tirto.id - Perjalanan Rio Haryanto di balapan Formula 1 berakhir. Manor mengakhiri kontrak dengan Rio Haryanto yang masih tersisa setengah musim untuk musim balap 2016 ini. Posisi Rio digantikan oleh Esteban Ocon.
“Rio tidak dapat memenuhi kewajiban sesuai kontrak,” jelas Manor, dalam pernyataannya seperti dikutip dari ESPN.
Untuk selanjutnya, pebalap junior tim Mercedes, Ocon, akan membuat debut grand prix-nya bersama Manor di Belgia pada akhir bulan ini. Sebelumnya dilaporkan bahwa nama-nama seperti Stoffel Vandoorne, Alexander Rossi dan Jordan King dikait-kaitkan sebagai figur yang akan menduduki kursi balap tersebut
Rio telah mengambil bagian dalam 12 grand prix pertama musim ini bersama Wehrlein. Namun, Rio masih membutuhkan dana 7 juta euro agar bisa tetap mengikuti sisa musim balapan. Manor sebelumnya meminta mahar 15 juta euro. Dari permintaan itu, Rio baru bisa mendapatkan pendanaan 8 juta euro. Sampai tenggat waktu, Rio ternyata tidak berhasil mendapatkan sokongan dana.
Manor telah menawarkan Rio peran sebagai pembalap cadangan untuk sembilan balapan tersisa pada musim 2016.
"Kami sangat senang untuk melanjutkan dukungan kami untuk ambisi Rio di F1, dengan menawarkan dia peran pembalap cadangan untuk sisa musim ini. Kami sangat berharap bahwa ia akan menerima tawaran itu,” ujar Direktur Racing Dave Ryan.
Awal yang Berat
Pada Februari 2016, Rio mencatat sejarah dengan menjadi orang Indonesia pertama yang bisa berlaga di Formula 1. Penampilan perdananya cukup sulit. Pada sesi latihan di Sirkuit Catalunya, Barcelona 25 Februari 2016, Rio terlihat gugup. Pada lap ke-25, bendera merah sempat berkibar pertanda ada kecelakaan dan harus hati-hati.
Mobilnya terdampar ke gravel atau kerikil dan melintir ke luar jalur di tikungan. Rio memang kembali melaju. Dari 78 lap yang dijalaninya, Rio menorehkan catatan waktu 1 menit 28,249 detik. Rio berada di peringkat terakhir setelah menempuh 78 lap.
Hasil maksimal memang belum dicapai. Namun, balapan ini ini sangat spesial bagi Rio. Dalam ajang test pramusim, Rio menorehkan sejarah sebagai pebalap Indonesia pertama yang tampil di ajang Formula 1. Dia bergabung bersama dengan tim Manor Racing dan menunggangi mobil Mercedez MRT05.
Bersama dengan Manor, Rio rencananya akan turun pada 21 seri F1 tahun ini. Seri pertamanya di GP Australia dilaksanakan pada 20 Maret. Rio akan jadi pebalap Asia Tenggara ketiga yang tampil di F1 setelah pebalap asal Thailand, Prince Bira (1950-54) dan pebalap Malaysia, Alex Yoong (2001).
Untuk turun di F1, perjuangan Rio sangat rumit, alot dan penuh perdebatan karena statusnya sebagai pay driver. Satu kursi di Manor mesti dia tebus dengan mahar 15 juta euro atau sekitar Rp225 miliar. Meski ayahnya pengusaha kaya dari Solo, Sinyo Haryanto –pemilik pabrik buku tulis terbesar di Indonesia, Kiky – uang sebesar itu tetap terasa sangat besar.
Orang tua Rio sudah mengeluarkan dana cukup besar untuk memuluskan perjalanan Rio. Uang mereka sudah tersedot habis untuk memuluskan karir Rio di ajang balap mulai dari kompetisi Formula Asia, Formula Three dan kejuraan Grand Prix sekelas Auto GP, GP3 dan GP2 yang merupakan feeder dari F1. “Selama ini jumlah yang dikeluarkan kebanyakan memang dari kocek pribadi. Bisa capai puluhan miliar,” keluh Indah Pennywati, Ibunda Rio kepada Tirto.ID
Ketika masuk F1, orang tua Rio merasa tak sanggup lagi membiayai karena biayanya sangat besar. Mereka pun meminta dukungan pemerintah. Pertamina yang sudah mensponsori Rio sejak ajang GP2 sudah berkomitmen memberi bantuan sebesar 5 juta euro atau Rp75 miliar rupiah. Sisanya diharapkan datang dari bantuan pemerintah.
Nasionalisme yang Menguntungkan Bagi Manor
F1 adalah olahraga mahal. Kemampuan balap saja tak cukup untuk bisa turun di sana. F1 juga butuh dukungan kemampuan mesin. Semakin mumpuni mesin mobil, makin mudah prestasi dicapai. Untuk mendapatkan mobil dengan penampilan prima, dibutuhkan biaya riset dan operasional yang bernilai jutaan dolar.
Bagi tim-tim besar yang disponsori produsen otomotif dan brand ternama seperti Ferrari, Mercedes, Mclaren-Honda, Renault dan Red Bull, biaya besar tentu bukan masalah. F1 akan jadi beban bagi tim-tim kecil yang dalam setiap balapan selalu ada di posisi buncit. Manor adalah contoh kecilnya.
Selama mengikuti ajang balapan jet darat itu sejak 2010, Manor selalu ada di papan bawah. Lebih tragis lagi, dari enam tahun keikutsertaan itu Manor hanya bisa meneguk dua poin. Prestasi terbaik mereka hanya sekali terjadi di Grand Prix Monaco, 2014 silam. Kala itu, pebalap Manor, Julies Bianchi berhasil duduk di peringkat sembilan.
Prestasi dan manajemen keuangan yang buruk membuat Manor berganti-ganti kepemilikan dalam kurun waktu singkat. Manor semula dimiliki oleh Virgin Racing –pemilik maskapai Virgin Air-, lalu dijual ke Lloyds Development Corporation dan diambil alih mobil asal Rusia, Marrusia.
Pada 2014, Manor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga Inggris. Beruntung pengusaha asal Irlandia, Stephen Fitzpatrick menebusnya dengan harga 635 ribu euro. Fitzpatrick adalah pengusaha energi ternama di Inggris. Bersama dengan pengusaha properti Justin King, dia membangun Manor dari nol. Selama ini, Fitzpatrick menalangi 40 persen anggaran kebutuhan Manor tiap tahunnya.
Anggaran tahunan untuk tim sekelas Manor kurang lebih mencapai 80 juta euro. Nilai itu dengan estimasi biaya pengembangan riset, mesin dan mobil mencapai 40 juta euro. Sisanya untuk biaya akomodasi dan kebutuhan saat berlomba berkeliling 20 negara. Persentase gaji untuk pebalap tergolong kecil hanya 0,2 persen.
Sebagai peserta F1, Manor berhak mendapatkan bantuan 50 juta euro. Uang itu didapat dari pembagian hak siar televisi. Jika ditotal dengan uang 15 juta euro yang dibayarkan Rio dan Pascal Wehrlein senilai lima juta euro, maka 90 persen kebutuhan tim Manor bisa terpenuhi tahun ini.
Bagi Manor, kehadiran Rio adalah berkah. Nasionalisme orang Indonesia yang menggebu-gebu ingin melihat pebalapnya tampil di F1 dimanfaatkan dengan baik oleh Manor dengan menggaet Rio sebagai pay driver. Pay driver memang hal yang wajar di F1. Pebalap hebat seperti Michael Schumacher dan Niki Lauda mengawalinya sebagai pay driver di tim kecil.
Tim-tim di papan tengah seperti Force India, Sauber, Renault dan Williams pun pernah melakukannya. Namun, sebagai tim buncit yang kurang berprestasi, Manor dianggap terlalu mahal mematok harga satu kursi pay driver. Bos Mercedes, Toto Wolf pun angkat bicara. “Dengan angka yang disebutkan di media untuk membeli satu kursi, rasanya itu seperti hendak menghancurkan F1," ungkap Toto dikutip Autosport.
Manor berkilah harga itu cukup pantas mengingat musim ini mereka akan mengganti mesin dari Ferrari ke Mercedes, mesin yang membuat Luis Hamilton juara dunia. Manor juga merekrut nama-nama besar seperti dua eks teknisi Ferrari, konsultan teknik sasis, Pat Fry dan kepala aerodinamis Nikolas Tombazis serta mantan Direktur Balapan McLaren, Dave Ryan.
Hal yang mesti diingat adalah Pat Fry dan Tombazis pergi dari Ferarri dengan status dipecat. Sedangkan Dave Ryan sudah enam tahun terakhir dia tak berkecimpungan dalam dunia F1. Kehadiran Fry, Tombazis dan Ryan bukan jaminan Manor akan mudah melenggang jadi tim papan tengah pada ajang F1 musim ini.
Polemik Pay Driver dan Dukungan Negara
Pay driver memang lazim di ajang balapan F1. Sokongan negara pada pay driver juga sudah jadi hal lumrah. Namun, mendukung pay driver dengan mengeposkan uang dari anggaran belanja negara merupakan hal yang langka.
Negara umumnya mendukung si pebalap lewat tangan kedua yakni BUMN. Misalnya pebalap Venezuela, Pastor Maldonado yang didukung perusahaan minyak milik negara Petrleos de Venezuela SA (PDVSA). Sementara pebalap Meksiko, Sergio Perez mendapat dukungan dari perusaahan telekomunikasi milik negara, Telmex.
Juan Peron –diktator Argentina era 1950-an disebut-sebut memberikan dukungan penuh pada juara dunia F1 lima kali, Juan Manuel Fangio pada periode 1950-1958. Yang sering dilupakan orang adalah Peron tak membantu Fangio dengan uang negara. Dia tidak mengeposkan bantuan itu dari APBN. Yang dia lakukan hanya menyumbang dengan uang pribadi serta memaksa orang-orang kaya di Argentina patungan mengumpulkan dana. Sebagai seorang diktator, Peron dengan mudah melakukan hal itu.
Jika Pemerintah Indonesia setuju mengucurkan Rp100 Miliar dalam APBN-Perubahan 2016 untuk mendanai Rio, maka hal itu akan menjadi sejarah kedua di ajang F1. Malaysia menjadi negara pelopor yang memakai uang rakyat untuk mensubsidi pembalap.
Pada 2002, Alex Yoong bergabung dengan tim Minardi dengan biaya 11 juta dolar AS. Uang ini didapat patungan dari Magnum Coorporation, sebuah perusahaan judi dan Pemerintah Malaysia. Awalnya Menteri Olahraga Malaysia, Datuk Hishammuddin Hussein hendak turut membantu, tetapi ditentang oleh publik. Alhasil, bantuan itu mengambil anggaran pariwisata pemerintah kota Kuala Lumpur.
Dengan dukungan penuh dari Malaysia, nama tim pun berubah dari European Minardi menjadi Go KL Minardi Asiatech. Huruf KL di awal nama tim merujuk pada ibukota Malaysia, Kuala Lumpur. Kerja sama ini nyatanya hanya berlangsung satu tahun.
Persoalan pelik ini dipaparkan Simon Vigar dalam buku Forza Minardi!: The Inside Story of the Little Team Which Took on the Giants. Prestasi Minardi yang ada di papan bawah jadi sebabnya. Masalah muncul saat uang yang dijanjikan oleh Pemerintah Malaysia tak mengalir sepenuhnya. Investasi di Minardi dinilai tak efektif. Konflik semakin memanas saat hak gaji yang mestinya didapat Yoong senilai 200 ribu dolar AS tak kunjung dibayarkan.
Ganjalan Dana
Kemenpora memang sudah berkomitmen akan menyokong Rio lewat nota kesepahaman dengan KONI Pusat. Uang Rp100 miliar yang dibutuhkan akan diambil dari pos anggaran prestasi KONI pada RAPBN-Perubahan 2016.
Pada APBN 2016, alokasi untuk peningkatan prestasi mencapai Rp 600 miliar. Angka ini kebanyakan untuk persiapan dan mengirim kontingen ke Olimpiade Rio De Janeiro. Tidak ada pos untuk membantu Rio dalam APBN 2016. Rencananya, Kemenpora akan memasukkan dana untuk Rio pada pos peningkatan prestasi dalam proses perubahan APBN 2016. Namun, perubahan APBN ini harus mendapatkan persetujuan DPR.
Adanya pro-kontra yang menyeruak membuat kans pencairan dana kian sulit. DPR kemungkinan besar tidak akan menyetujui dana untuk Rio. Pemerintah sudah mengantisipasinya. “Jumlah bantuannya bisa berkurang sampai 50 persen,” ucap Gatot S. Dewa Broto, Deputi V bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora saat ditemui di kantornya.
Bagi Kemenpora, menyukseskan Rio ke F1 berimbas pada meningkatnya citra. Selama menjadi menteri, kebijakan Imam Nahrawi yang bisa diapresiasi hanyalah keberanian membekukan PSSI.
Kemenpora sejatinya tak berniat mendukung Rio dengan dana APBN. Tugas Kemenpora hanya mengkoordinir pihak-pihak swasta termasuk BUMN guna membantu Rio. Sayangnya. upaya itu tidak membuahkan hasil maksimal. Pamor F1 yang semakin turun ditambah belum pastinya Rio bergabung dengan Manor membuat pihak swasta masih ciut.
Dikejar tenggat yang mepet, Menpora Imam Nahrawi akhirnya nekat membuat surat garansi kepada Manor. Isu surat menyatakan negara siap mendukung penuh Rio. Manor pun melunak. Rio masuk dalam tim pebalap Manor untuk musim balapan 2016.
Berhasilnya Rio menjadi pebalap F1 masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Bagaimana jika DPR tidak menyetujui dana dukungan untuk Rio sebesar Rp100 miliar? Apakah Rio batal membalap di tengah jalan?
Staf khusus Menpora bidang olahraga, M Khussen Yusuf kepada tirto.id menyatakan, Kemenpora tak akan lepaskan tanggung jawab begitu saja. Upaya menggarap bantuan swasta tetap dilakukan. Hanya saja, jika anggaran dari negara tak cair maka satu-satunya jalan adalah dengan merevisi APBN 2016.
“Akan ada revisi lagi. Beberapa pos anggaran akan dikurangi. Hal ini tentunya akan membuat birokrasi di Kemenpora berteriak. Tapi ya mau gimana lagi. Usaha terakhir yang bisa kami lakukan ya itu,” kata dia.
Hanya saja, pos anggaran yang bisa diberikan dari revisi itu tak lebih dari Rp50 miliar saja. Untuk sisanya, pemerintah berharap ada pengusaha swasta yang mau mendukung. Rio memang cukup beruntung, soal uang ini dia diberi batas toleransi hingga pertengahan musim. Ternyata, hingga akhir musim, Rio tak berhasil mendapatkan pendanaan. Rio pun gagal menuntaskan balapannya.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti