tirto.id - Greenpeace Asia Timur bekerja sama dengan Greenpeace Asia Tenggara dan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) merilis hasil penelitian mereka terkait dampak kebijakan kerja sama PLTU batu bara antara Korea Selatan dengan negara-negara Asia Tenggara, Senin (25/11/2019).
Son Minwoon, juru kampanye Greenpeace kantor Seoul, meyakini kerja sama ini adalah jalan pintas Pemerintah Korsel "mengekspor" polusi batu bara ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
"Pemerintah Korsel belakangan menghadiri pertemuan G20, slogannya untuk perdamaian dan kesejahteraan iklim. Tapi sesungguhnya yang mereka lakukan adalah berupaya menyepakati kerja sama investasi PLTU batu bara ke negara lain. Ini adalah langkah yang memalukan, sebuah bentuk ketidakadilan," ujarnya di Artotel, Jakarta Pusat.
Ketidakadilan yang dimaksud Minwoon tidak lepas dari langkah Pemerintah Korea Selatan sendiri yang semakin menekan penggunaan PLTU dan meningkatkan standar emisi mereka. Korsel, terkesan berusaha bersikap manis di negeri sendiri tapi justru seolah tak ambil pusing dengan risiko yang bisa dialami negara lain.
"Ini adalah kontradiksi besar. Mereka [pemerintah Korsel] menerapkan kebijakan untuk mengurangi polusi PLTU di dalam negeri, tapi di sisi lain mereka malah menggenjot investasi PLTU besar-besaran ke luar negeri," tegasnya.
Menurut temuan Greenpeace saat ini, Korea Selatan lewat tiga lembaga investasi: KEXIM, K-Sure dan KDB berinvestasi ke 12 PLTU batu bara yang tersebar di Vietnam, Indonesia, Bangladesh, dan Chile.
Total nilai investasi selama Januari 2013 hingga Agustus 2019 diperkirakan menyentuh 7 triliun Won Korea atau sekitar 5,7 miliar dolar AS. KEXIM punya porsi investasi terbesar (59,92 persen), disusul K-Sure (35,99 persen) dan KDB (4,10 persen).
Hasil penelitian CREA lantas memprediksi PLTU-PLTU yang jadi target investasi Korsel tersebut bisa menyebabkan 47.000-151.000 kematian dini selama rata-rata umur 30 pembangkit listrik jika beroperasi pada batas emisi lokal negara masing-masing.
Kematian dini ini bisa disebabkan paru-paru obstruktif kronis, kanker paru, ISPA, diabetes, hingga stroke akibat debu, PM2,5, dan SO2 akibat pembakaran PLTU batu bara.
Sebagai catatan, tiga di antara 12 PLTU yang dimaksud Minwoon sebagai target investasi Korsel berada di Indonesia, yakni PLTU Jawa 9-10, PLTU Cirebon, dan PLTU Tabalong Kalsel. Situasi ini memungkinkan Indonesia menerima 29 persen dari risiko jatuhnya korban jiwa, cuma lebih rendah dari Vietnam (38 persen).
"Angka kematian tersebut sebenarnya bisa ditekan jika Indonesia menerapkan standar emisi untuk pembangkit termal yang lebih ketat," timpal juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustaya.
Di Indonesia sendiri, standar emisi yang diterapkan relatif rendah. Dari hitung-hitungan CREA, tingkat kekotoran PLTU di Indonesia hampir 33x lebih tinggi jika dibandingkan standar yang diterapkan di Korsel sendiri.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Maya Saputri