tirto.id - Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah buka suara soal video CCTV terkait perusakan “buku merah” yang dilakukan dua penyidik dari kepolisian, Roland Rinaldy dan Harun. Hal ini terjadi pada 7 April 2017 saat Roland dan Harun masih bertugas di komisi antirasuah.
Namun, Febri tak mau memberikan konfirmasi soal kebenaran video CCTV itu. Sebab, kata Febri, proses penyidikan “buku merah” masih berjalan di Polda Metro Jaya.
Febri hanya menuturkan telah mengecek salinan CCTV tersebut ke bagian pemeriksaan internal KPK. Salinan CCTV itu, kata Febri, juga sudah pernah diberikan ke pihak kepolisian untuk kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut.
“Jadi ada dokumen yang disita berdasarkan penetapan pengadilan dan juga salinan CCTV. Tapi saya itu tidak tahu secara detail ya bagaimana persisnya isi CCTV itu. Karena itu menjadi bagian dari dokumen dalam proses penyidikan yang berjalan,” kata Febri, di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Perusakan buku merah itu terjadi di ruangan Kolobirasi di lantai 9. Ia menjelaskan, tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam ruangan tersebut lantaran terdapat prosedur yang harus dilalui.
Karena itu, kata Febri, KPK akan mendalami dan mengklarifikasi terhadap sejumlah penyidik KPK asal kepolisian yang diduga melakukan perusakan buku merah tersebut.
“Sayangnya memang proses pemeriksaan internal itu belum bisa berjalan sampai dengan selesai begitu. Karena dua orang [Roland dan Harun] dikembalikan kembali ke Polri dan mendapat penugasan di sana,” kata Febri.
Namun selama proses pengusutan kasus buku merah, kata Febri, Polda Metro Jaya pernah memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa pegawai KPK. Salah satunya adalah penyidik KPK yang diduga mengetahui peristiwa itu.
"Itu sudah kami fasilitasi biro hukum datang ke penyidik untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Saya belum dapat informasi yang terkait dengan perkembangan hari ini," kata dia.
Selanjutnya dalam rangkaian penyidikan itu, Polda juga sudah pernah melakukan penyitaan terhadap buku bank berwarna merah tersebut dan satu dokumen lain. KPK menyerahkan dokumen itu karena ada lampiran surat penetapan dari pengadilan.
"Bagaimana perkembangan penanganan perkara di sana, saya belum dapat informasi itu. Mungkin nanti saya cek kembali bagaimana persisnya perkembangan tersebut," kata Febri.
Febri tak menjawab dengan jelas saat ditanya awak media apakah buku merah tersebut merupakan buku bank atau catatan aliran dana uang pengusaha impor daging Basuki Hariman.
Ia berdalih bahasanya dalam proses penyitaan yaitu hanya buku bank berwarna merah. “Jadi itu sebuah buku yang covernya berwarna merah dan ada catatan catatan di dalamnya,” kata Febri.
Febri pun enggan menanggapi terkait beberapa lembar halaman buku yang rusak karena diduga terdapat nama Kapolri Tito Karnavian. Pasalnya, dalam buku itu disinyalir terdapat catatan aliran uang kepada Tito yang kala itu masih menjabat Kapolda Metro Jaya.
"Secara substansi saya tidak bisa bicara itu karena proses penyidikannya sedang berjalan di Polda Metro Jaya," kata dia.
Polda Metro Jaya belum memberikan konfirmasi lebih lanjut terkait pemkembangan buku merah ini. Namun, pada 9 Agustus 2019, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra mengatakan polisi tidak akan melanjutkan lagi kasus "buku merah" yang diduga memiliki keterkaitan dengan kasus Novel Baswedan.
“Persoalan itu sudah final. Tidak ada hal yang menyangkut dengan Novel,” kata dia di Mabes Polri, Jumat (9/8/2019).
Padahal, Kuasa Hukum Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa mengatakan, seharusnya polisi mengusut kasus Buku Merah dalam membongkar kasus penyiraman air keras terhadap kliennya. Selain dari enam kasus besar di KPK yang diduga dapat menjadi motif penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
“Ya, sudah saya katakan tidak ada hubungannya,” kata Asep menegaskan.
Asep juga berdalih ketika ditanya untuk kedua kalinya apakah kasus itu akan didalami lagi.
“Dalam penyelidikan itu ada metode induktif yang berasal dari TKP dan metode deduktif dari luar TKP. Salah satunya tentang motif, itu bisa saja dilakukan. Enam kasus itu termasuk deduktif," ujar Asep.
Saat ditanyakan untuk ketiga kalinya, ia kembali menjawab. "Buka kasus yang mana?" sambung dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz