Mestika Zed dalam Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950 (2003) menyebut, untuk mengirimkan barang tersebut, Dasaad bekerja sama pengusaha Yahudi-Amerika bernama Jacob Isbrandtsen. Isbrandtsen Line, perusahaan milik orang Yahudi-Amerika tersebut menyediakan kapal Marthin Behrmann yang berlabuh di Cirebon.
Kala itu, seperti diakui Hasjim Ning dalam autobiografinya yang disusun A.A. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang (1986: 124), banyak kapal barang yang berlabuh untuk mengangkut 500.000 ton beras ke India sebagai bantuan pada rakyat India yang kelaparan.
Dalam catatan Mestika Zed, kapal itu meninggalkan Cirebon pada 7 Februari 1947 dengan muatan sekitar 5.000 ton getah karet, 400 ton gula, 500 ton kina, dan 200 ton sisal dengan tujuan New York. Sampai Jakarta, kapal itu sempat diadang Angkatan laut Belanda. Kapal itu kemudian boleh pergi, tapi muatannya disita otoritas Belanda di Tanjung Priok.
Gani sempat mengajukan protes karena muatannya adalah milik Republik Indonesia yang sah dan berdaulat. Protes itu hanya disanggah bahwa barang-barang tersebut berasal dari perkebunan-perkebunan di daerah pendudukan Belanda. Gani yang pusing soal muatan itu akhirnya menceritakan kejengkelannya atas tindakan Belanda kepada koleganya, Hasjim Ning.
Gani tak mau Belanda dapat untung dari barang muatan yang disita itu. Hasjim pun sebelas-dua belas dengan Gani. Sangat tidak mungkin merampasnya kembali dari gudang yang dijaga ketat militer Belanda.
“Bung, bakar gudang tempat menyimpan barang-barang kita itu!” kata Gani kepada Hasjim.
Hasjim pun sepakat. Hanya itulah jalan keluar dari masalah Gani dan Dasaad, yang akhirnya jadi persoalan Hasjim juga. “Baiklah,” kata Hasjim yang dengan sadar bahwa dia akan mengurus soal bagaimana cara membakarnya.
Membayar Serdadu Mabuk
Membakar gudang di kawasan pelabuhan Tanjung Priok yang dijaga militer Belanda tentu sangat sulit dilakukan pihak Republik. Orang dalamlah yang paling mungkin melakukannya. Sebagai orang dagang, seperti Dasaad, Hasjim juga punya banyak kolega, bahkan dengan tentara Belanda. Entah itu KNIL atau KL.
“Akan tetapi mencari yang mau aku upah untuk membakar gudang di Tanjung Priok tidak mudah. Hampir sebulan lamanya aku menajam-najamkan hidungku mencari bau mereka yang cocok,” aku Hasjim Ning dalam autobiografinya (hlm. 125).
Hasjim punya kesimpulan sementara, mereka yang mau melakukan biasanya orang yang suka foya-foya dan mabuk-mabukan. Ada banyak KNIL dan KL macam itu di Jakarta. “Tapi yang mau mengerjakan pembakaran itu mestilah mereka yang telah pernah menikmati uangku,” pikir Hasjim.
Pada “hari baik” yang diperoleh Hasjim, ia pun menemui salah satu dari serdadu Belanda. Ketika kantung serdadu-serdadu Belanda yang tidak rajin menabung sedang cekak-cekaknya, Hasjim menemui sang serdadu itu di sebuah bar. Di mana banyak “kupu-kupu” alias perempuan menggoda di sana.
“Aku biarkan ia minum sepuas-puasnya hingga setengah mabuk,” aku Hasjim.
Ketika mabuk, serdadu ini jadi nakal. Seorang “kupu-kupu” ditarik untuk duduk di sebelahnya. Hasjim pun berlagak punya kesibukan di tempat lain, hingga serdadu itu ditinggalkannya. Tak lupa, Hasjim meninggalkan uang secukupnya pada si serdadu. Maksudnya cukup untuk mabuk-mabukan.
Sebelum pergi, Hasjim berpesan untuk menemuinya esok hari di jam yang sama.
Esoknya, waktu Hasjim datang, serdadu itu tidak sendiri. Ada dua “kupu-kupu” dan seorang sersan. Kebetulan sekali, Hasjim kenal dengan sersan tersebut. Hasjim yakin serdadu dan sersannya itu menantikannya. Mereka begitu gembira Hasjim datang.
Tapi Hasjim pun berlagak seperti orang bisnis yang sibuk dan banyak urusan. Ketika terlihat wajah dua tentara Belanda tersebut kecewa, Hasjim keluarkan lagi dari kantungnya uang 100 gulden.
“Kalau kau mau uang lebih banyak, aku punya pekerjaan buatmu,” kata Hasjim sambil memberikan uang.
Kedua tentara itu tampak berminat dan bertanya, "Apa?"
“Membakar gudang,” kata Hasjim.
“Gudang apa?” tanya si serdadu.
“Di Tanjung Priok,” jawab Hasjim.
Si serdadu dan si sersan berpandangan.
“Kau akan bayar berapa?” tanya si sersan yang penasaran dan tampaknya ngiler pada uang.
“Berapa kau mau?” Hasjim Ning bertanya seolah-olah dia akan bayar berapa saja.
“Lima ribu,” jawab si sersan.
“Okey. Setelah kau lakukan, aku kan bayar. Kalian tahu dimana aku tinggal,” kata Hasjim sambil sekali lagi mengeluarkan uang 100 gulden sebelum pergi meninggalkan dua serdadu yang butuh duit di tanggal tua itu.
Pembakar Bertarif 5.000 Gulden
Lima hari kemudian Hasjim membaca surat kabar berbahasa Belanda yang belakangan dia lupa namanya. Rupanya, gudang yang ia, Gani, dan Dasaad inginkan telah terbakar. Hasjim tentu tahu bahwa dua tentara Belanda yang kemarin diberinya order untuk membakar itu akan datang ke rumahnya di Gondangdia Lama. Berita pembakaran di koran itu dilingkari potlot merah.
Hasjim kemudian mendatangi Gani. Di kantor Perdana Menteri di Jakarta, tempat Gani jadi Wakil Perdana Menteri dan Menteri Kemakmuran, Gani begitu senang.
“Anak-anak mana yang melakukannya?” tanya Gani.
“KNIL. Bayarannya lima ribu gulden,” jelas Hasjim.
“Gila kau. Siapa yang beri izin kau bayar sebanyak itu?” Gani kaget.
“Bung, gudang itu sudah mereka bakar. Nanti mereka akan datang minta uangnya. Aku harus bilang apa?" kata Hasjim
“Sungguh gila kau Hasjim. Kau tidak bilang padaku lebih dahulu. Sekarang aku tidak punya uang,” timpal Gani.
Di masa itu pemerintah Indonesia nyaris selalu kesulitan keuangan. Hasjim tidak menceritakan kepada Gani bagaimana dirinya kemudian membayar dua tentara Belanda yang membakar gudang itu.
Jika Hasjim tak membayarnya, dua tentara itu bisa saja marah besar dan membunuh Hasjim. Jika pun ia tak membayar dan tidak diapa-apakan oleh dua tentara itu, mungkin dua ratus gulden darinya sudah cukup.
Belakangan Hasjim Ning dan Dasaad dikenal sebagai pengusaha yang terus dekat dengan Presiden Sukarno. Dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1964), Sukarno mengakui bahwa Hasjim Ning sedari muda sudah jadi penyumbang bagi perjuangannya.
Di masa Sukarno jadi presiden, Hasjim dan Dasaad jadi konglomerat pribumi yang terkemuka.
Editor: Ivan Aulia Ahsan