tirto.id - Tersangka korupsi proyek KTP-elektronik Setya Novanto telah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) untuk kali kedua, Rabu (15/11). Sidang perdana tersangka kasus korupsi KTP-elektronik ini dijadwalkan 30 November mendatang.
Sama seperti praperadilan pada umumnya, kalau Novanto menang, ia akan bebas. Statusnya sebagai tersangka akan dicabut karena tata cara penetapannya dinilai tidak sah. Sebaiknya kalau kalah, proses hukum atas Novanto bakal berlanjut.
KPK sebetulnya tidak mesti "bertarung" dengan tim pengacara Novanto lagi. Syaratnya, berkas penyidikan sudah rampung (P21) sebelum hari-H praperadilan.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, P21 merupakan kunci untuk menghambat langkah Novanto kembali bermanuver. Sebab ketika KPK sudah mengeluarkan P21, kasus Novanto tinggal "maju" ke pengadilan.
"Sehingga proses praperadilan akan gugur," kata Feri pada Tirto, Kamis (23/11/2017).
Hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang bunyinya "dalam hal suatu perkara sudah mulai, diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur."
Feri menilai, KPK seharusnya sudah siap. Lantara, KPK sudah punya sejumlah alat bukti dan hasil penyidikan yang jadi dasar menjerat Novanto. "Lebih baik segera limpahkan berkas ke pengadilan," kata Feri.
Karena itu, Feri mengatakan, KPK tidak perlu gentar memproses seseorang yang pernah terbebas dari status tersangka lewat praperadilan, --isu yang sempat diprotes kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, yang menilai kliennya tak boleh lagi "disentuh" pasca-menang praperadilan--. Feri berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan penegak hukum bisa memproses dalam perkara yang sama pada seseorang, meski pun sebelumnya memenangkan praperadilan.
Mengenai percepatan P21 ini, juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya masih dalam proses merampungkan berkas. Febri tidak menjelaskan, sejauh mana proses pemberkasan itu dilakukan penyidik yang menangani kasus Novanto.
"Tidak bisa dipersentasekan," katanya kepada Tirto.
Febri mengatakan, KPK sudah sejak awal mengantongi dua alat bukti. Ia mengaku, KPK siap melewati praperadilan dan kini sedang dipelajari Biro Hukum. Sementara Tim Penindakan tetap menangani pokok perkara. Semua proses dijalankan secara paralel.
Terkait penanganan kasus Novanto ini, Febri bilang, KPK tidak ingin tergesa-gesa. Mengingat, skala kerugian negara dan potensi yang besar "menyeret" nama-nama pejabat tinggi negara. "Kami tetap akan lakukan dengan hati-hati dan menjadikan kekuatan bukti sebagai tolak ukur utama," kata Febri.
KPK sudah menjerat Novanto dengan Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan menetapkannya sebagai tersangka pada 10 November lalu.
Selepas penetapan tersangka, Novanto sempat mangkir dari pemeriksaan. Ketua DPR itu bahkan sempat menghilang saat hendak dijemput penyidik KPK. Saat penyidik masih mencari keberadaannya, Novanto mengalami insiden kecelakaan, Kamis pekan lalu.
Ia kemudian menjalani perawatan di RS Medika Permata Hijau, dan dipindah ke RSCM Kencana, sehari berselang. Setelah diperiksa dokter dari IDI, Novanto akhirnya ditahan KPK di Rutan KPK, Minggu malam, 19 November.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih