tirto.id - Petitih lama tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina barangkali masih relevan dengan fakta segala kemajuan Cina hingga kini. Namun, Cina tak hanya menarik sebagai tempat menimba ilmu, tapi juga pasar yang besar dan potensi menguntungkan untuk menjalani bisnis di sana.
Perusahaan-perusahaan rintisan alias startup yang kini sudah masuk hitungan Unicorn, mulai menyasar Cina sebagai pasar utama mereka, agar bisnis makin meluas. Paling anyar, rencana itu disampaikan Kepala Strategi Pemasaran Airbnb, sekaligus co-founder, Nathan Blecharczyk.
“Kami belakangan berinvestasi besar di Cina. Pelancong di Cina jalan-jalan ke seluruh dunia, mereka adalah segmen dengan pertumbuhan paling cepat, dan spenders nomor satu terbesar di dunia,” kata Blecharczyk pada Bloomberg, pertengahan Agustus lalu.
Ketertarikan itu tak main-main. Dalam 12 bulan terakhir, mereka telah membangun kantor di Beijing, satu-satunya selain kantor pusat di Amerika Serikat. Investasi di Negeri Panda itu juga digandakan dua kali lipat, termasuk merekrut pekerja lokal sampai tiga kali lipat. Mereka menambah teknisi sampai 100 orang dari sebelumnya hanya 25 orang. Cara lain agar lebih akrab dengan pasar: mereka juga mengganti nama jadi Aibiying di Cina, bahasa lokal yang berarti "saling menyambut dengan cinta".
Unicorn terbesar keempat 2017 ini, dengan valuasi $29,3 miliar, juga merekrut Hong Ge, orang asli Cina sebagai wakil presiden yang akan bertanggung jawab di sana. “Yang terpenting, kami punya tim teknisi di lapangan dan orang-orang lokal untuk menjalankan bisnis di Cina. Mereka yang paling mengerti negerinya. Meski kami adalah perusahaan teknologi berbasis global, mereka punya kemampuan teknis untuk berbuat dan mengubah sesuatu,” kata Blecharczyk.
Cina memang pasar besar. Ia adalah ekonomi terbesar kedua di dunia. Ia juga penyumbang turis terbesar ke seluruh dunia, tumbuh 142 persen pada 2016. Airbnb berharap, dengan menguasai pasar Cina, jalannya menembus daerah lain di Asia—benua terluas di planet ini—lebih mudah.
Namun, jalan itu tak mudah. Saingan Airbnb bukan lagi hotel saja. Banyak startup serupa yang mulai mengadopsi gaya berbisnis mereka. Misalnya Tujia, di Cina. Hanya dalam sebulan lepas debutnya di negeri sendiri, Zhuang Hai, Presiden Tujia, mengklaim sekurang-kurangnya valuasi mereka mencapai $300 juta. Ia kini memimpin bisnis perantara penyewaan properti di Cina dengan 400 ribu rumah yang mendaftar. Airbnb saja hanya punya 80 ribu klien di Cina per 2016.
Baca:Perang Airbnb Versus Hotel
Keduanya akan memperebutkan pasar rental rumah di Cina yang diproyeksikan bernilai sampai 17 miliar Yuan atau setara $25 miliar dalam setahun pada 2018, menurut IReasearch Consulting Group.
Pertarungannya nanti bukan cuma menarik perhatian para pelancong, tapi juga menarik minat para pemilik properti untuk bergabung dengan perusahaan mereka.
Upaya Airbnb menanam investasi besar-besaran di Cina adalah jawaban untuk tantangan Zhang Hai April lalu. Tujia percaya diri bahwa pasar lokal Cina masih dikuasai mereka. Menurut sang Presiden, Airbnb hanya dipakai pelancong luar Cina yang masuk ke sana. Sementara, pasar yang besar justru datang dari pelancong domestik Cina.
Namun Airbnb tak gentar. “Sebagian orang mungkin bilang kalau kami gerak lambat di Cina, tapi jika dilihat dari pertumbuhan kami, ada pertumbuhan transaksi organik yang menurutku adalah benefit kami untuk jangka panjang,” kata Blecharczyk.
Tantangan Airbnb untuk menjajal pasar Asia tak cuma ada di Cina. Layanan bisnis serupa juga sudah muncul dan meraup pasar lokalnya sendiri, seperti Space Market di Jepang, atau Travelmob di Singapura.
Menurut Laporan Nikkei Asian Review, Space Market—sebuah perusahaan layanan sewa tempat di Jepang—mulai mengadopsi bisnis berbagi rumah yang digeluti Airbnb. Sudah ada 20 ribu rumah yang mendaftar, sementara target mereka menembus angka 10 ribu dalam setahun ini. Upaya mengadopsi ini dilakukan perusahaan tersebut karena Jepang akhirnya mengeluarkan regulasi yang tak lagi melarang bisnis berbagi rumah.
Kabar itu juga sampai ke telinga Blecharczyk, dan segera memasukan Jepang ke daftar target berikutnya di Asia. Ia sadar kalau Jepang adalah destinasi favorit di Asia, dan peluang Airbnb besar di sana, selepas Jepang mengeluarkan regulasi berbagi rumah pada Juni lalu. Namun, Airbnb harus punya strategi khusus karena sebuah rumah hanya boleh disewakan selama 180 hari per tahun di Jepang. Blecharczyk mengklaim adanya regulasi di Jepang termasuk salah satu usaha Airbnb mencoba masuk ke pasar Jepang, dan bicara dengan pemerintah.
“Kami mencoba proaktif dan jadi kawan bagi pemerintah sebanyak mungkin,” kata Blecharczyk.
Namun, menanggapi perbedaan regulasi dan aturan tentang bisnis berbagi rumah di negara Asia lainnya, Blecharczyk punya alasan bagus. “Ini tentu bukan topik sederhana. Menemukan model tertentu dan implementasi yang tepat memang perlu waktu yang cukup panjang,” katanya pada Bloomberg.
Hal sama juga terjadi di Singapura. Pemerintah mengeluarkan regulasi baru yang melarang pemilik properti (apartemen dan rumah) untuk menyewakan milik mereka kurang dari 6 bulan. Apakah Airbnb gentar pada pasar Asia? Blecharczyk tetap yakin. Selain Cina dan Jepang, Asia Tenggara adalah target berikutnya.
“Angka-angkanya luar biasa,” katanya.
Indonesia, sebagai negara tempat perputaran ekonomi terbesar di Asia Tenggara juga jadi sasaran utama Airbnb. Sampai Juni 2017, sudah ada 38 ribu induk semang Indonesia yang mendaftar ke Airbnb. Pendapatan negara di Indonesia dari bisnis pariwisata yang mengalami kenaikan lebih dari 9,8 persen sejak 2010 sampai 2015, telah menarik perhatian mereka.
Di sisi lain, kebiasaan para milenial dan generasi muda untuk berjalan-jalan, bukan cuma di Asia tapi di seluruh dunia juga masih tinggi. Blecharczyk percaya diri kalau Airbnb akan terus memadai kebutuhan tersebut. Pasar Asia kini sedang mereka bidik melalui pintu utama dari Cina.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra