Menuju konten utama

Lika Liku Menyewakan Kamar Pada Layanan Airbnb

Airbnb merupakan salah satu contoh bentuk disrupsi bisnis sharing economy terhadap sektor jasa penyewaan properti seperti hotel dan lainnya.

Lika Liku Menyewakan Kamar Pada Layanan Airbnb
Ilustrasi Airbnb. FOTO/REUTERS

tirto.id - Sebagai mahasiswa Rhode Island School of Design, Joe Gebbia dan Brian Chesky tak bisa melewatkan kesempatan untuk ikut menghadiri konferensi desain yang diadakan di San Fransisco, Amerika Serikat.

Namun, ada jarak hampir 5 ribu kilometer antara lokasi tinggal mereka dengan tempat konferensi. Selain memesan tiket pesawat, memesan kamar hotel mesti dilakukan. Sayangnya, hotel-hotel di San Fransisco telah penuh dipesan orang.

Sejak itu lah ide cemerlang kemudian muncul dari isi kepala mereka. Kedua orang ini paham betul, akomodasi banyak dicari orang, tapi pasokan kamar hotel tak mencukupi. Sayangnya, dua sosok ini tak memiliki properti sendiri untuk dibisniskan sebagai tempat penginapan.

Ide mereka ingin menyewakan ruang tamu, lalu menyiapkan sarapan kepada para pendatang. Gagasan penting tak sekadar jadi ide semata, hingga akhirnya tercipta airbedandbreakfast.com. Enam hari berselang, pria India berumur 30 tahun, wanita asal Boston berusia 35 tahun, dan seorang ayah paruh baya asal Utah, AS telah jadi tiga tamu pertama mereka.

Uang sebesar US$80 dari masing-masing tamu, jadi pendapatan. Ini jadi bukti bahwa ide mereka memang layak dipertaruhkan. Selepas bertemu dengan ahli komputer bernama Nathan Blecharczyk, airbedandbreakfast.com berubah menjadi Airbnb.

Airbnb merupakan aplikasi yang memberikan layanan peer-to-peer property rental. Suatu sistem yang memungkinkan pemilik properti menyewakan unit-unit properti pada pihak lain dalam tempo yang umumnya singkat sebagai alternatif akomodasi seperti hotel. Ini merupakan bagian dari disrupsi kreatif. Jika Uber, Grab, maupun Go-Jek mendisrupsi sistem transportasi konvensional, Airbnb mendisrupsi sistem akomodasi yang ditopang oleh hotel atau penginapan konvensional.

Dalam wajah lain, Airbnb merupakan salah satu startup populer. Klaim mereka, telah ada lebih dari 200 juta tamu akomodasi Airbnb. Salah satu alasan kepopulerannya ialah harga akomodasi yang terbilang lebih murah dibandingkan hotel atau penginapan konvensional

Per Januari 2018, harga rata-rata tarif kamar per malam hotel atau penginapan konvensional di New York dipatok di angka US$306. Di kota yang sama, akomodasi yang ditawarkan Airbnb rata-rata harganya senilai US$187. Ini juga terjadi di kota-kota lain antara tarif hotel konvensional dengan Airbnb perbandingannya cukup terpaut jauh lebih murah Airbnb seperti di Sydney (US$240 dan US$191), Tokyo (US$220 dan US$93), dan Moskow (US$118 dan US$65).

Kiprahnya yang Populer digunakan orang untuk mencari akomodasi, Airbnb jadi ladang bisnis yang menjanjikan bagi para pemilik properti. Kebijakan Airbnb yang mengizinkan ragam properti disewakan melalui aplikasinya turut punya andil. Kamar rumah, apartemen, indekos, hotel, atau bahkan ruang tamu seperti yang dilakukan oleh sosok pendiri Airbnb, dapat dijadikan properti yang disewakan melalui aplikasi ini.

Secara sederhana, Airbnb serupa dengan Go-Jek atau Uber, karena mengusung konsep sharing economy, bedanya hanya benda yang digunakan yaitu properti dan kendaraan. Konsep ini pun mulai marak di Indonesia, termasuk Jakarta dan Bali.

Ni Made Tresiani, 42 tahun, pengusaha di bidang hospitality dan Intan Febriani, 33 tahun, seorang pegawai di sebuah lembaga internasional di Jakarta, mendaftarkan properti berbeda pada Airbnb. Tresiani memberdayakan dua dari 14 kamar kos di Jakarta dan satu vila di Bali pada Airbnb.

Sementara Intan menjadikan satu kamar kosong rumahnya di Jakarta untuk disewakan via Airbnb. Di Airbnb banyak variasi akomodasi di Jakarta yang ditawarkan mulai dari kamar di sebuah rumah, kamar apartemen, kamar dengan multi tempat tidur berbentuk tempat tidur kapsul dan lain-lain.

Tresiani dan Intan hanya contoh dari sekian banyak host yang menjalin kerja sama dengan platform aplikasi sharing ini.

Indonesia, sebagai negara tempat perputaran ekonomi terbesar di Asia Tenggara juga jadi sasaran utama Airbnb. Sampai Juni 2017, sudah ada 38 ribu host Indonesia yang mendaftar ke Airbnb.

“Biasanya yang ikut Airbnb kebanyakan begitu (terutama) di luar negeri, punya rumah besar kamarnya kosong pakai Airbnb. Kalau di Indonesia, apartemen ikut Airbnb, indekos banyak, hotel ada juga,” kata Tresiani kepada Tirto.

Menurut Tresiani, persyaratan menjadi host Airbnb terbilang ketat. Misalnya soal data diri dan proses verifikasi yang ketat untuk memastikan bahwa host tak punya persoalan kriminal. Sementara itu, Intan mengaku sebaliknya, mudah guna menjadi host di Airbnb.

“Persyaratan Airbnb itu ketat banget. Sebagai host, data saya mereka pegang. Mereka verifikasi, setelah oke kita nggak terlibat kriminal atau apapun, mereka setuju,” tutur Tresiani.

Infografik Peer to Peer Property Rental

Lika Liku Jadi Host

Sebagai salah satu saluran bisnis, Airbnb tentu diharapkan memberikan keuntungan bagi para host atau pemilik properti. Intan mengaku punya kebebasan menetapkan tarif kamar seharga US$12 per malam. Pendapatan hingga Rp4,5 juta per bulan di awal bergabung di Airbnb bisa ia raih dari menyewakan rata-rata 20 malam selama sebulan.

Sayangnya, Intan yang mulai bergabung dengan Airbnb sejak 2015 ini tak merinci berapa biaya perawatan yang harus ia rogoh untuk mengetahui keuntungan bersihnya. Menurut Intan, biaya cuci sprei dan sarapan tak seberapa sehingga masih memberikan keuntungan. Namun, kini pendapatan sewa dari indekosnya berkurang karena semakin banyak saingan host-host Airbnb yang sudah bergabung di Jakarta.

Sementara itu, Trisiani punya pengalaman yang berbeda, ia mematok kamar indekos US$12 per malam tapi tak cukup dijadikan penopang untuk memutar uang bisnis indekos di Airbnb. Namun, untuk vila di Bali yang ia sewakan dengan tarif lumayan tinggi hingga US$68 per malam lebih punya prospek karena relatif punya tarif yang jauh lebih mahal.

Namun, secara umum Intan maupun Tresiani mengaku bahwa Airbnb memberikan pendapatan yang lebih baik bila dibandingkan sistem sewa konvensional seperti indekos atau sewa vila pada umumnya. Selain soal uang, Airbnb menawarkan pengalaman berbeda karena umumnya tamu yang datang berasal dari mancanegara daripada lokal.

“Tertarik karena customer-nya worldwide, enggak hanya wisatawan domestik. Tertantang aja dapat tamu (mancanegara), karakternya macam-macam,” kata Tresiani.

Sama dengan Tresiani, Intan juga mengaku senang karena sering kedatangan tamu mancanegara. Tamu-tamu tersebut bisa berinteraksi langsung dengannya karena berada dalam satu lingkungan rumah yang mereka tinggali.

“Kalau aku terus terang asik banget. Hidupku sedikit berubah sejak ada Airbnb. Soalnya seru kita tiap bulan ada tamu dari luar. Bisa ngobrol macam-macam. Dapat cerita baru dari tamu-tamu ini,” tutur Intan.

Namun, menjadikan properti sebagai "mesin uang" pada layanan sharing denganseringnya tamu asing yang datang bukan tanpa risiko, terutama menyangkut soal keamanan.

Intan pernah menerima tamu mancanegara yang membawa pulang wanita penyedia jasa pijat dewasa ke kamar yang disewa tamunya. Ia mengaku “ide mendatangkan orang (asing) ke rumah (adalah) sesuatu yang mengerikan.”

Namun, ia mengakui bahwa kisah tak menyenangkan itu karena sebelumnya tak memberikan aturan khusus apapun bagi para tamunya. Belajar dari pengalaman itu, aturan main bagi para tamu pun ia diterapkan.

Selain itu, soal pembayaran uang sewa juga bisa jadi masalah bagi para host. Tamu biasanya membayar sewa melalui kartu kredit ke dalam sistem Airbnb. Menurut penuturan Intan, masalah bisa terjadi bila host dan tamu melakukan transaksi di luar sistem Airbnb. Secara sistem, Airbnb memang melarang keras host maupun tamu bertransaksi di luar platformnya.

“Yang pakai kartu kredit saja yang bisa pakai Airbnb. Saya enggak mau cash. Airbnb membentengi kita dari yang mau transaksi langsung,” jelas Tresiani, secara terpisah.

Baca juga artikel terkait AIRBNB atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra