Menuju konten utama

KPK: Jika UU KPK Disahkan, Kasus Seperti Wawan Tak Bisa Terbongkar

Kasus korupsi dengan jumlah kerugian negara yang besar umumnya memiliki tingkap kompleksitas yang tinggi, sehingga revisi UU KPK melemahkan kinerja mereka.

KPK: Jika UU KPK Disahkan, Kasus Seperti Wawan Tak Bisa Terbongkar
Juru Bicara KPK Febri Diansyah memberikan keterangan pers terkait penetapan tersangka kasus dugaan korupsi, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/6/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/ama.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merampungkan 5 tahun proses penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pengusaha Tubagus Chaeri Wardana. Mereka pun menyita aset dengan total Rp500 miliar yang diduga terkait dengan kejahatan tersebut.

Kasus TPPU oleh pria yang akrab disapa Wawan itu menjadi salah satu tangkapan terbesar KPK sejak berdiri. Namun dipastikan kasus serupa akan sulit terungkap ke depan karena revisi undang-undang KPK memberi batas waktu penyidikan hanya 2 tahun.

"Kalau penanganan perkara di KPK itu dibatasi waktunya 2 tahun mungkin kasus-kasus seperti pencucian uang atau korupsi yang dilakukan TCW [Tubagus Chaeri Wardhana] ini tidak akan bisa terbongkar," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu (9/10/2019).

Febri mengungkap kasus-kasus dengan jumlah kerugian negara yang besar umumnya memiliki tingkap kompleksitas yang tinggi. Misalnya, harus melibatkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mendapatkan taksiran kerugian keuangan negara akibat kejahatan itu.

Selain itu, KPK juga harus bekerja sama dengan penegak hukum di luar negeri untuk pengungkapan perkara. Dalam kasus Wawan, KPK harus bekerja sama Australian Federal Police (AFP) untuk menyita rumah dan apartemen milik adik dari mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah itu.

"Sehingga sejak awal kami mengatakan ini berisiko memang melemahkan kerja KPK untuk mengungkap kasus-kasus besar," ujarnya.

Pembatasan waktu oleh revisi UU KPK itu pun menjadi ironis sebab di sisi lain banyak politikus menuntut KPK mengungkap kejahatan-kejahatan "big fish".

Walau begitu Febri enggan mencampuri penerbitan Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang (Perpu). Namun, tambahnya, polemik ini menjadi kesempatan bagi masyarakat menilai suara siapa yang didengar presiden, apakah suara parpol atau suara masyarakat yang menuntut penerbitan Perppu KPK.

"Itu kita kembalikan saja pada presiden karena menerbitkan atau tidak menerbitkan Perppu itu merupakan otoritas dari Presiden," kata Febri.

Baca juga artikel terkait ISI RUU KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Widia Primastika