Menuju konten utama

Lapor LHKPN Saja Jarang, Kok Pati Polri Mau Jadi Pimpinan KPK?

ICW mengatakan pansel capim KPK harus memberi catatan khusus bila terdapat unsur pejabat publik yang mendaftar, tapi alpa dalam melaporkan LHKPN-nya secara rutin.

Lapor LHKPN Saja Jarang, Kok Pati Polri Mau Jadi Pimpinan KPK?
mabes polri.foto/umm.ac.id

tirto.id - Sembilan perwira tinggi (Pati) Polri dinyatakan lolos seleksi internal di Korps Bhayangkara dan mendapat rekomendasi untuk mendaftar sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid V.

Namun, tak butuh waktu lama kesembilan nama itu langsung menuai sorotan. Sebab, mereka diduga alpa dalam menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) secara periodik ke komisi antirasuah.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Febri Diansyah pun langsung mengklarifikasi hal ini. Ia mengatakan, seluruh perwira itu pada dasarnya pernah melaporkan harta kekayaannya. Namun, untuk pelaporan LHKPN periodik tahunan, masih ada sejumlah kandidat yang belum lapor.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, penyelenggara negara diwajibkan melaporkan LHKPN setiap satu tahun sekali. Pelaporan dilakukan atas harta yang diperoleh sepanjang tahun, dan paling lambat dilaporkan pada 31 Maret tahun berikutnya.

"Terdapat beberapa nama yang belum atau sudah melaporkan namun terlambat melaporkan LHKPN secara periodik untuk tahun 2018 lalu," kata Febri dalam keterangan tertulis, Selasa (2/7/2019).

Dalam laporan yang dirilis KPK, baru dua orang melaporkan harta kekayaan secara periodik tahun 2018. Mereka antara lain, Wabareskrim Polri Irjen Antam Novambar dan Pati Polri penugasan di BSSN Irjen Dharma Pongrekum.

Namun, keduanya baru melapor setelah batas pelaporan pada 31 Maret 2019. Antam melapor pada Juli 2019, sedangkan Dharma pada Mei 2019.

Berikut jumlah harta dan kekayaan sembilan calon pimpinan KPK dari Polri berdasar LHKPN terakhir:

1. Dharma Pongrekum Rp 9,7 M (Mei 2019)

2. Antam Novambar Rp 6,6 M (Juli 2019)

3. Coki Manurung Rp 4,8 M (April 2018)

4. Muhammad Iswandi Hari Rp 1,27 M (Agustus 2015)

5. Agung Makbul Rp 993 juta (Juni 2014)

6. Juansih Rp 1 M (November 2007)

7. Abdul Gofur Rp 1,13 M (Mei 2017)

8. Bambang Sri Herwanto Rp 3,2 M (April 2015)

9. Sri Handayani Rp 1,4 M (November 2007)

Integritas Dipertanyakan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, LHKPN adalah salah satu instrumen pencegahan korupsi. Dengan demikian, tidak disiplinnya sembilan calon pimpinan KPK dari unsur Polri itu dalam urusan lapor LHKPN membuat komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi dipertanyakan.

Terlebih, kata Wana, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sudah mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2017 yang intinya menegaskan kewajiban petinggi Korps Bhayangkara melaporkan kekayaan guna mencegah korupsi.

“Jika mereka saja tidak patuh terhadap regulasi, artinya perspektif pencegahan korupsinya patut dipertanyakan," ujar Wana saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (3/7/2019).

Karena itu, menurut Wana, hal ini harus jadi catatan serius bagi panitia seleksi calon pimpinan KPK jika ada calon dari unsur pejabat publik yang alpa dalam melaporkan harta kekayaan.

Selain itu, kata Wana, hal ini juga harus jadi evaluasi bagi Kapolri Tito, sebab artinya mekanisme pencegahan korupsi di internal kepolisian belum berjalan dengan baik.

Respons Polri

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengklaim unsur integritas menjadi bagian yang turut diuji untuk mendapat rekomendasi dari Polri untuk melenggang jadi capim KPK.

Proses seleksi internal Polri ini, kata Dedi, dilakukan oleh Biro Pembinaan Karier (Binkar) SDM Mabes Polri.

Dedi menjelaskan, para perwira yang ikut seleksi diharuskan mengikuti computer based test yang terdiri dari unsur tes potensi akademik, psikologi, dan sikap kerja. Selanjutnya, peserta kemudian diwajibkan membuat esai tentang pemberantasan korupsi.

“Esai konsep misalnya jika terpilih sebagai pimpinan KPK, apa yang akan dia kerjakan, visi misi dan punya rencana aksi [pemberantasan korupsi],” kata Dedi.

Esai rampung, kata Dedi, maka peserta harus ikut tes diskusi perihal esai tersebut. Gagasan yang dilontarkan kandidat akan dinilai oleh tim penilai atau tim asesor. Dedi menyebut, proses wawancara memiliki nilai paling tinggi.

Dalam proses ini, kata Dedi, asesor akan menggali rekam jejak peserta, termasuk prestasi dan pelanggaran. Asesor juga akan menggali integritas peserta ketika bertugas.

Hasil tes-tes tersebut akan digabungkan untuk mencari skor final. Ada beberapa aspek, ujar Dedi, yang tiap aspek memiliki penilaian. Seperti aspek integritas, komunikasi, pengambilan keputusan, strategi, manajerial dan membangun jaringan.

“Kemudian asesor membuat suatu kesimpulan di setiap aspek itu. Semua itu memiliki nilai standar, kalau ‘integritas’ misalnya nilai tertinggi 4, ‘komunikasi’ cukup 3 dan lainnya. Aspek tertentu harus bernilai tinggi,” tutur mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu.

Dedi menambahkan, jika ada kekurangan penilaian namun peserta diluluskan, maka ketika ia lolos menjadi pimpinan lembaga antirasuah itu, maka orang itu akan mendapat rekomendasi untuk mengikuti pelatihan guna menambal kekurangannya tersebut.

Baca juga artikel terkait SELEKSI CAPIM KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie & Adi Briantika
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz