tirto.id - Memelihara hewan bukan hanya soal lucu-lucuan. Perlu komitmen serius agar hidup mereka layak dan berkualitas.
Anjing, di antara banyak hewan peliharaan lain, dipilih paling banyak karena dianggap pintar, penurut, dan menggemaskan. Menurut survei yang dilakukan oleh Pet Food Manufactures Assosiation pada tahun 2017, anjing menjadi hewan favorit yang paling banyak dipelihara di Inggris (24 persen), disusul kemudian oleh kucing (17 persen), dan ikan akuarium (8 persen).
Hasil survei serupa juga ditunjukkan pada tren hewan peliharaan di Amerika Serikat. American Veterinary Medical Assosiation menyebut sekitar 6 dari 10 pemilik hewan menganggap hewan peliharaan mereka sebagai anggota keluarga. Di negara ini, sebanyak 36,5 persen rumah tangga memilih anjing sebagai peliharaan, lalu 30,4 persen mengasuh kucing, dan peringkat ketiga ditempati oleh burung sebanyak 3,1 persen.
“Memelihara anjing memang terlihat mudah, tapi butuh komitmen, termasuk yang utama dalam memberikan makanan terbaik,” ungkap dokter hewan Elvinkan Ruth.
Ada banyak aspek yang perlu disiapkan dalam memelihara hewan, salah satunya pengetahuan soal nutrisi. Ia menyoroti banyaknya orang yang hanya memelihara anjing tanpa memiliki persiapan dan informasi cukup mengenai hal tersebut, sehingga seringkali peliharaannya kurang atau justru berlebih dalam mengonsumsi makanan.
Padahal, nutrisi adalah kebutuhan pokok pendukung kesehatan dan tumbuh kembang hewan. Jika aspek ini tak terpenuhi dengan baik maka anjing bisa mengalami obesitas atau kekurangan gizi. Mereka juga bisa memiliki kebiasaan buruk memakan kotoran yang biasa disebut koprofagia (bahasa Inggris: coprophagia). Kedua masalah ini, jika tak segera ditangani, dapat berkembang menjadi masalah kesehatan lebih buruk.
Pada masalah obesitas, Association for Pet Obesity Prevention memperkirakan 56 persen anjing memiliki gejala tersebut. Parahnya lagi, banyak pemilik hewan gagal mengenali potensi tingkat keparahan.
“Kalau anjing atau kucing obesitas, seringkali pemilik malah menganggap kondisi itu lucu dan menggemaskan, padahal itu penyakit,” kata Elvinkan, mematahkan persepsi salah para pemilik hewan peliharaan selama ini.
Pada anjing dewasa, obesitas membikin sendi cedera. Pada anjing yang lebih kecil, obesitas menyebabkan mereka sulit bernapas. Bobot ekstra pada hewan peliharaan juga menambah risiko lebih tinggi untuk penyakit hati, ginjal, tekanan darah tinggi, gagal jantung, dan bahkan beberapa jenis kanker.
“Studi pada anjing Labrador menemukan bahwa anjing obesitas memiliki masa hidup lebih pendek daripada rekannya yang lebih ideal,” simpul para dokter hewan dari Amerika Serikat, seperti ditulis Susan Jenks dalam The New York Times.
Anjing dan kucing yang tumbuh dengan sangat cepat di awal kehidupan juga berpotensi mengalami obesitas. Demikian kata Dr. Alex German, profesor di Universitas Liverpool di Inggris. Namun, para ahli menyepakati, faktor pemicu utama penyakit ini terdapat pada makanan.
Evolusi Memakan Kotoran
Anjing yang sehat dapat dilihat dari ciri-ciri fisiknya yang bersih, mulai dari gigi, telinga, rambut, terhindar dari kutu dan jamur, serta aktif, lincah, dan nafsu makannya baik. Selain itu, status fisiologis seperti suhu tubuh, nadi, dan frekuensi napas berada di angka normal, dengan suhu tubuh 37,4-39,2 °C, pulsus 76-148 kali per menit, dan frekuensi napas 24-42 kali per menit.
Berat badan ideal pada anjing dapat dilihat dari penampakan tulang rusuk. Drh. Elvinkan menyampaikan tulang rusuk dan panggul anjing dengan berat ideal tidak akan terlihat menonjol, tapi masih terasa saat diraba. Sementara itu, anjing kurus terlihat dari tulang-tulangnya yang menonjol. Anjing yang mengalami obesitas tulangnya tersembunyi lemak, bahkan saat diraba pun sudah tidak terasa tonjolannya.
Selain menganggap obesitas sebagai hal menggemaskan, kesalahan lain yang juga lazim dilakukan adalah memberi makan anjing menggunakan menu sisa si pemilik hewan. Padahal, kebutuhan makanan anjing berbeda dengan manusia.
Protein adalah sumber makanan utama pada anjing karena hewan ini termasuk jenis karnivora. Disusul lemak, karbohdirat, vitamin dan mineral tertentu dalam makanan mereka. Protein berfungsi untuk pertumbuhan otot, sementara lemak dan karbohidrat untuk energi.
“Memberi makan anjing seadanya memang tidak akan membuat mereka mati, tetapi kualitas hidupnya berkurang, tidak happy,” ungkap Elvinkan.
Laman American Kennel Club (AKC) menjabarkan lebih lanjut faktor pemicu perilaku menyimpang ini, di antaranya lantaran stres atau cemas, terkurung atau terisolasi, mencari perhatian, bau, makanannya tercampur dengan kotoran, atau hidup dengan spesies yang sakit atau tua.
Jika ditelusuri lebih lanjut, koprofagia merupakan fenomena umum yang terjadi pada anjing. Penelitian pada 2012 yang dipimpin oleh Dr. Benjamin Hart, dari Universitas California, Davis, mencatat, 16 persen atau setara 1 dari 6 anjing dewasa memakan kotoran dengan frekuensi tinggi, yakni lima kali. Sementara 24 persen anjing dalam penelitian ini (satu dari empat) memakan kotoran setidaknya sekali.
“Kesimpulan kami, fenomena itu merupakan insting untuk melindungi anggota keluarga lain dari parasit usus dalam feses,” kata Hart.
Steven R. Lindsay dalam bukunya Handbook of Applied Dog Behavior and Training menambahkan bahwa anjing berevolusi sebagai “pemulung”. Mereka memakan apa pun yang ditemukan di jalan atau tumpukan sampah untuk bertahan hidup dan mengatasi kelaparan periodik. Dengan kata lain, ketika makanan langka, mereka tidak bisa pilih-pilih.
Koprofagia, misalnya, bisa membuat anjing jadi kurus dan kurang gizi. Kondisi tersebut akan bertambah buruk ketika anjing kurang enzim pencernaan karena mencegah nutrisi terserap tubuh.
Kemungkinan terburuk dari koprofagia adalah kematian akibat kelaparan. Perilaku memakan kotoran sendiri atau kotoran hewan lain dilakukan karena anjing berupaya menyeimbangkan defisiensi akibat diberi makanan kualitas rendah, atau porsi yang tidak mencukupi.
“Koprofagia biasa terjadi pada anjing kecil, karena perilaku meniru, tapi bisa juga karena stres, atau kekurangan makanan,” papar Elvinkan. "Berikan nutrisi makanan yang cukup, tidak berlebih tapi juga tidak kurang untuk mengatasi koprofagia dan obesitas."
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani