Menuju konten utama

Kontroversi RUU Perkoperasian yang Batal Disahkan DPR

Pengesahan RUU Perkoperasian ditunda dan dilimpahkan ke anggota DPR RI periode 2019-2024. Sejumlah poin di dalamnya dianggap masih bermasalah.

Kontroversi RUU Perkoperasian yang Batal Disahkan DPR
Sidang Paripurna DPR RI 2014-2019, Senin 30/9/2019. tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - RUU Perkoperasian resmi ditunda. Ini diputuskan dalam rapat paripurna terakhir di DPR RI periode 2014-2019, Senin (30/9/2019) siang, yang berlangsung tanpa interupsi dan perdebatan.

Draf regulasi yang diusulkan parlemen sejak empat tahun lalu itu kini dibenamkan ke dalam 'peti es' bersama empat rancangan regulasi lain: RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pengawasan Obat dan Makanan, serta RKUHP.

Anggota dewan sebetulnya sepakat mengesahkan RUU Perkoperasian dalam masa sidang tahun ini. Demikian pengakuan Ketua Panitia Kerja RUU Perkoperasian, Inas Nasrullah. Namun Kementerian Koperasi dan UKM tak sepakat, dengan alasan yang kurang tegas.

“Kalau suratnya itu, pemerintah bilang [usulan penundaan] atas nama masyarakat,” ucap Inas kepada reporter Tirto, Senin (30/9/2019).

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto mengapresiasi usulan pemerintah ini, meski alasan mereka kurang terang. Suroto bilang, penundaan diperlukan karena sejumlah pasal dalam RUU itu masih menyimpan sejumlah masalah.

Salah satunya adalah kehadiran Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang diamanatkan dalam Pasal 130 RUU. Karena merupakan kepanjangan tangan pemerintah--sifatnya wadah tunggal, kata Suroto, Dekopin kerap berseberangan dengan kepentingan koperasi yang dijalankan secara mandiri oleh masyarakat.

Saat MK membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang dinilai bermasalah, misalnya, Dekopin justru tampil membela peraturan ini habis-habisan.

“Ini kemunduran. Dekopin adalah bentuk monopoli politik,” ucap Suroto.

Dan itu bukan satu-satunya pasal yang dianggap bakal mengintervensi gerakan koperasi. Ada pula pasal lain seperti: penambahan birokrasi pendirian (Pasal 11), intervensi perencanaan kerja koperasi (Pasal 77-80), serta pengaturan alokasi hasil usaha koperasi (Pasal 87).

Ini semua bertentangan dengan Resolusi PBB No. 56/114 tahun 2001, Rekomendasi ILO 193/2002, serta sidang PBB di Afrika Selatan 2016 yang menegaskan koperasi sebagai 'gerakan otonom.'

Masalah lain terdapat dalam Pasal 82 huruf h dan Pasal 132. Pasal ini mengharuskan koperasi membayar iuran kepada Dekopin. Peraturan ini bermasalah karena Dekopin mendapatkan pendanaan dari APBN dan APBD seperti diatur Pasal 133.

RUU tersebut juga mengerdilkan koperasi secara sistematis. Sebab, dalam Pasal 122, pemerintah hanya mengakui koperasi sebagai badan hukum penerima penyisihan laba BUMN dan BUMD. Ketentuan tersebut membuat koperasi 'turun kelas' sebab mereka seharusnya bisa jadi alternatif Perseroan, Yayasan, maupun Perkumpulan.

Pasal 123 juga dinilai cacat karena koperasi hanya dilihat sebagai penerima kredit dari perbankan. Padahal, koperasi justru bisa bersaing dengan perbankan karena memiliki peran simpan-pinjam.

Hanya saja selama ini pemerintah lebih mengistimewakan bank dalam hal penyaluran kredit, seperti memberikan subsidi bunga, talangan (bail out), sampai fasilitas lembaga penjaminan.

“RUU ini sengaja mengerdilkan dan melempar koperasi keluar dari lintas bisnis modern. RUU ini harus dikoreksi secara mendasar,” tegas Suroto.

Berpotensi Digugat ke MK

Ketua Pengurus Keling Kumang Group dan praktisi koperasi, Mikael, meragukan niat pemerintah dan DPR untuk memperbaiki RUU Perkoperasian. Indikasinya sederhana: banyak pasal bermasalah dalam UU Perkoperasian sebelumnya--yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014--tetap dimasukkan.

“Seakan tidak belajar dari sejarah kelam legislasi tersebut,” ucap Mikael.

Lantaran itu, kata dia, sejumlah pegiat koperasi siap melakukan judicial review ke MK jika poin-poin yang mengerdilkan koperasi tak dihilangkan saat RUU tersebut disahkan.

“Saya dan teman-teman akan melakukan upaya hukum Ke MK, akan terus melawan karena UU Perkoperasian tidak mengakomodasi kepentingan koperasi,” ucap Mikael kepada reporter Tirto.

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Rully Indrawan sebetulnya mau RUU ini segera disahkan sebelum pimpinan DPR purnatugas.

Rully menyatakan kalau RUU ini perlu disahkan agar memberi kepastian hukum bagi koperasi. Terutama menggantikan UU No. 25 Tahun 1992 yang dinilai belum ramah pada era digitalisasi.

Ia bahkan menyebutkan kementerian sudah menyiapkan peraturan pemerintah sebagai turunannya.

“Jika kita memiliki UU, sama artinya memiliki back-up yang kuat untuk banyak hal,” ucap Rully seperti dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait RUU PERKOPERASIAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana