tirto.id - Advokat Alumni Fakultas Hukum Universitas Soedirman menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan beberapa waktu lalu. Mereka menolak karena revisi itu justru mengganggu kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Sikap ini didasari oleh materi perubahan/revisi UU KPK yang mengabaikan sejarah kelahiran KPK dan bahkan perubahan itu menjadikan KPK "lumpuh" tidak memiliki kewenangan istimewa, seperti diharapkan semula sejak berdirinya," kata salah satu perwakilan Advokat Alumni Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Hendrayana dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (23/9/2019).
Para advokat Alumni Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini beranggapan, keistimewaan yang dimiliki KPK adalah alat bagi lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi. Dalam pandangan para advokat ini, korupsi merupakan kejahatan yang lahir dari kolaborasi kekuasaan/kewenangan dan pengusaha dalam mencuri uang rakyat.
Selain itu, tingkat pendidikan dan intelektualitas yang tinggi, jaringan birokrasi dan jaringan politik yang kuat yang dimiliki para pelaku korupsi seringkali menyulitkan proses penegakan hukum, sehingga KPK perlu keistimewaan khusus.
"Jika tidak ada keistimewaan lagi, maka bukan KPK, lembaga spesial untuk memberantas korupsi," kata Hendra.
Para advokat ini menduga, para koruptor lebih menggunakan pendekatan pelemahan lewat revisi UU KPK daripada menghapus KPK. Upaya tersebut, dalam pandangan para advokat ini, sebagai upaya untuk mengembalikan Indonesia pada masa orde baru yang korup.
"KPK lumpuh - korupsi tumbuh, dan kita kembali ke era orde baru. Uang kesehatan, biaya pendidikan, dana pembangunan dicuri para koruptor, mafia peradilan kembali marak, siapa bayar dia menang, dan Indonesia bersih hanyalah mimpi, maka bangunlah sebelum terlambat," kata Hendra.
Editor: Abdul Aziz