tirto.id - Ketua KPU RI Hasyim Asyari mengungkap bahwa pihaknya masih berpedoman pada aturan lama mengenai batas usia capres-cawapres yaitu 40 tahun. Hal itu sesuai Pasal 169 huruf q UU Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat usia minimal capres-cawapres.
Pihak KPU masih menunggu sidang putusan yang saat ini masih diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres tersebut.
"KPU bekerja berdasarkan Undang-Undang. Kalau masa pendaftaran 19 sampai 25 Oktober Undang-Undangnya masih berlaku tentang batas minimal umur pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang kita gunakan itu," kata Hasyim di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat pada Senin (9/10/2023).
Di tengah menunggu putusan MK, KPU menyiapkan sejumlah aturan untuk partai politik yang akan mendaftarkan capres-cawapres. Aturan ini diberikan kepada partai politik, karena lembaga tersebut yang paling berhak dalam mengajukan capres-cawapres.
"Dan dalam waktu dekat, ini tanggal 9, dalam pekan ini Insya Allah KPU akan mengundang partai politik dalam rangka untuk persiapan pendaftaran calon. Karena yang punya kewenangan mendaftarkan pasangan calon adalah partai politik, sehingga kami akan mengundang partai politik tentang apa saja syarat, atau dokumen yang harus dipenuhi, kemudian formulir apa saja yang akan digunakan," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menilai aturan batas usia capres dan cawapres merupakan kebijakan hukum yang sifatnya terbuka atau open legal policy.
Dia bilang pihak yang berhak menentukan itu adalah DPR dan pemerintah. Mahfud menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) bertugas membatalkan konstitusi yang tidak sesuai kehendak dasar. Mahkamah Konstitusi tidak bisa mengubah batas usia capres-cawapres.
"MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi," kata Mahfud, usai menghadiri rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Selasa (26/9/2023)
"Kalau itu dipersoalkan, minimal harus 35 tahun dan maksimal 70 tahun itu siapa yang boleh menetapkan? Bukan MK. Itu open legal policy artinya harus DPR. Itu teori hukumnya," sambung mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Reja Hidayat