Menuju konten utama

KSBSI: Dari Mana sih Pemikiran Pemerintah Mewajibkan Tapera?

Pemerintah tidak bisa memaksa para pekerja dan pekerja mandiri untuk menanggung bersama beban biaya pembangunan perumahan rakyat.

KSBSI: Dari Mana sih Pemikiran Pemerintah Mewajibkan Tapera?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani (kanan) didampingi Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban (kiri) memberikan keterangan saat konferensi pers terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di Jakarta, Jumat (31/5/2024). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.

tirto.id - Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, menolak keras adanya aturan yang mewajibkan pekerja dan pekerja mandiri membayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Elly menilai miris terhadap nasib buruh yang masih harus diwajibkan pemerintah untuk menyumbang pembangunan rumah rakyat.

Elly berkisah, memang banyak buruh-buruh di Jakarta yang mendapat upah setara UMR (upah minimum regional) Jakarta, yakni senilai Rp5,06 juta. Namun, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah lain, tidak sedikit juga buruh yang menerima upah di bawah Rp2 juta per bulan.

“Sampai saat ini masih tidak ada batasan pembayaran iuran ini menyumbang. Mereka yang miskin, sementara kami kan masih miskin. Dari mana sih pemikiran pemerintah ini, membuat itu menjadi sebuah kewajiban,” keluh Elly dalam konferensi pers terkait Tapera yang dihelat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan KSBSI, di Jakarta, Jumat (31/5/2024).

Dengan pungutan Tapera yang memiliki konsep tabungan, potongan 2,5% dari upah bagi pekerja dan 3% dari upah bagi pekerja mandiri adalah hal yang sangat memberatkan.

Belum lagi, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja dan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang sulit, buruh masih harus dihadapkan oleh ketidakpastian.

Elly paham, niat pemerintah untuk membangun rumah bagi masyarakat kurang mampu adalah hal yang baik. Namun, pemerintah tidak bisa memaksa para pekerja dan pekerja mandiri untuk menanggung bersama beban biaya pembangunan perumahan rakyat itu.

“Miskin-miskin begini kita sudah punya rumah walaupun nyicil. Masa saya harus kredit lagi dan nabung? Saya punya niat untuk menolong orang yang kekurangan, tapi jangan dibebankan pemerintah kepada mereka-mereka yang tidak mampu, subsidi silang,” tegas Elly.

Karena itu, baik serikat buruh yang ada di pusat dan di daerah lantas mengetatkan barisan. Mereka sepakat menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Elly dan kawan-kawannya berharap, jika pun memang pemerintah tidak bisa membatalkan PP Nomor 21 Tahun 2024 yang mewajibkan para pekerja dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta Tapera, setidaknya pasal yang mewajibkan iuran kepada mereka dapat direvisi. Mereka meminta, pemerintah dapat mengubah kata “wajib” yang ada menjadi “sukarela”.

“Jadi kalau Anda mau menabung di Tapera silakan, atau kalau memang Anda mau dapat rumah melalui Tapera, silakan,” ujar dia.

Elly berharap agar pemerintah dapat memanfaatkan iuran yang sudah ada, yakni BPJS Ketenagakerjaan, untuk memenuhi ambisi membangun perumahan rakyat.

Apalagi, di dalam manfaat tambahan Jaminan Hari Tua (JHT) yang terdapat dalam BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah pun telah memberikan fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja bagi peserta.

“Lalu saya tanya kemarin, uang itu bisa kita akses enggak? Ternyata enggak, baru di akhir (masa pensiun) bisa. Lalu kenapa overlapping? Di BPJS Ketenagakerjaan itu ada manfaat tambahan dari JHT, dananya itu ada sekitar Rp160 triliun dan ada dana tidak bertuan Rp8 triliun, kenapa itu tidak dimaksimalkan saja?” tanyanya.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Politik
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto