tirto.id - Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) berencana membawa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ke Mahkamah Agung (MA). Tetapi sebelumnya KSBSI bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pasal-pasal krusial yang ada di PP tersebut.
“Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 ini direvisi pada pasal tertu, tapi kalau PP-nya bisa. Sedang kita pikirkan kapan mau kita bawa ke Mahkamah Agung. Dan sebelum itu, memang serikat buruh tidak serta-merta turun aksi besar-besaran,” kata Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, dalam Konferensi Pers terkait Tapera di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Sementara itu, dengan semakin mendesaknya urusan Tapera ini, serikat buruh akan terlebih dulu mengirimkan kertas posisi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Upaya ini juga akan diikuti dengan melakukan pertemuan bersama Jokowi oleh perwakilan buruh dan pengusaha.
“Setelah itu, dari serikat buruh jelas pasti akan ada aksi turun ke jalan untuk ini,” imbuh Elly.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, juga mengungkapkan permohonan peninjauan kembali (Judicial Review/JR) terhadap peraturan anyar Tapera adalah pilihan terakhir bagi para pemberi kerja. Sebelumnya, pihaknya akan terlebih dulu berusaha melobi sekaligus kembali berkirim surat kepada Presiden Jokowi.
“Saya rasa posisinya, jadi nanti tentu saja kita ada steps yang kita ambil. Tapi yang jelas, kita mau mengajak semua pemangku kepentingan terkait supaya kita bisa bersama-menyelesaikan masalah ini. Pada akhirnya, kami berharap pemerintah mendengar,” ungkap Shinta.
Tidak hanya bisa mendengar suara rakyat, Shinta pun berharap agar pemerintah juga bisa melihat kembali visinya, yakni untuk mensejahterakan rakyat. Dengan adanya aturan kewajiban pembayaran iuran oleh pekerja dan pekerja mandiri, niat pemerintah untuk menyediakan rumah rakyat justru akan membebani banyak pihak.
“Kami melihat pemerintah punya keinginan untuk memperhatikan rumah rakyat itu bagus sebenarnya, tapi kita melihat apa yang sudah ada dan melihat bagaimana mekanismenya musti bisa lebih mengakselerasi yang sudah ada. Dari pada menambah lagi beban untuk pemberi kerja dan pekerja,” lanjut Shinta.
Shinta dan Elly pun sepakat, bukan aturan tentang pungutan iuran bagi pekerja dan pekerja mandiri yang membuat buruh dan pengusaha resah, melainkan dengan diwajibkannya para pekerja dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta. Elly bilang, dengan masih adanya upah buruh yang di bawah Rp2 juta, adanya iuran tapera 2,5 persen jelas sangat memberatkan.
“Apalagi ini tabungan sistemnya. Kan kalau tabungan, harusnya bisa sukarela,” tegas Shinta.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin