Menuju konten utama

Kubu Prabowo dan Jokowi Sama-Sama Keliru Soal Penanganan Bencana

Perkara penanganan bencana bukan sesederhana bikin institusi baru seperti yang dikatakan kubu Prabowo. Bukan pula apa yang dilakukan setelah bencana terjadi seperti yang diungkapkan kubu Jokowi.

Kubu Prabowo dan Jokowi Sama-Sama Keliru Soal Penanganan Bencana
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut). ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/pras.

tirto.id - Bencana alam yang terus-menerus terjadi di Indonesia jadi bahan kampanye tim sukses pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka mewacanakan pembentukan kementerian khusus untuk bencana.

“Lebih teknis pak Prabowo ingin mendorong kementerian khusus terkait kebencanaan. Ini ada contohnya di beberapa negara seperti Rusia,” kata Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, dalam acara refleksi akhir tahun di Jakarta, Senin (31/12/2018) kemarin.

Rencana ini, kata Dahnil, tak terlepas dari ketidakbecusan pemerintahan Jokowi menangani bencana.

Dahnil mengatakan, pemerintah saat ini melakukan kesalahan berulang ketika berhadapan dengan bencana. Misalnya tak juga menyediakan alat deteksi yang memadai.

Early warning system tsunami saja bisa rusak atau hilang dicuri. Artinya memang sejak awal kita tidak peduli dengan ancaman bencana ini,” imbuh Dahnil.

Rencana itu direspons kubu petahana. Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ace Hasan Shadzily, menyerang balik dengan mengatakan kubu Prabowo tidak paham aturan yang ada. Ace mengatakan, kementerian yang diusulkan tak perlu ada karena sudah ada badan khusus.

“Pak Dahnil dan tim Prabowo-Sandi tidak membaca UU ya! Kita sudah punya UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di sana disebutkan ada satu badan khusus yang menangani bencana, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang langsung di bawah Presiden,” kata Ace dalam keterangan tertulis, Selasa (1/1/2019).

Politikus Golkar ini menyebut, BNPB jadi semacam simpul. Ia mengkoordinir penanganan bencana dengan Basarnas, Kementerian Sosial, TNI, POLRI, BMKG, Pemerintah Daerah dalam hal ini BPBD, dan para relawan kebencanaan.

Ace menilai sejauh ini BNPB sudah bekerja dengan sigap, cepat, tanggap, dan responsif.

“Kami cepat dalam merespons bencana. Lihat pak Jokowi selalu hadir bersama para korban di saat mereka membutuhkan bantuan. Kami sudah berbuat yang terbaik untuk penanganan bencana, sementara kubu sebelah baru rencana,” kata Ace.

Bukan Soal Setelah Bencana

Ace bisa saja berdalih demikian, tapi poinnya bukan pada apa yang dilakukan pemerintah setelah bencana terjadi, tapi sebelum itu. Dengan kata lain: mitigasi.

Jika bicara mitigasi, pernyataan bahwa pemerintah telah berbuat yang terbaik jelas meragukan. Lihat saja apa yang terjadi ketika Selat Sunda dihantam tsunami. Dalam kasus itu badan terkait lambat mendeteksi bencana karena pemerintah belum menyediakan alat deteksi tsunami yang disebabkan karena longsor bawah laut.

Hal ini sempat dikatakan langsung oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.

“Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan longsor bawah laut dan erupsi gunung api. Yang ada saat ini sistem peringatan dini yang dibangkitkan gempa,” kata Sutopo via Twitter, 23 Desember 2018.

Sutopo juga menyebut sejak 2012, Indonesia sudah tidak punya buoy—alat pendeteksi ketinggian muka air. Indonesia tadinya punya 21 buoy. Sebanyak 10 unit diberikan pemerintah Jerman. Tiga lainnya didapat dari Amerika Serikat. Ia juga sempat menyinggung soal kurangnya anggaran.

“Ini berpengaruh terhadap upaya navigasi kepada masyarakat, bagaimana kita bersosialisasi dan melakukan pengurangan risiko bencana. Memasang peringatan dini jadi terbatas karena anggarannya yang memang terus berkurang,” jelas Sutopo.

Ini belum termasuk masalah tata ruang yang amburadul. Dalam kasus gempa di Palu, satu perumahan amblas karena ia berdiri di atas sesar (patahan) Palu-Koro.

Hal ini terjadi karena ketiadaan peta rawan bencana yang detail. Peta bencana akan jadi acuan tata ruang. Dengan peta bencana, akan mudah mengidentifikasi daerah tersebut rawan bencana atau tidak; apakah daerah tersebut layak dijadikan tempat membangun infrastruktur atau tidak; dan sejenisnya.

Bukan Perkara Institusi

Pemerhati kebencanaan Gegar Prasetya mengatakan dengan segala kekacauan itu, solusi yang harusnya ditempuh tak sesederhana bikin instansi baru seperti yang diusulkan kubu Prabowo. Menurut Gegar, yang juga Ketua Ahli Tsunami Indonesia, yang sebaiknya diprioritaskan adalah mitigasi dan riset.

“Bukan masalah institusi sebenarnya ya, tapi masalah kemauan pemerintah fokus di aspek mitigasi sama riset,” kata Gegar kepada reporter Tirto.

Benar bahwa pemerintah saat ini sudah menyediakan duit untuk penanggulangan bencana, tapi bagi Gegar alokasinya tak tepat. Sebagian besar dana disalurkan untuk penanganan pasca bencana. Gegar, misalnya, belum pernah mendengar pemerintah menganggarkan duit untuk riset. Padahal, dua hal itu bisa meminimalisir dampak bencana dan pengeluaran jumbo untuk pemulihan pasca bencana.

“Contoh saja: setelah kejadian Lombok, Palu. Alokasi pemulihan mencapai triliunan. Anggaran riset dan mitigasi enggak sampai segitu, tapi hasilnya setelah bencana dan ketika ada bencana nanti post disaster fund akan mengecil,” katanya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino