Menuju konten utama

Creative Destruction, Sisi Merusak dari Inovasi

Inovasi teknologi, perlahan tapi pasti, sukses menghancurkan pemain-pemain konvensional yang lebih dulu ada.

Ojek tampak ngetem di pinggir Jalan Pancoran, Pasar Glodok, Jakarta Barat, Rabu (17/5). Polisi menindak tegas ojek ngetem di pinggir jalan pada Operasi Patuh Jaya 2017 (9 Mei-22 Mei). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - "Kami pada akhirnya mendapatkan kembali jalanan," ungkap David English, seorang pengemudi taksi di London yang meluapkan suka citanya. English senang bukan kepalang manakala otoritas London memutuskan tidak akan memperbarui izin operasional Uber, layanan ride-sharing berbasis aplikasi, berlalu-lalang di jalanan ibu kota.

Bagi English dan para pengemudi taksi konvensional lainnya, Uber bak drakula yang perlahan menghisap darah mereka. Joe Payne, salah seorang pengemudi taksi lainnya, membenarkan kengerian Uber itu. "Kami telah belajar untuk mendapatkan lisensi selama tiga tahun, kami membeli taksi seharga 40.000 Poundsterling. Lalu Uber datang dan berbuat semau mereka. Kami merasa diremehkan dan dikhianati," ujarnya meredam emosi.

Bagi sopir taksi di London dan kota-kota di dunia, perusahaan teknologi transportasi online telah mengacak-acak dunia transportasi konvensional. Lisensi mengemudi yang susah-susah didapat para sopir taksi, diterabas oleh skema layanan taksi online.

"Kami tidak sempurna tapi kami sangat yakin bahwa kami (mengemudi) dengan aman. Kami semua telah dilatih dan jika ada masalah penumpang bisa melihat lisensi kami di dalam taksi," ungkap Payne.

Memang tak bisa dipungkiri kehadiran layanan-layanan taksi online semacam Uber dan lainnya memang membuat bisnis transportasi konvensional bergejolak di banyak negara. Pemanfaatan teknologi yang telah membuat perubahan sangat cepat dan masif, terbukti sukses membuat pontang-panting model bisnis lama.

Fenomena Uber dan transportasi online lainnya hanya bagian kecil dari sebuah konsep bernama “sharing economy” yang berkonsolidasi dengan kemajuan teknologi. Sharing economy sesungguhnya merupakan konsep lama. Ia merupakan konsep membagi aset secara peer-to-peer alias transaksi yang dilakukan secara terdesentrasilasi, antar individu. Dalam kerangka umum, sharing economy tak membicarakan untung-rugi selayaknya transaksi jual-beli. Sharing economy merupakan konsep membagi, tak mencari untung.

Namun dalam kerangka teknologi sharing economy kini telah bertransformasi lebih jauh setelah "ditunggangi" dengan sentuhan teknologi. Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat dalam laporannya bertajuk “The ‘Sharing’ Economy Issues Facing Platform, Participants & Regylators” menyebut, dalam konteks kerangka teknologi, sharing economy merupakan suatu marketplace yang dikelilingi 3 pemain prinsipal: platform, sebagai tempat berlangsungnya sharing economy, penjual, dan pembeli.

Platform, dalam laporan tersebut, disebut berguna “untuk mempertemukan individu yang memiliki suatu barang dengan seseorang yang menginginkan barang tersebut.” Konsep sharing economy sesungguhnya menihilkan pihak ketiga, dalam kerangka teknologi, terjadi revolusi soal pihak ketiga ini. Ia menyaru menjadi benda. Menjadi platform yang bertugas mempertemukan orang-orang di dalamnya. Secara efektif dan efisien. Keefektifan dan keefisienan inilah yang menjadi pangkal pihak ketiga gaya baru dengan memanfaatkan teknologi untuk memperoleh kompensasi atau keuntungan dari dua individu yang dipertemukan, penjual dan pembeli.

Sharing economy yang terlahir dalam konteks perkembangan teknologi, hari ini kita kenal dengan aplikasi-aplikasi seperti bidang transportasi antara lain Uber, Go-Jek, Grab, Lyft. Sedangkan Airbnb, Kozaza, Couchsurfing masuk dalam bidang akomodasi. Selain itu, ada eBay, Tokopedia, Bukalapak di bidang e-commerce. Prosper, KlikAcc masuk dalam bidang pembiayaan. Lalu ada Sribulancer, oDesk dalam bidang jasa, dan banyak lainnya.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/20/evolusi-sharing-economy--mild--fuad.jpg" width="860" alt="Infografik Evolusi shaling economy" /

Baca juga: Gojek, Unicorn Pertama yang Siap Mendunia

Sofia Ranchordas dalam jurnalnya berjudul “Does Sharing Mean Caring? Regulating Innovation in the Sharing Economy” menjelaskan bahwa aplikasi-aplikasi tadi dalam praktiknya lebih dekat digerakkan melalui motivasi inovasi sosial. Dibakar oleh semangat berbagi. Go-Jek misalnya, aplikasi yang dibangun oleh Nadiem Makarim tersebut dibuat untuk mempertemukan dua pihak yang saling membutuhkan.

Pengendara Go-Jek yang membutuhkan pendapatan dan penduduk kota yang mengharapkan transportasi nyaman. Di titik ini, makna “sharing” bekerja. Namun, atas dasar perawatan platform dan klaim keberhasilan menghadirkan sesuatu yang efektif dan efisien, atau kompensasi dalam bentuk komersial menjadi cerita lain dari sharing economy.

Meskipun terlihat positif, sharing economy yang lahir dalam bentuk aplikasi-aplikasi kekinian tersebut memiliki banyak sisi negatif. Ranchordas mengungkapkan bahwa ketiadaan asuransi bagi pemakai jasa, khususnya dalam konteks aplikasi ride-sharing seperti Uber dan Go-Jek, merupakan suatu hal yang meresahkan dari aplikasi ini.

Bila dilihat secara lebih menyeluruh, aplikasi-aplikasi yang terangkum dalam sharing economy tersebut, meskipun di satu sisi menguntungkan masyarakat. Namun, secara bersamaan memiliki sifat perusak terhadap tatanan yang sudah ada, istilahnya sebagai “creative destruction.

Henrique Schneider dalam bukunya berjudul “Creative Destruction and Sharing Economy” menyebut bahkan istilah creative destruction bukanlah barang baru. Walkman yang lahir pada 1970-an, waktu itu adalah bagian dari creative destruction terhadap teknologi-teknologi yang ada sebelumnya. Namun, setelah iPod besutan Apple lahir, ia adalah creative destruction bagi bisnis walkman yang lebih dulu ada.

Inti dari lahirnya istilah tersebut berdasarkan pada kenyataannya bahwa inovasi, sukses menghancurkan produk yang ada sebelumnya. Istilah ini, berikut juga konsep sharing economy, berkembang pesat di akhir dekade 1990-an seiring dengan kian kuatnya keberadaan teknologi internet.

Istilah creative destruction, merujuk apa yang diungkap Schneider, dicetuskan oleh ekonom keturunan Austria-Amerika bernama Joseph Schumpeter dan ekonom Amerika bernama Clayton M. Christensen. Istilah ini sudah muncul di dekade 1940-an.

Creative destruction, menurut Schumpeter, tak serta merta merupakan persoalan sepele. Creative destruction, yang menyaru dalam berbagai bentuk aplikasi ponsel pintar hari ini, adalah bentuk nyata dari pasar bebas. Schneider, mengutip buku Schumpeter berjudul “In Capitalism, Socialism, and Democracy," mengungkapkan bahwa creative destruction, menurut pandangan Schumpeter, telah sukses “terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, terus-menerus menghancurkan yang lama, terus-menerus menciptakan yang baru. Proses creative destruction ini adalah fakta penting tentang kapitalisme."

Baca juga: Berapa Lama Startup Harus Membakar Uang?

Schumpeter mengatakan bahwa creative destruction memiliki inti di dalamnya bernama inovasi. Kekuatan untuk menciptakan barang baru dan pasar baru. Inovasi tak lahir dengan biaya minim. Fakta bahwa suatu penelitian dan pengembangan membutuhkan biaya yang tak murah adalah bukti bahwa inovasi bukanlah frasa sepele. Schumpeter mengatakan bahwa inovasi hanya mampu diciptakan oleh korporasi yang besar, atau entitas lain pemilik modal. Dalam konteks startup aplikasi, venture capital merupakan entitas pemilik modal itu.

Selanjutnya, Christensen, mengungkapkan bahwa creative desctruction memiliki dua implikasi. Low-end disruption dan new-market disruption. Low-end disruption terjadi kala inovasi menggerus kehidupan pemain atau entitas bisnis lama.

Sesungguhnya, salah satu masalah mendasar atas kelahiran creative destruction dalam bentuk aplikasi-aplikasi sharing economy ialah regulasi. Wulf A. Kall dalam jurnalnya bertajuk “How To Regulate Disruptive Innovation” mengungkapkan bahwa kelahiran aplikasi-aplikasi seperti Uber, Go-Jek, Airbnb memiliki potensi merusak yang tidak disangka. Menghancurkan tatanan yang telah kokoh. Tanpa regulasi, kerusakan yang ditimbulkan akan mengakibatkan kehancuran.

Selam ini, dalam mengatasi lahirnya aplikasi-aplikasi demikian, regulator menggunakan strategi trial-and-error. Regulator, dalam berhadapan dengan pesatnya kelahiran aplikasi-aplikasi canggih, menghadapi dilema. Jika terlalu cepat regulasi dibuat, ia akan menghancurkan inovasi. Namun bila terlalu lama ia akan membahayakan konsumen dan juga pasar.

Di Indonesia hal ini bisa dilihat perihal aturan ride-sharing. Respons yang lamban dan cenderung membiarkan status quo menyebabkan panasnya hubungan antara kalangan ride-sharing dengan transportasi konvensional yang telah mencengkeram sebelumnya. Creative destruction lahir dalam berbagai bentuk pada masing-masing zaman, dan siap melibas siapa saja yang tak mengikuti gerak arah inovasi.

Baca juga: Rama-Ramai Tanam Uang di Startup

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra