Menuju konten utama

Lapangan Tembak Senayan: dari Butiran Peluru Hingga Bakso

Lapangan Tembak Senayan di Jakarta Pusat tak hanya jadi tempat latihan dan lomba menembak juga tempat lahir bakso legendaris.

Lapangan Tembak Senayan: dari Butiran Peluru Hingga Bakso
Area latihan menembak di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Rabu (17/10/18). Polisi telah menetapkan dua orang berinisial IAW dan RMY yang merupakan PNS sebagai tersangka kasus peluru nyasar ke Gedung DPR. Keduanya, menurut polisi, bukan merupakan anggota Perbakin. Penembakan peluru nyasar terjadi, Senin (15/10) pukul 14.30 WIB. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sebelum kawasan Senayan tersohor sebagai lokasi lapangan tembak, lokasi latihan menembak di zaman Hindia Belanda adalah di Sunter, Jakarta Utara. Kawasan itu pada era kolonial tentu belum seramai sekarang. Tentara kolonial milik Kerajaan, KNIL, biasa berlatih di sana. Jenderal Abdul Haris Nasution, dalam Memenuhi panggilan tugas: Kenangan masa muda (1990:78), mengaku pernah ikut latihan di sana ketika masih jadi taruna calon Letnan KNIL.

Selain Nasution, Letnan Oerip Soemohardjo, saat masih menjadi Kepala Staf pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga pernah latihan di Sunter. Rochma Soemohardjo, dalam Oerip Soemohardjo: letnan jenderal TNI (22 Pebruari 1893-17 November 1948) (1972:41) menurut Rochma yang juga istri Oerip, suaminya pernah memimpin pleton dan berlatih menembak di Sunter.

Setelah Tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, arena latihan menembak sempat dipindah di Cibubur. Seingat Sudharmono, sebelum tahun 1965, setiap kali latihan menembak dia harus ke Cibubur.

Pada suatu Sabtu, waktu latihan menembak di Cibubur itu, seingat mantan Wakil Presiden Sudharmono dalam Diantara para sahabat Pak Harto 70 tahun(1991:2), “Pak Harto yang ketika itu adalah Deputi KSAD datang menginspeksi kami yang sedang latihan menembak dengan pistol dalam jarak dua puluh meter dengan sepuluh peluru. Beliau memeriksa hasil tembakan kami satu per satu. Kebetulan hasil tembakan saya hanya enam peluru yang mengenai sasaran.”

"Ini perlu latihan lebih banyak; agar hasilnya lebih baik," komentar Mayor Jenderal Soeharto. Sudharmono beruntung, ia tidak dimarahi di Lapangan Tembak Cibubur itu. Kemampuan Sudharmono yang tak mumpuni untuk urusan menembak bisa dimaklumi karena ia adalah perwira kehakiman, tentunya tak sehebat mantan panglima dan menhan Benny Moerdani yang berasal dari pasukan khusus.

Menurut Legenda Penembak Indonesia, Lely Sampoerno, Lapangan Tembak di Cibubur itu, dibangun untuk Asian Games 1962. Kala itu belum di Senayan. Barulah di zaman Ali Sadikin jadi Gubernur DKI Jakarta, pada 1970, dibangun Lapangan Tembak di kompleks Gelora Bung Karno (GBK) Senayan. Tidak jauh dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

“Kawasan Gelora Bung Karno banyak yang saya perbaiki. Pada saat itu saya juga membangun Medical Sport Center dan fasilitas-fasilitas lain seperti lapangan tembak dan lapangan golf," ujar Ali Sadikin dalam buku Ali Sadikin, visi dan Perjuangan sebagai guru bangsa (2004:152). Di tempat itu diadakan Pekan Olahraga Nasional (PON) VIII pada tahun 1973 di Jakarta. Selain itu, pada 1972, Indonesia menjadi tuan rumah SEASA (South East Asia Shooting).

Setelah ada Lapangan Tembak di Senayan, Lapangan Tembak di Cibubur masih di kenang dengan adanya: Jalan Lapangan Tembak di Cibubur. Sementara itu kawasan di sekitar Lapangan Tembak dan Gedung DPR Senayan makin sohor dan menjadi daerah yang tergolong ramai nan elite.

Sudah pasti kompleks olahraga yang dibangun di zaman Presiden Sukarno itu jadi tempat yang strategis untuk mengais banyak duit. Hingga tak semua lahan hanya digunakan untuk olahraga saja.

Infografik Lapangan Tembak

Menurut George Adi Tjondro dalam Dari Soeharto ke Habibie (1998: 21), ada lahan bekas areal Lapangan Tembak bahkan pernah dijadikan mal dan apartemen oleh satu konsorsium usaha yang dipimpin Bambang Trihatmodjo bersama Kelompok Mulia dan Titiek Soeharto, “guna dimanfaatkan dalam pesta olahraga SEA Games ke-19 di Jakarta, 11-19 Oktober 1997.”

Selain atlet menembak macam Lely Sampoerno saja yang namanya besar karena sering berlatih di Lapangan Tembak Senayan, ada juga sosok laki-laki kelahiran Wonogiri, namanya Widyanto yang dapat berkah kawasan ini. Widyanto datang ke Jakarta sekitar pada 1972, tak lama setelah Lapangan Tembak dibangun. Ia datang bukan sebagai atlet menembak seperti Lely Sampoerno.

Widyanto tidak datang dengan modal dengkul. Ia tahu “tak ada yang gratis” di Jakarta. Ia hanya membawa modal Rp 1.200 dan kemampuan kesohor orang Wonogiri, yakni membikin bakso. “Setiap hari Widyanto berkeliling menjajakan dagangannya […]Pukul 19.00 dia berangkat lagi berkeliling menuju Pejompongan, Senayan, Kemandoran, hingga Kebon jeruk,” seperti tercatat dalam buku Dari Pikulan ke Restoran (2001:5).

Di pintu gerbang Lapangan Tembak Senayan, Widyanto, sering mangkal. Belakangan, banyak olahragawan menikmati bakso Widyanto.

Pelanggan Widyanto makin banyak dan bakso buatannya makin terkenal di kawasan itu. Sejak 1982, ia diizinkan berjualan di depan Lapangan Tembak Senayan, yang saat ini adalah lokasi Hotel Mulia Jakarta. Orang-orang pun segera menyebutnya Bakso Lapangan Tembak Senayan. Di sinilah sejarah restoran Bakso Lapangan Tembak bermula dan membesar dengan banyak cabang.

Beberapa hari belakangan Lapangan Tembak Senayan jadi ramai lagi berkat peluru yang nyasar ke Gedung DPR. Mulai muncul jeritan hati anggota dewan yang ingin agar Lapangan Tembak yang dibangun Gubernur Ali Sadikin ini dipindahkan ke lokasi lain.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra