tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tiga orang tersangka terkait kasus dugaan korupsi pada proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry Persero 2019-2022.
Ketiga orang tersebut antara lain Mantan Direktur Utama ASDP, Ira Puspadewi, Mantan Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP 2019-2024, Muhammad Yusuf Hadi, dan Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP 2020-2024, Harry MAC.
"Maka pada hari Kamis 13 Februari 2025, KPK melakukan upaya paksa, berupa penahanan terhadap tiga orang mantan Direksi PT ASDP," kata Plh Direktur Penyidikan, Budi Sukmo, saat konferensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (13/2/2025).
Ketiga tersangka tersebut ditahan selama 20 hari sampai dengan 4 Maret 2025 di rumah tahanan Klas I Jakarta Timur, cabang rumah tahanan KPK.
Budi menerangkan, dugaan korupsi KSU dan akuisisi PT JN oleh PT ASDP terindikasi menimbulkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp893 miliar.
Dia menjelaskan, kasus ini bermula pada tahun 2014. Kala itu, pemilik PT Jembatan Nusantara, Adjie, menawarkan kepada ASDP, untuk mengakuisisi perusahaanya. Namun, saat itu, sebagian Direksi dan Dewan Komisaris ASDP menolak rencana tersebut. Direksi dan Dewan Komisaris ASDP beralasan, kapal milik PT Jembatan Nusantara umurnya sudah tua, dan ASDP memprioritaskan rencana pengadaan atau pembangunan kapal baru.
Kemudian, pada awal 2018, Ira diangkat menjadi Dirut ASDP. Lalu, Adjie menemui Ira untuk menawarkan kembali akuisisi yang sebelumnya ditolak tersebut. Kemudian, akhirnya rencana tersebut dibahas dalam beberapa pertemuan yang juga dihairi oleh Yusuf dan Harry.
Budi menambahkan, pada 2019, PT JN menawarkan akuisisi secara tertulis, dan dilanjutkan oleh ASDP dengan melakukan kerja sama bersama PT JN hingga 2022. "Bahwa pada 26 Juni 2019 ditandatangani nota kesepahaman antara ASDP Indonesia Ferry dengan PT Jembatan Nusantara dan pada 23 Agustus 2019 ditandatangani kontrak induk kerja sama usaha," jelasnya.
Kemudian, setelah terjadi kesepakatan tersebut, ASDP lebih memprioritaskan penggunaan kapal milik PT JN, dibanding milik ASDP. Hal tersebut, dilakukan agar kapal milik PT JN dianggap layak untuk diakuisisi.
"Bahwa pada saat pembahasan rencana akuisisi tersebut, PT ASDP belum memiliki pedoman internal yang mengatur tentang akuisisi sehingga Ira Puspadewi memerintahkan Tim Akuisisi untuk menyusun draf Keputusan Direksi tentang Akuisisi," tuturnya.
Kemudian, pembahasan akuisisi mulai dilakukan oleh Direksi ASDP stelah dilakukan penggantian Dewan Komisaris ASDP pada 2020. Direksi ASDP memasukkan kegiatan akuisisi pada RJPP 2020-2024 dan disahkan oleh Dewan Komisaris yang baru.
"Dalam RJPP tersebut disebutkan adanya penambahan 53 kapal melalui kerja sama usaha. Sementara dalam RJPP 2019-2023, tercantum 5 pilar strategis diantaranya meningkatkan keunggulan operasional dan memperkuat kesehatan keuangan," tuturnya.
Selanjutnya, ketua tim akuisisi mengkoordinasikan agar melakukan valuasi sesuai dengan permintaan Direksi."Tim Akusisi melakukan serangkaian proses penilaian melalui beberapa konsultan, termasuk diantaranya KJPP MBPRU yang melakukan penilaian harga pasar atas 53 kapal milik PT JN Group (42 kapal milik PT JN dan 11 kapal milik afiliasi PT JN)," jelasnya.
Budi menjelaskan, penilaian atas 53 kapal milik Jembatan Nusantara menjadi salah satu faktor yang sangat krusial. Namun, KPK diduga hal itu telah direkayasa agar mendekati nilai yang sudah ditentukan oleh Adjie dan disetujui oleh Direksi ASDP.
"Tidak kurang dari Rp2 triliun," ujarnya.
Budi pun menerangkan, para tersangka sempat menggelar beberapa kali pertemuan hingga akhirnya mencapai kesepakatan pada 20 Oktober 2021 sebesar Rp1,27 triliun. Rinciannya, sebanyak Rp892 miliar untuk nilai saham dan Rp380 miliar untuk nilai 11 kapal milik afiliasi PT JN.
"Atas perhitungan yang dilakukan, maka transaksi akuisisi PT JN oleh PT ASDP terindikasi menimbulkan kerugian keuangan negara Rp893 miliar," pungkasnya.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Andrian Pratama Taher