tirto.id - Yang termasuk puasa wajib adalah puasa Ramadhan, puasa al-Qadla', puasa Kafarat, puasa dalam haji dan umrah, puasa untuk al-istisqa', dan puasa Nadzar.
Puasa wajib adalah puasa yang harus dilakukan dan berdosa apabila ditinggalkan. Puasa wajib bagi umat Islam yang banyak diketahui adalah puasa Ramadan. Ini karena puasa Ramadan merupakan agenda rutin tahunan bagi umat Islam.
Selain puasa Ramadhan, ada pula beberapa jenis puasa lain yang juga wajib dilakukan oleh umat muslim. Hukum wajib mengerjakan puasa-puasa itu dikarenakan kondisi tertentu.
Mengutip penjelasan di laman NU Online, dalam Madzhab Syafi’i, dikenal ada 6 jenis puasa wajib. Salah satunya adalah puasa Ramadhan. Berikut ini penjelasannya.
Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan wajib dilakukan oleh umat muslim. Perintah berpuasa tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Ibadah puasa pun dikenal memiliki berbagai keutamaan yang istimewa. Salah satu hadist qudsi diterangkan bahwa setiap amal kebaikan manusia akan dilipatgandakan dengan 10 kebaikan yang semisal hingga 700 kali lipat kecuali amal puasa. Allah berfirman, “Puasa tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena ia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku,” (HR. Muslim).
Adapun syarat wajib puasa Ramadhan adalah muslim, telah baligh atau mencapai masa pubertas, berakal sehat, mampu menunaikan puasa, dan mengetahui awal Ramadhan hingga sebulan penuh.
Puasa Qadla’
Puasa Qadla’ wajib dilakukan untuk mengganti sejumlah hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena beberapa jenis halangan, seperti sakit parah, bepergian jauh (safar), atau menstruasi.
Puasa Qadla’ dilakukan dengan cara berpuasa sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Apabila puasa yang harus diganti lebih dari satu hari maka puasa dapat dilakukan secara berturut-turut ataupun terpisah.
Di surat Al-Baqarah ayat 184, Allah SWT Berfirman: “...... maka barangsiapa di antara kamu sakit dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib baginya mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”
Puasa Kafarat
Jika seorang muslim secara sengaja merusak puasanya pada bulan Ramadhan, terutama dengan melakukan hubungan seksual, wajib baginya untuk menjalankan kifarah ‘udhma (kifarat besar), dengan urutan kafarat (denda) sebagai berikut.
Pertama, harus memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, dan bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Kedua, jika tak mampu, ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak mampu, ia harus memberi makanan pokok di daerahnya kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih sepertiga liter beras).
Kafarat tersebut berdasarkan hadist sahih: “Abu Huraihah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan,”. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan,”. Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu”. Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut”. Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu,”. Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR Al-Bukhari).
Puasa saat haji dan umrah sebagai ganti dari penyembelihan hewan untuk fidyah
Saat melaksanakan ibadah haji atau umrah, seorang muslim wajib membayar denda atau disebut dam jika melanggar larangan ihram. Ada empat kategori dam atau denda yang disebutkan Imam An-Nawawi dalam kitabnya dengan mengutip pendapat Imam Rafi’i, seperti dilansir NU Online.
Pertama, tartib dan taqdir. Denda ini wajib dilakukan jamaah haji yang melakukan haji tamattu’, haji qiran, dan beberapa pelanggaran wajib haji, seperti tidak berniat (ihram) dari miqat makani, tidak mabit di Muzdalifah tanpa alasan syar’i, tidak mabit di Mina tanpa alasan syar’i, tidak melontar jumrah, dan tidak melaksanakan thawaf wada.
Tartib dan taqdir ini dilakukan dengan menyembelih seekor kambing. jika tak mampu menemukan kambing, dapat diganti berpuasa 10 hari dengan ketentuan 3 hari dilaksanakan saat pelaksanaan ibadah haji, dan 7 hari sisanya di kampung halaman.
Bila tidak sanggup untuk berpuasa maka bisa digantikan dengan membayar 1 mud/ hari (1 mud= 675 gram atau 0,7 liter) seharga makanan pokok.
Kedua, tartib dan ta’dil. Denda ini dibayar bila seorang muhrim melakukan hubungan suami istri sebelum tahallul awal (dalam ibadah haji) serta sebelum seluruh rangkaian umrah selesai (dalam ibadah umrah).
Adapun dendanya adalah menyembelih seekor unta, sapi, atau lembu. Jika tidak mampu, diganti dengan menyembelih 7 ekor kambing. Bila masih tidak mampu, denda diganti dengan memberi makan fakir miskin senilai seekor unta, atau berpuasa dengan hari sebanyak hitungan mud dari makanan yang dibeli seharga seekor unta.
Ketiga, takhyir dan ta’dil. Denda ini berlaku untuk muhrim yang berburu atau membunuh binatang buruan ketika berada di Tanah Haram atau Halal setelah ihram. Denda ini pun berlaku bagi muhrim yang mencabut pepohonan di Tanah Haram Mekah (kecuali pepohonan yang sudah kering).
Denda yang diberlakukan adalah: menyembelih binatang yang sebanding dengan binatang yang diburu; atau memberi makan fakir miskin di Mekah dengan nilai harga binatang yang sebanding; atau berpuasa sejumlah bilangan mud yang senilai dengan binatang sebanding yang diburu.
Keempat, takhyir dan taqdir. Takhyir dan taqdir merupakan jenis denda untuk pelanggaran ketika beribadah haji atau umrah, berupa: membuang/mencabut/menggunting rambut atau bulu dari anggota tubuh; memakai pakaian yang dilarang dalam ihram; mengecat/ memotong kuku; dan memakai wangi-wangian.
Adapun pilihan yang bisa dibayar adalah berupa: menyembelih seekor kambing; atau bersedekah kepada 6 orang fakir miskin (tiap orang dua mud); atau berpuasa selama tiga hari.
Puasa untuk al-istisqa' (shalat minta hujan) apabila diperintahkan oleh pemerintah
Puasa dalam kaitannya dengan shalat minta hujan (Al-Istisqa’) jika ada perintah dari pemerintah (Al-Hakim), juga bisa menjadi wajib dilakukan, menurut pendapat Madzhab Syafi’i.
Salat istisqa dilakukan saat kemarau panjang yang menyebabkan kebakaran hutan, juga keringnya lahan pertanian, atau kekeringan panjang yang memicu kelangkaan air.
Puasa nadzar
Puasa ini wajib dilakukan usai seseorang berjanji dan menyanggupi melakukan ibadah. Contohnya adalah ketika seseorang berkata: “Jika saya sembuh, saya akan puasa” maka nadzar itu menjadi wajib untuk dilakukan.
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Addi M Idhom