tirto.id - Kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tahun 2019 semakin menipis dan akan habis dalam waktu dekat. Sejumlah pembangunan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) pun berhenti dan terancam gagal akad atau serah-terima.
Ketua Umum DPP REI Indonesia Soelaeman Soemwinata menyampaikan, sejumlah pengembang perumahan bersubsidi telah meminta penambahan kuota kepada pemerintah. Namun, belum ada kejelasan baik dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) maupun Kementerian Keuangan.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengaku telah bersurat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait permintaan tersebut. Tapi, kata dia, penambahan kuota baru mungkin baru terjadi pada 2020.
Alasannya, pemerintah tetap harus mengikuti prosedur penganggaran yang berlaku, meski kebutuhan tambahan kuota itu sangat mendesak. Namun, jika harus dianggarkan tahun ini, pemerintah akan mengusulkan penambahan kuota dalam APBN-Perubahan.
“Saya sudah minta ke Bu Menkeu, tapi kalau ada penambahan tahun ini harus ada dasar hukumnya. Itu dengan APBN-P. Beliau [Sri Mulyani] sedang pikirkan adanya APBN-P,” ucap Basuki pekan lalu.
Namun ketika dikonfirmasi kepada Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti, ia memilih tidak berkomentar soal penambahan kuota yang diajukan oleh PUPR. Menurutnya, Kemenkeu sudah membalas surat yang dikirimkan oleh Kementerian PUPR.
“Kami sudah jawab ke Kementerian PUPR. Bisa ditanyakan ke Ditjen Pembiayaan Perumahan PUPR,” kata Nufransa melalui pesan singkat kepada reporter Tirto, Selasa (3/9/2019).
Dikonfirmasi kembali ke Kementerian PUPR, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Eko D. Heripoerwanto mengaku belum memperoleh jawaban apa pun dari Kemenkeu.
“Saya belum terima atau baca surat dimaksud,” tutur Eko.
Pemerintah Dituntut Beri Kepastian
Sejauh ini, langkah yang bisa diambil pemerintah baru sebatas realokasi kuota dari bank-bank pelaksana yang penyalurannya minim. Sebagian kuota akan dipindahkan ke bank BTN atau bank pelaksana lain yang kinerjanya cukup baik.
Berdasarkan data Pusat Pengelolaan dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), baru 18 dari 39 bank pelaksana yang realisasi penyalurannya di atas 50 persen per akhir Juli 2019. Lima di antaranya adalah Bank BUMN, sementara 13 lainnya adalah Bank Pembangunan Daerah.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI) misalnya, telah menyalurkan kredit FLPP untuk 3.000 unit rumah. Karena itu, kata Sekretaris Perusahaan Bank BRI Hary Purnomo, pihaknya menyambut baik langkah pemerintah untuk melakukan realokasi kuota. Sebab BRI telah mengajukan penambahan kuota sebanyak 394 unit lagi.
“Memang animo masyarakat luar biasa. Kita berharap kuota memang bisa ditambah,” ucap Hary saat dihubungi reporter Tirto.
Di lain pihak, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menilai sisa kuota FLPP yang tersedia saat ini masih belum mencukupi kebutuhan.
Sampai akhir 2019, kebutuhan rumah diperkirakan mencapai 100.000 unit rumah. Sementara bila FLPP direalokasikan ke bank berperforma tinggi, menurut Junaidi, realisasi rumah yang dapat dibangun cuma bertambah 15.000 unit.
Selain FLPP, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai alternatif. Namun, fasilitas tersebut minim peminat karena sulitnya persyaratan seperti wajib memiliki tabungan selama 6 bulan dan keharusan memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
“Kalau melihat BP2BT dan sisa FLPP yang ada ya itu 29.000 total ya. Nah, saya pikir sangat jauh dari harapan,” ucap Junaidi saat dihubungi reporter Tirto.
Menurut Junaidi, permintaan rumah bersubsidi rata-rata tumbuh 15-20 persen setiap tahun. Meski begitu, pemerintah tampaknya kurang menyadari tren permintaan itu, sehingga alokasi anggaran FLPP masih jauh dari dengan kebutuhan.
“Masyarakat enggak tau subsidi dari mana, yang penting masyarakat bisa menikmati itu. PUPR dan Kemenkeu perlu kerja keras menambah anggaran agar realisasi yang ditunggu-tunggu bisa tercapai,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pengembang Indonesia (PI) Barkah Hidayat mengatakan kekurangan insentif dari FLPP bisa membebani membiayai konstruksi dan beban bunga pembiayaan yang ditanggung pengembang.
Menurutnya, Kemenkeu perlu segera mengambil keputusan untuk mengeluarkan tambahan kuota FLPP. Tanpa bantuan FLPP ini, kata Barkah, dampaknya akan terasa dan bisa merembet ke berbagai pemangku kepentingan.
“Sekitar 85 persen anggota PI adalah pengembang perumahan FLPP yang sangat rentan terhadap pergerakan pembiayaan konsumen. Jika pembiayaan terhambat maka akan ada efek lain ke stakeholder lain yaitu perbankan, kontraktor, vendor, dan akhirnya ke konsumen,” ucap Barkah dikutip dari Antara.
Pendapat yang sama juga diutarakan Ketua Komite Tetap Kadin Properti Setyo Maharso. Menurutnya, ketidakjelasan tambahan kuota FLPP membuat proyek sejumlah pengembang perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terganggu.
Bahkan, kondisi itu berpotensi berdampak sistemik terhadap industri properti yang digeluti 174 perusahaan. Padahal, sektor properti selama ini ikut mendorong perputaran roda perekonomian, mulai dari industri perumahan hingga industri berat.
“Jadi, ya jangan dibiarkan tanpa ada solusi apa-apa,” katanya saat dihubungi Tirto.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana