tirto.id - Kebijakan Satu Peta dinilai berpotensi melanggar hak warga jika pemerintah tak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam program tersebut.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengingatkan Kebijakan Satu Peta tidak akan menyelesaikan masalah tumpang tindih kepemilikan lahan apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam perumusan peta tematik terintegrasi itu.
“Apabila usulan peta masyarakat tadi tidak diakui oleh Kebijakan Satu Peta maka nanti akan ada diskriminasi terhadap petani dan masyarakat,” kata Dewi di Jakarta pada Kamis (13/12/2018).
Dewi menuturkan selama ini konflik agraria kerap terjadi saat ada tumpang tindih kepemilikan lahan, terutama di kasus pemanfaatan lahan perkebunan, pertambangan, dan perhutanan.
Menurut dia, pada banyak kasus, seringkali lahan yang telah lama ditempati oleh masyarakat diklaim pihak lain untuk keperluan bisnis perkebunan, pertambangan, dan pemanfaatan hutan. Padahal, kata Dewi, lahan itu seringkali telah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat.
Belum lagi, dia mencatat pemerintah seringkali berpihak pada pengusaha ketika terjadi konflik soal kepemilikan lahan.
Selain Itu, Dewi juga mengatakan sejauh ini peta kepemilikan lahan buatan masyarakat kerap dinilai buruk dari segi metode dan teknik pemetaan. Menurutnya, hal itu selalu dipersoalkan oleh pemerintah sehingga berujung pada tidak diakuinya peta buatan masyarakat.
“Peta partisipatif masyarakat dianggap tidak sesuai standar. Padahal itu kan bukan tugas petani dan masyarakat adat untuk memiliki teknologi seperti pemerintah,” ucap Dewi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom