tirto.id - Hasjim Ning sohor di zaman Sukarno sebagai orang tajir melintir. Usaha terkenalnya pada 1950-an adalah Djakarta Motor Company—yang berkembang menjadi usaha perakitan mobil pertama di Indonesia. Sebagai pengusaha, Hasjim Ning tak hanya memiliki perusahaan di Indonesia, tapi juga di luar negeri.
Dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986), konglomerat itu mengakuinya. “Memang pada waktu itu aku punya perusahaan di Singapura. Perusahaan itu aku dirikan dengan prosedur yang sah.” Di zaman Sukarno, itu memang tidak salah. Bahkan, seperti dikutip Hasjim Ning, Sukarno pernah bilang: “Tidak ada larangan bangsa Indonesia memiliki perusahaan di luar negeri."
Kedekatan dengan Sukarno dan punya perusahaan di luar negeri pun bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Ning. Terutama ketika Sukarno lengser dan Suharto naik. “Dari keuntungan perusahaanku di Singapura itulah aku dituduh telah melakukan penggelapan devisa,” akunya. Ning juga mengaku ada aset-asetnya yang disita negara.
Namun, di masa Orde Baru, Ning tak serta merta jatuh miskin. Ia tetap jadi pengusaha kaya. Menurut catatan Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1986), Ning bahkan pernah menjadi Ketua Umum Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) dari 1979 hingga 1982.
Baca Juga: Beda Tahiya dengan Selle dan Sose
Cari Untung di Dalam Negeri, Duitnya Lari ke Luar Negeri
Tak hanya Ning yang punya perusahaan di luar negeri. Menurut catatan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Volume 3 (2009), Soedarpo Sastrotomo, seorang nasionalis yang dekat dengan Sutan Sjahrir, juga pernah punya perusahaan di Singapura. Setidaknya sejak era Demokrasi Terpimpin.
“Dipersulit beroperasi di lautan sekitar nusantara Indonesia, ia melakukan lompatan keluar, lalu mendirikan perusahaan cabang di Singapura yang didaftarkan di sana dan bertindak sebagai perusahaan otonom,” tulis Rosihan tentang Ning. Ketika Soeharto sudah hampir tiga dekade berkuasa, Soedarpo mendirikan Samudera Shipping Lines (SSL) di Singapura pada 1993.
Tentu saja banyak keluhan soal orang-orang yang mencari kekayaan di Indonesia lalu menyimpan atau menginvestasikannya di luar negeri. Biasanya tak hanya pengusaha-pengusaha yang dicap nonpribumi saja, yang dianggap pribumi pun doyan membawa uang mereka ke luar negeri. Ahmad Arnold Baramuli dalam Masyarakat Bertanya, Baramuli Menjawab (1998) menyatakan, tujuan orang-orang ini mencari kekayaan saja. “Dan uang yang mereka dapat lalu mereka tanam di Hong Kong, Singapura,” katanya.
Punya bisnis, juga perusahaan, di luar negeri memang bukan hal baru di Indonesia. Pada masa kolonial, ada pula pengusaha yang mengeruk kekayaan dari Indonesia lalu membuka usaha di luar negeri: keluarga Oei Tiong Ham.
Seperti diungkap dalam Raja Gula Oei Tiong Ham (1979), keturunan konglomerat Oei Tiong Ham, di bawah bendera Oei Tiong Ham Concern, punya usaha setidaknya di Tiongkok, India, Inggris, Belanda, Jepang, Thailand, dan beberapa negara lainnya. Kekayaan besar yang diperolehnya dari berdagang gula di Indonesia setidaknya diinvestasikan dalam pabrik alkohol di Shanghai pada 1934.
Di kalangan pengusaha pribumi, Rahman Tamin patut disebut. Waktu baru mulai membangun bisnis bersama orang-orang Tionghoa di Singapura pada 1929, ia masih 22 tahun. Semula, usaha anak Haji Tamin asal Minang ini berbasis di Singapura. Namun, menurut Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital (1986), pada 1932 pusat bisnisnya malah pindah ke Batavia.
Tak hanya Rahman Tamin, pengusaha yang secara usia tak jauh dengannya, Agoes Moesin Dasaad, juga berbisnis sampai Singapura. Menurut Mestika Zed dalam Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang1900-1950 (2003), Dasaad—yang memulai bisnis sejak 1920-an dan menjadi penyandang dana perjuangan Sukarno itu—bahkan berbisnis sampai ke Filipina bagian selatan. Dasaad juga sempat bermukim di Singapura.
Baca Juga: Agoes Moesin Dasaad: Dompet Berjalan Bung Karno
Singapura yang ramai perniagaannya itu menjadi negeri yang menyediakan senjata-senjata gelap sisa Perang Dunia II. Tak heran jika kaum republiken mencari senjata ke sana. Di antara senjata-senjata itu ada yang diangkut penyelundup legendaris John Lie.
Soenar Soerapoetra, dalam Otobiografi HR Soenar Soerapoetro: Profil Seorang Bahariawan (1994), mengaku pernah menumpang kapal The Outlaw yang dinakhodai John Lie. Dalam perjalanan ini, Soenar memakai paspor palsu sebagai Presiden Direktur perusahaan Blue Ribbon Shipping Company.
Baca Juga: John Lie: Penyelundup Sekaligus Pejuang
Perusahaan itu bukan perusahaan fiktif. Menurut Yong Mun Cheong dalam The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945-1949 (2003), Blue Ribbon Shipping Company didirikan untuk mengatasi kesulitan transportasi antara Aceh dengan negara-negara luar setelah adanya blokade laut Belanda. Mau tidak mau, untuk memudahkan urusan dagang, perusahaan seperti ini harus punya kantor atau persinggahan di Singapura.
Selain Blue Ribbon, perusahaan yang terkait dengan revolusi Indonesia di luar negeri adalah Banking Trading Company (BTC) yang dipimpin Soemitro Djojohadikusumo. Menurut Peter Post dalam Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective (2014), BTC berkantor pusat di Jakarta dan berjalan setelah Sumitro pulang ke Indonesia pada 1946.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan