tirto.id - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan barang bukti kasus dugaan merintangi penyidikan dalam skandal suap Basuki Hariman atau dikenal dengan "Buku Merah" ke polisi menuai kritik. Aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan pesimistis kasus ini akan tuntas di tangan Polda Metro Jaya.
“Kalau saya sih tidak terlalu yakin, saya pesimis[tis] ini bisa terungkap tuntas,” kata anggota Divisi Investigasi ICW Lais Abid kepada reporter Tirto, Rabu (31/10/2018).
Abid mengatakan, penyidik Polda Metro Jaya akan menemui kesulitan dalam merunut kembali kasus ini. Sebabnya, kata dia, kasus suap oleh Basuki Hariman ini merupakan kasus yang sudah terlanjur ditangani dan dikerjakan KPK dari awal hingga sejumlah terdakwa divonis pengadilan.
Selain itu, Abid juga menduga penyidik Polda Metro Jaya akan kesulitan mengumpulkan alat bukti. Pasalnya, kejadian perusakan alat bukti itu terjadi di kantor KPK, yang notabene merupakan instansi penegak hukum juga.
“Sebagai sesama lembaga penegak hukum pasti ada sekat-sekat yang tidak bisa diakses penyidik Polda Metro,” kata Abid. Semestinya, kata dia, kasus perusakan barang bukti ini diselesaikan oleh KPK, bukan di Polda Metro Jaya.
KPK Serahkan Dua Barang Bukti
Barang bukti yang dimaksud dalam kasus ini adalah buku bank berwarna merah bertuliskan IR SERANG NOOR, No. Rek. 4281755174, BCA KCU Sunter Mall beserta, dan 1 buah buku bank berwana hitam bertuliskan Kas Dollar PT. Aman Abadi Tahun 2010.
“Pimpinan KPK telah memutuskan untuk memberikan dua barang bukti karena telah ada penetapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/10/2018).
Putusan tertanggal 23 Oktober itu turut dilampirkan dalam surat Kapolda Metro Jaya kepada Ketua KPK yang diserahkan pada 24 Oktober 2014. Dalam putusan itu, kata Febri, pengadilan memberikan izin kepada kepolisian untuk menyita dua barang bukti tersebut.
Penyitaan ini dilakukan dalam rangka penyidikan kasus dugaan merintangi penyidikan dengan merusak alat bukti. Kejadian diduga terjadi pada 7 April 2017 di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Pada 7 April 2017 disebutkan dua orang penyidik Polri yang ditugaskan di KPK, yaitu Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun, masuk ke sebuah ruangan di lantai 9 Gedung KPK. Keduanya diduga mengambil buku catatan keuangan berwarna merah dan menyobek 9 lembar kertas, serta menghapus sejumlah tulisan dengan tipe-x dari buku itu.
Buku itu disebut merupakan buku catatan keuangan bersampul merah atas nama Serang Noor IR, nomor rekening 4281755xxx BCA KCU Sunter Mall. Buku ini diduga terkait kasus suap kuota impor daging yang menjerat pengusaha Basuki Hariman, dan sekretarisnya, Ng Fenny.
Diduga dalam buku itu terdapat riwayat aliran dana dari Basuki Hariman kepada sejumlah pejabat. Di antaranya, ada dari Bea Cukai, Balai Karantina, Kepolisian, TNI, sampai Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Saat dikonfirmasi ulang pada Rabu (31/10/2018), Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tak memberi jawaban jelas mengenai hal ini. Saut hanya mengatakan bahwa pihaknya tidak dalam posisi melarang ketika kepolisian melakukan penyidikan perkara ini.
“Itu sesuai KUHAP dan KUHP di mana KPK tidak dalam posisi mengatakan 'tidak' pada penyidikan yg dilakukan aparat penegak hukum lain dalam kaitan penegakan kepastian hukum,” kata dia lewat pesan tertulis, Rabu kemarin.
Namun, Saut tak mau menjawab lebih lanjut sejumlah pertanyaan yang diajukan reporter Tirto.
KPK Enggan Tangani Kasus Ini?
Lais Abid menduga ada keengganan dari pimpinan KPK saat ini untuk menangani kasus perusakan alat bukti tersebut. Hal ini dikarenakan kasus ini menyenggol petinggi korps Bhayangkara itu.
Di dalam dua buku itu memang disebut-sebut terdapat catatan penyerahan uang dari Basuki ke sejumlah pejabat, salah satunya ialah Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang kala itu masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.
Karena itu, Abid menduga ada kekhawatiran dari para pimpinan kalau KPK akan kembali berkonflik dengan polisi seperti yang terjadi dahulu. “Kalau ini masuk lagi ke konflik penegak hukum, kemungkinan justru membuat KPK menemui masa-masa yang sulit untuk ke depannya,” kata Abid.
Padahal, ia menganggap mestinya KPK yang menangani perkara perusakan alat bukti ini. Sebab, KPK lah yang menangani kasus induk perkara ini, yakni kasus suap Basuki Hariman.
“Harusnya kan yang menangani itu adalah penyidik yang melakukan penyidikan dalam kasus utamanya, dalam hal ini kasus suap Basuki Hariman,” kata Abid.
Menurut Abid, penanganan kasus ini oleh Polri juga bisa menimbulkan dugaan akan ada konflik kepentingan dalam penanganan perkara ini.
Hal senada diungkapkan Guru Besar Hukum Acara Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho. Ia menilai, semestinya penanganan kasus merintangi penyidikan dilakukan oleh pihak yang dirintangi.
"[Penanganan] suatu perintangan [atau] obstruct of jusrice itu tergantung siapa yang dirintangi, kalau KPK yang dirintangi, ya KPK [yang menangani]," kata Hibnu kepada reporter Tirto.
Kendati demikian, menurut dia, KPK memang bisa melimpahkan tugas kepada kepolisian. Alasannya, sebab itu masih bagian dari fungsi trigger mechanism milik KPK. Akan tetapi, kata dia, KPK harus menjadi pihak yang berinisiatif untuk melimpahkan tugas, dan berkoordinasi dengan kepolisian.
“Secara teorinya, ada koordinasi di antara 2 lembaga antara KPK dan kepolisian, siapa yang akan melanjutkan? Enggak mungkin cuman tinggal ambil,” kata dia.
Polda Metro Jaya Ambil Alih
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Pol Adi Deriyan Jayamarta di Jakarta, pada 10 Oktober, mengatakan pihaknya telah menyidik dugaan gratifikasi terkait dugaan gratifikasi lelang daging impor yang menyeret Basuki Hariman dan Ng Fenny.
“Kami sudah melakukan penyidikan. Penyidikan tentukan membutuhkan wujud klarifikasi,” kata Adi seperti dikutip Antara.
Terkait "buku merah" itu, Adi mengungkapkan awalnya penyidik memeriksa staf keuangan CV Sumber Laut Perkasa, Kumala Dewi Soemartono yang telah dicantumkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Dari hasil pemeriksaan, Adi menuturkan terungkap Kumala mendapatkan perintah dari Basuki untuk mencatat seluruh pengeluaran dana perusahaan. Selanjutnya, penyidik memeriksa Basuki yang mengaku memerintahkan Kumala untuk mencatat seluruh pengeluaran anggaran yang dicatat di luar buku pengeluaran perusahaan.
Berdasarkan keterangan Basuki, Adi menyatakan, pengusaha itu mengakui penggunaan anggaran perusahaan itu untuk kepentingan pribadi seperti perjalanan dan akomodasi ke luar negeri. Tujuannya agar uang perusahaan itu bisa digunakan yang Basuki untuk kepentingan pribadi.
Adi menambahkan, polisi telah menelusuri dan membuktikan aliran dana perusahaan termasuk manifes Basuki saat berada di luar negeri.
“Jadi Basuki Hariman sudah menyampaikan nama pejabat yang ada dalam 'buku merah' itu tidak pernah diberikan, keterangan dia itu [dana] yang digunakan untuk kepentingan pribadi,” ungkap Adi.
Adi mengklaim, Polri dan KPK memiliki hubungan yang harmonis, saling mendukung serta tidak ada perseteruan dalam proses penegakan tindak pidana korupsi. Ia mengaku sangat mengetahui para penyidik KPK sangat profesional dan menjunjung tinggi kode etik profesi sehingga tidak mungkin membocorkan atau merusak BAP.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz