Menuju konten utama

Mahfud MD Klaim Insiden 21-22 Mei Bukan Pelanggaran HAM

Mahfud MD mengatakan, kasus 22 Mei tidak termasuk pelanggaran HAM karena polisi justru dilempar dan diajak berkelahi saat penanganan aksi 21-22 Mei.

Mahfud MD Klaim Insiden 21-22 Mei Bukan Pelanggaran HAM
Menkopolhukam Mahfud M. D. memberikan pidato saat peluncuran Islamic Law Firm di Jakarta, Jumat (25/10/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengklaim kalau insiden konflik 21-22 Mei tidak dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pernyataan Mahfud ini merespons pertanyaan awak media tentang insiden 21-22 Mei 2019.

"Yang 22 Mei jangan bilang pelanggaran HAM," kata Mahfud MD, di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019).

Mahfud MD meminta publik membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran HAM.

Ia mengatakan, pelanggaran HAM secara definisi hukum adalah dilakukan oleh aparat pemerintah secara terencana dengan tujuan tertentu. Sementara kejahatan seperti penganiayaan termasuk pelanggaran HAM, tetapi tidak masuk pelanggaran HAM oleh pemerintah.

“Ada juga polisi diamuk oleh rakyat, itu bukan pelanggaran HAM. Ada rakyat ngamuk ke rakyat, itu bukan pelanggaran HAM. Itu yang sifatnya horizontal itu kejahatan namanya kerusuhan," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan, kasus 22 Mei tidak termasuk pelanggaran HAM karena polisi justru dilempar dan diajak berkelahi saat penanganan kasus 21-22 Mei.

Mahfud tidak memungkiri, penganiayaan yang terjadi saat penanganan untuk rasa. Namun, polisi tersebut bisa saja membela diri. Oleh sebab itu, ia mengklaim para polisi diadili.

Ia juga meminta publik menunggu hasil pengadilan sebelum berbicara pelanggaran HAM. "Ini bukan pelanggaran HAM yang terencana, mereka yang menyerang," kata Mahfud.

"Nanti kita lihat pengadilan. Pengadilan yang masih berjalan sudah dibilang pelanggaran HAM," kata Mahfud.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merampungkan proses investigasi atas kerusuhan yang terjadi pada 21-23 Mei 2019.

Peristiwa itu mereka sebut sebagai noda dalam demokrasi Indonesia karena kekerasan digunakan untuk menyikapi hasil pemilu.

"Aksi massa yang berujung pada kekerasan pada tanggal 21-23 Mei 2019 telah menjadi noda dalam pertumbuhan demokrasi Indonesia karena cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak dipakai untuk menyikapi hasil pemilu yang sah," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, pada Senin (28/10/2019).

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz