tirto.id - Era masyarakat tanpa kertas (paperless society) diyakini akan menggulung industri kertas dan bubur kertas (pulp). Namun, kenyataan berkata lain. Produksi kertas justru tumbuh di tengah digitalisasi dan ekonomi hijau (green economy).
Sebagaimana diketahui, digitalisasi memicu turunnya penggunaan kertas di aktivitas perkantoran (kontrak, faktur, dan nota). Aktivitas baca-tulis pun berjalan tanpa kertas menyusul maraknya aplikasi baca-tulis berbasis gawai. Tiras majalah cetak dan surat kabar juga terus menurun menyusul tren peralihan menuju media digital.
Dengan pergeseran kegiatan dan kebutuhan menuju lingkungan tanpa kertas, industri ini semestinya terkikis. Namun fakta justru berkata lain. Industri pulp dan kertas justru berkembang pesat dan dipercaya terus tumbuh tahun depan.
Lihat saja data statistik kita. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk domestik bruto (PDB) industri kertas dan barang dari kertas, percetakan, dan reproduksi media rekaman sebesar Rp20,55 triliun pada kuartal III/2022.
Turunkah? Tidak. Nilai tersebut justru meningkat 6,58% dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) sebesar Rp19,28 triliun.
Kinerja industri kertas nasional memang sempat terpuruk di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, tetapi mulai bangkit di akhir tahun 2021. Bahkan, capaiannya pun menyentuh level tertinggi pada kuartal III/2022, seperti yang direkam BPS.
Data tersebut dinilai sebagai peluang besar oleh Kementerian Perindustrian. Dalam siaran pers bulan lalu, mereka menilai industri pulp dan kertas memiliki potensi bisnis besar dan bakal berkontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.
“Saat ini, kapasitas terpasang industri pulp nasional sebesar 12,13 juta ton/tahun, menempatkan Indonesia di peringkat ke-8 dunia. Sedangkan, industri kertas dengan kapasitas terpasang sebesar 18,26 juta ton/tahun memposisikan Indonesia di peringkat ke-6 dunia,” ungkap Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika.
Kinerja ekspor industri juga menorehkan hasil meyakinkan dengan nilai US$7,5 miliar atau menyumbang 6,22% terhadap ekspor nonmigas. “Industri kertas merupakan sektor yang sangat potensial karena hampir semua jenis kertas sudah dapat diproduksi di dalam negeri, termasuk kertas uang dan kertas berharga,” papar Putu.
Potensi Pasar Masa Depan
Pertumbuhan industri kertas dan pulp Indonesia tak bisa dicapai tanpa inovasi mengikuti perubahan beberapa tahun ini. Pergeseran kebiasaan masyarakat ke era digitalisasi dan meningkatnya kesadaran lingkungan membuka peluang baru bagi pelaku industri kertas.
Lembaga penelitian Precedence, asal Kanada, menyebutkan bahwa pangsa pasar global untuk industri kertas dan pulp diprediksi menyentuh angka US$380,12 miliar di tahun 2030 atau setara dengan Rp.5.892 triliun (asumsi kurs Rp15.500/US$).
Penjelasan mereka cukup solid, yakni terkait dengan menguatnya tren belanja online. Situasi tersebut memicu kenaikan permintaan kertas di segmen pengemasan, seperti yang terlihat di tahun 2021 dengan kontribusi mencapai 52,4%.
Meningkatnya kepedulian lingkungan juga menjadi faktor tambahan, karena mendorong produsen dan pelanggan memilih kemasan ramah lingkungan yang terbuat dari kertas dan karton ketimbang plastik--yang kurang berkelanjutan dan sulit terurai secara alami.
Prediksi tersebut selaras dengan hasil studi yang dikembangkan oleh Smithers, perusahaan konsultan asal Ohio, Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan berjudul “The Future of E-commerce Packaging to 2027” Smithers menilai industri pulp dan kertas akan meraih imbas positif dari peningkatan aktivitas e-commerce selama pandemi yang memicu pertumbuhan besar dalam permintaan bahan kemasan.
Permintaan atas kotak, kertas dan plastik fleksibel, surat dan kemasan pelindung untuk pengiriman barang ke konsumen telah berkembang pesat 2 tahun terakhir. Pangsa pasar segmen ini tercatat US$34,7 miliar di 2019 dan diramal naik ke US$63,6 miliar di 2022.
Smithers bahkan optimistis pangsa pasar kertas kemasan akan menyentuh US$101,7 miliar atau setara Rp1.576 triliun pada 2027. Peningkatan tersebut sebagian besar dipicu kenaikan lonjakan pengiriman online akibat karantina selama pandemi Covid-19.
Meskipun aktivitas bisnis telah kembali ke ritel secara fisik, volume yang signifikan akan tetap memenuhi ruang virtual karena terbentuknya kenormalan baru (new normal) dalam transaksi ritel dan penggunaan kemasan ramah lingkungan.
Selain kertas kemasan, segmen kertas tisu juga menjadi katalis pertumbuhan industri kertas dan pulp. Pandemi mengajari masyarakat untuk semakin sadar akan pentingnya kebersihan dan sanitasi, yang akhirnya mendongkrak pembelian kertas tisu.
Pada 2021, pangsa pasar global untuk kertas tisu menyentuh US$76,52 miliar dan diprediksi naik menjadi US$80,99 miliar (setara Rp1.255 triliun) pada 2029, sebagaimana diulas Fortune Business Insights dalam laporan “Tissue Paper Market 2022-2029.”
Inovasi Produk Pulp dan Kertas
Dalam beberapa dekade ke depan, pengembangan produk kertas dan bubur kertas diprediksi berpusat ke arah produk alternatif berkelanjutan yang ramah lingkungan. Inovasi di Eropa bisa menjadi acuan pelaku industri lokal untuk meraup potensi yang ada.
Industri pulp dan kertas di Eropa bukanlah industri kecil. Berdasarkan pemantauan CEPI, industri ini menyumbang 23% pasokan pasar global, dengan porsi senilai €16 miliar per tahun atau setara Rp264 triliun bagi ekonomi Benua Biru (kurs Rp16.500/€).
Padahal, mereka tidak memiliki hutan tanaman industri (HTI) kertas. Lalu kenapa industri kertasnya tumbuh pesat? Jawabannya adalah inovasi.
Dalam studi berjudul “The Age of Fibre” CEPI merangkum inovasi yang dikembangkan pelaku industri pulp dan kertas di Eropa baik untuk kertas grafis, tisu, sanitasi, dan kemasan. Berikut adalah beberapa daftar inovasi yang berhasil dikembangkan:
- Kombinasi kertas dengan bahan unik: pengusaha dan peneliti di Eropa berhasil menggabungkan bahan dasar kertas dan bubur kertas dengan berbagai material unik seperti sampah susu, rumput, kulit hingga sisa batang tomat
- Inovasi kertas pengganti plastik: pelaku industri di Eropa juga berhasil menggantikan peran bahan baku plastik yang umum dipakai di produk sehari-hari seperti helm sepeda, alat makan, kantong belanja hingga komponen otomotif
- Inovasi kertas kemasan multifungsi: Eropa merupakan salah satu negara pionir yang meminimalkan penggunaan plastik kemasan dan mengenalkan kertas sebagai alternatif dengan berbagai inovasi yang memperkuat keunggulan kertas.
Di Indonesia, inisiatif untuk memproduksi kertas kemasan ramah lingkungan juga banyak diterapkan oleh pelaku industri. Salah satunya oleh Tetra Pak Indonesia yang menguasai pasar kertas kemasan khususnya untuk produk susu (dengan pangsa pasar 80%) dan santan (95%) di Tanah Air.
Sejak 2005, Tetra Pak membangun sistem pengumpulan kemasan Karton Bekas Minum (KBM) yang kini telah berkembang di enam lokasi Jawa dan Bali.
Perseroan telah mengumpulkan 15.000 ton sampah atau setara 1,8 juta kemasan untuk didaur ulang. Hal ini sejalan dengan moto mereka yakni “Protect What’s Good” untuk melindungi bumi dalam proses bisnisnya, selain melindungi konsumen dan kualitas produk.
“Kami telah mengumpulkan kemasan karton untuk daur ulang sebanyak kurang lebih 15 ribu ton, atau setara dengan 1,8 juta pieces kemasan,” ujar Sustainability Manager Tetra Pak Indonesia dan Malaysia Reza Andreanto dalam Media Gathering di Jakarta, pada Kamis (15/12/2022).
Inisiatif demikian tentu saja tidak muncul dari ruang hampa, melainkan berasal dari pertimbangan strategis bahwa milenial dan Gen-Z semakin peduli dengan tingkat keberlanjutan produk yang mereka konsumsi. Inisiatif demikian diharapkan menarik mereka untuk membeli produk berkemasan ramah lingkungan.
Melihat tren demikian, prediksi paperlesscommunity kemungkinan besar meleset, dan cuma berujung less-paper community. Penggunaan kertas untuk baca-tulis memang berkurang, tetapi ada kenaikan permintaan dari industri kemasan ramah lingkungan.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono