Menuju konten utama

Kripto Kena Pajak, DPR: Bisa Jadi Sumber Pendapatan Baru Negara

DPR merespons PPN dan PPh yang akan dikenakan atas transaksi perdagangan aset kripto mulai 1 Mei 2022.

Kripto Kena Pajak, DPR: Bisa Jadi Sumber Pendapatan Baru Negara
Representasi dari Bitcoin dan mata uang kripto lainnya, ilustrasi diambil Senin (27/9/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Florence Lo/Illustration/HP/djo

tirto.id - Pemerintah bakal menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto mulai 1 Mei 2022. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar mendukung rencana pengenaan pajak tersebut. Menurutnya, skema pajak atas transaksi kripto dapat dijadikan sumber pendapatan baru negara.

"Transaksi kripto sekarang kita tahu begitu besar. Pelanggannya juga jutaan orang. Jadi saya dukung aturan pengenaan PPh dan PPN, sekaligus ini bisa jadi sumber pendapatan baru bagi negara," kata Gus Muhaimin di Jakarta, Sabtu (9/4/2022).

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai transaksi aset kripto mencapai Rp64,9 triliun pada 2020 dan tercatat Rp859,4 triliun pada tahun lalu. Dari data tersebut, transaksi perdagangan aset kripto periode Januari hingga Februari 2022, tercatat sebesar Rp83,3 triliun.

"Transaksi sebesar dan sebanyak itu tentu saja bisa meningkatkan pendapatan pajak negara. Jadi sudah sepatutnya dioptimalkan," tutur Gus Muhaimin.

Politikus PKB ini juga meminta Kementerian Keuangan mengkaji dan berkoordinasi dengan pengusaha transaksi aset kripto maupun Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) terkait besaran tarif pajak yang akan dikenakan.

"Harapan saya pengenaan pajak tidak terlalu memberatkan para trader aset kripto yang berdampak pada berkurangnya transaksi hingga perpindahan trader ke transaksi exchange luar negeri," ujarnya.

Di sisi lain, dia juga mendorong Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) melakukan sosialisasi aturan pengenaan PPh dan PPN kepada perusahaan penyelenggara transaksi aset kripto, maupun kepada masyarakat selaku trader dan nasabah.

"Jangan nanti terkesan pemerintah asal narik pajak saja oleh para pengusaha dan trader. Kalau [sosialisasi] masif saya yakin mereka juga mengerti, karena ini juga untuk kebaikan Indonesia, kebaikan kita bersama," tukasnya.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka-bukaan terkait pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi aset kripto di Indonesia. Kebijakan itu sendiri berlaku efektif pada 1 Mei 2022.

Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP, Bonarsius Sipayung mengatakan, pengenaan pajak atas transaksi kripto ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

"Kenapa kripto ini dikenakan? Pertama, tentunya adalah berdasarkan UU PPN atas seluruh penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak terutang PPN. Itu prinsipnya," kata dia dalam media briefing dalam video conference di Jakarta, Rabu (6/4/2022).

Bonar mengklaim, sebelum menimbang pengenaan PPN pemerintah lebih dulu mendefinisikan aset kripto. Pertama, meski ada terminologi criptocurrency namun sudah jelas bahwa Bank Indonesia (BI) sudah melarang kripto sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.

"Kita lihat aturan dari otoritas yaitu BI menyatakan bahwa kripto itu bukan alat tukar. Karena bukan alat tukar, clear, dia adalah barang tertentu yang bisa digunakan sebagai alat tukar tapi bukan alat tukar resmi yang diakui otoritas," jelas dia.

Baca juga artikel terkait PAJAK KRIPTO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri