tirto.id - Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata kini semakin sesak. Dari 27 blok, hanya tersisa dua petak yang muat untuk sekitar 789 makam. Pemerintah berencana memperluasnya, tetapi terkendala sengketa lahan. Penyebabnya beragama, tetapi faktor dominannya lantaran terlalu sering memberikan lahan pekuburan tanpa kriteria yang jelas, termasuk kepada pensiunan tentara dan polisi.
Pada akhirnya, sesudah pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, aturannya dipertegas: hanya mereka yang bergelar pahlawan nasional, penerima bintang republik, mahaputera, dan gerilya yang boleh menghuni TMP Kalibata.
Selama ini belum ada yang mengevaluasi berapa jumlah jenazah yang mestinya tidak berhak dikubur di TMP Kalibata. Data yang tersedia hanya demografi jenazah plus kesatuan dan gelar yang mereka sandang. Dari 9.813 jasad, misalnya, jumlah terbanyak dari TNI Angkatan Darat. Sementara cuma 40 pahlawan nasional yang mendiami pemakaman tersebut. (Baca: Angkatan Darat Mendominasi Makam Pahlawan Kalibata)
Semasa Orde Baru (1967-1998), gelar bintang dan tanda jasa diumbar Soeharto kepada para kroninya. Bahkan koruptor bisa leluasa disemayamkan di TMP Kalibata. Sejarawan Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan, sejatinya pemberian gelar pahlawan nasional memang bersifat politis, apalagi pada masa Orde Baru.
“Orang menjadi istri menteri pun pada zaman Orde Baru memperoleh bintang mahaputera,” kata Asvi kepada reporter Tirto di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu.
Berikut petikan wawancara Asvi Warman Adam mengenai ketersediaan lahan TMP Kalibata yang makin sempit dan betapa politisnya pemberian gelar pahlawan.
Apa pandangan Anda soal lahan TMP Kalibata yang makin sesak dan bakal penuh tiga tahun ke depan?
Sebelum undang-undang tentang gelar pahlawan dan bintang tanda jasa itu, memang kelihatan seperti ada inflasi (pahlawan). Asal dapat bintang, sudah bisa dimakamkan. Tetapi tahun 2009 dicoba oleh pemerintah dan DPR untuk mengurangi. Jadi, yang berhak di sana adalah pahlawan nasional, pemilik bintang republik, dan peraih bintang mahaputera.
Tetapi kemudian menjadi masalah. Ada veteran yang mau dimakamkan tetapi tidak bisa. Nah, veteran ini ada beberapa orang memegang bintang gerilya. Mereka beranggapan, bintang gerilya ini mungkin lebih tinggi nilainya. Karena mereka dapatkan pada 1945-1949 daripada, misalnya bintang mahaputera. Orang menjadi istri menteri pun pada zaman Orde Baru memperoleh bintang mahaputera.
Nah, para veteran protes kepada presiden SBY. Sudah ada waktu itu ketua legiun veteran bertemu dengan SBY dan mengatakan: “Ini sudah ada beberapa veteran yang tidak bisa dimakamkan, ditolak untuk dimakamkan di Kalibata."
Kemudian SBY merasa heran, "Kok, begitu? Mereka, kan, pemegang bintang gerilya?"
"Lho, itu, kan, undang-undangnya begitu, Pak,” kata ketua legiun veteran.
"Kok bisa?"
"Lah, kan, Bapak yang tandatangan undang-undangnya."
Nah, SBY memerintahkan kepada Komandan Garnisun. Sejak saat itu, pemegang bintang gerilya boleh lagi dimakamkan, padahal sebetulnya melanggar undang-undang. Tetapi SBY bilang kepada komandan Garnisun untuk membolehkan bintang gerilya dimakamkan.
Baru beberapa saat setelah itu, legiun veteran mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tetapi prosesnya berbulan-bulan dan diterima.
Sekarang kembali soal pahlawan nasional. Pahlawan nasional itu jumlahnya 169. Saya selalu mengatakan: Kita itu adalah penduduk yang sangat besar jumlahnya. Kalau pendapat saya pribadi, pahlawan nasional sampai 250 orang pun tidak masalah, dengan catatan satu orang pahlawan mewakili satu juta.
Bagaimana pemberian makam di TMP Kalibata bagi prajurit yang tewas dalam tugas seperti kecelakaan pesawat, misalnya?
Iya, menurut hemat saya, itu bertentangan dengan undang-undang. Kalau putusan MK memperbolehkan bintang gerilya, itu jumlahnya tidak banyak lagi. Tidak seperti sekarang, pesawatnya jatuh atau kapalnya tenggelam, dimakamkan di situ. Menurut hemat saya, harus kembali ke undang undang yang mengatur itu.
Bagaimana jika pengecualian itu dari diskresi presiden?
Presiden, menurut saya, boleh memberi penghargaan lain. Banyak bentuk penghargaan lain, misal: nama gedung atau nama jalan
Undang-undang yang mengatur pahlawan ini kembali lagi ditegakkan, itu kan sudah betul. Ditolak waktu itu oleh Garnisun yang tidak memiliki bintang mahaputera dan bintang republik. Itu dikendorkan lagi oleh SBY, secara lisan. Kemudian, putusan MK membolehkan bintang gerilya. Ya sudah, batasnya hanya itu. Jadi tidak lagi prajurit yang kecelakaan dimakamkan di tempat itu.
Bagaimana saat Orde Baru, misalnya ada orang yang terlibat korupsi dimakamkan di TMP Kalibata?
Kalau kasusnya Muhammad Taher, memang tidak ada di dalam undang-undangnya, tidak diatur. Tetapi saya kira pemerintah bisa mengambil kebijakan, misal soal korupsi yang sekarang dianggap kejahatan luar biasa, sehingga orang yang terlibat korupsi itu tidak layak dimakamkan di taman makam pahlawan.
Untuk kasus Pak Heru Atmodjo, menurut ketentuan undang-undang, dia pemegang bintang gerilya. Jadi dia layak dimakamkan di sana. Bahwa dia terlibat G 30 S dan dihukum, hukumannya kan sudah selesai. Jadi tidak ada alasan sebetulnya untuk menolak, untuk mengeluarkan dia begitu. Tetapi kalau yang korupsi itu, menurut saya, harus dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari TMP Kalibata supaya menjaga citra makam pahlawan.
Di era reformasi bagaimana?
Kalau untuk gelar pahlawan pada era reformasi, justru sangat banyak pahlawan nasional yang diangkat. Tetapi pada masa Orde Baru, bintang-bintang seperti mahaputera diberikan. Bukan hanya kepada para menteri, tetapi juga istri-istri mereka juga dapat.
Bagaimana pemberian gelar kehormatan termasuk bintang tanda jasa ini?
Bintang itu banyak sekali jumlahnya dan itu sangat lumrah diberikan. Ada bintang republik yang paling tinggi, kemudian bintang mahaputera, dan seterusnya. Jadi ada bintang-bintang yang diberikan untuk angkatan bersenjata, dan lain-lain.
Nah, bisa saja bintang itu diberikan kalau sifatnya internal di angkatan, tetapi tidak ada hubungannya dengan makam pahlawan. Sekarang, ada kecenderungan angkatan, termasuk juga kepolisian, ingin memiliki taman makam pahlawan sendiri. Saya tidak tahu sudah ada atau belum makam untuk polisi.
Catatan lain, Kalibata ini makam utama, sedangkan makam pahlawan untuk daerah tidak ada di Provinsi DKI Jakarta. Berbeda dengan provinsi-provinsi lain.
Sepolitis apa sih pemberian gelar pahlawan nasional ini?
Oh iya itu sangat politis dan itu terbukti dari proses pencalonan yang sangat alot, misalnya tokoh-tokoh yang dianggap terlibat dalam pemberontakan. Misalnya, M. Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara. Sangat alot pencalonannya, walau kemudian juga akhirnya berhasil. Jadi penentuan keduanya sangat-sangat politis sebagai pahlawan nasional, karena itu ditolak oleh Angkatan Darat.
Politis dalam arti setiap golongan, setiap kelompok, punya kepentingan. Muhammadiyah punya kepentingan, NU punya kepentingan. Tetapi pemerintah seyogyanya juga punya alasan logis dan bisa diterima dalam pengambilan keputusan.
Butuh berapa lagi gelar pahlawan bagi negara ini?
Sekarang jumlahnya 169 orang, setiap golongan, setiap etnis, setiap kelompok ingin punya pahlawan. Ini kan jadi album bangsa. Mereka ingin ada di album itu. Nah, menurut, saya keterwakilan itu juga penting. Ini juga belum ada sampai saat ini. Misalnya golongan Tionghoa, diangkat tahun 2009. Sekarang, yang belum ada etnis keturunan Arab.
Sudah diusulkan A.R. Baswedan. Pengusulan ini sebelum Anies Baswedan menjadi menteri dan sebelum Anies Baswedan mencalonkan gubernur DKI Jakarta. Jadi tidak ada hubungannya. Saya juga mendukung pencalonan Abdurahman Baswedan, kakek Anies Baswedan. Harus ada keterwakilan keturunan Arab di Indonesia yang menjadi pahlawan nasional. Karena yang Tionghoa sudah ada.
Apa kriteria gelar pahlawan menurut Anda sebagai sejarawan?
Kriterianya bukan memimpin, tetapi orang yang sudah berjuang dengan republik ini. Melakukan perjuangan yang luar biasa, melakukan pengorbanan di luar tugasnya. Dia melakukan sesuatu yang lebih, perjuangannya tidak biasa. Itu yang kita lihat, dan kriteria itu yang digunakan. Dan saya kira, mereka-mereka yang diangkat menjadi pahlawan sudah memiliki itu, terlepas ada faktor-faktor tingkatan, misalnya pahlawan daerah atau pahlawan nasional. Mungkin ada orang yang dikenal di daerah, itu selalu jadi perdebatan.
Misalnya ada tokoh dari Tanah Toraja, namanya Pong Tiku, dia berjuang, tetapi apakah kita bisa mengatakan levelnya itu tingkat nasional? Di sisi lain, dia mewakili salah satu etnis golongan, dalam hal ini Toraja. Jadi hal semacam itu menjadi pertimbangan dan pemerintah mendengar masukan. Saya sudah berulang-ulang kali mengatakan itu.
Kita punya 169 orang pahlawan, tetapi kenapa perempuannya hanya 12? Itu sama saja tidak menganggap perjuangan perempuan, padahal sudah ada calon-calonnya, kenapa tidak diangkat.
Di samping itu keterwakilan etnis yang seperti saya katakan. Orang Arab belum ada yang menjadi pahlawan nasional.
Saya pun sebetulnya menggugat komposisi tujuh orang yang menjadi dewan gelar. Jadi kalau pahlawan nasional itu, tim penilainya ada 13 orang di Kementerian Sosial, itu pun komposisinya masih didominasi oleh tentara. Ketuanya kepala pusat sejarah TNI. Kenapa model masa Orde Baru dipertahankan di Kementerian Sosial?
Kemudian hasil dari tim penilai di Kemensos itu diserahkan ke Dewan Gelar. Nah dewan gelar ini ada 7 anggota: 3 orang tokoh masyarakat, 2 orang akademisi dan 2 orang dari militer. Dua orang dari akademisi itu menurut hemat saya harusnya sejarawan, tetapi itu tidak.
Menurut Undang-undang, dua orang itu harusnya akademisi, dan menurut saya itu harusnya sejarawan. Jadi bukan orang seperti sekarang, misalnya Meutia Hatta; dia memang anak pahlawan, tetapi menurut saya kalau mau mewakili akademisi, harusnya sejarawan.
Jadi soal Dewan Gelar ini memang tidak mewakili akademisi?
Ya menurut saya, komposisi dari dewan gelar itu perlu dipertanyakan. Kalau menurut undang-undang, yang akademisi itu dari kalangan sejarah. Dua orang sejarawan. Bukan akademisi dari bidang lain.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam