Menuju konten utama

Konflik Panjang Sri Mulyani dan Bakrie, dari Lapindo hingga BLBI

Dahulu Sri Mulyani mengundurkan diri karena tekanan politik yang berasal dari Bakrie. Sekarang SMI mengincar Bakrie untuk kesekian kali.

Konflik Panjang Sri Mulyani dan Bakrie, dari Lapindo hingga BLBI
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - “Aburizal Bakrie is not happy with me.”

Sri Mulyani Indrawati menggambarkan bagaimana hubungannya dengan Aburizal Bakrie pada 2009 lalu kepada Wall Street Journal. Ketika itu ia menjabat menteri keuangan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2005, posisi yang ditempati lagi di masa Joko Widodo mulai 2016. Sementara Ical, panggilan Aburizal, saat itu berstatus Ketua Umum Partai Golkar.

Dua tahun sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan hendak memaksimalkan pendapatan negara terutama dengan menggenjot perusahaan-perusahaan untuk melunasi pajak. Pekerjaan rumah agar hal itu dapat terjadi adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Menurutnya, perusahaan bisa santai tak melunasi pajak karena mereka terlibat kongkalikong dengan petugas.

“Saya harus membenahi kantor pajak dulu sebelum bisa menyalahkan pihak lain,” katanya. “Banyak orang [Indonesia] berpikir akan mudah untuk negosiasi [dengan petugas pajak] dan membayar suap.”

Dalam konteks itu, pada akhir 2009 Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkap tiga nama perusahaan tambang yang mengemplang pajak sampai Rp 2,1 triliun. Perusahaan tersebut adalah PT. Kaltim Prima Coal, PT. Bumi Resources Tbk., dan PT. Arutmin Indonesia, yang semuanya berada dalam naungan Bakrie Group. “Tekniknya bermacam-macam. Intinya tidak melaporkan penjualan sebenarnya, biayanya,” kata Tjiptardjo, mengutip Tempo.

Ada yang menduga temuan ini adalah serangan dari Sri Mulyani kepada Ical yang ketika itu sudah ramai diberitakan tengah berseteru. Sri Mulyani tidak mau berkomentar apa pun terkait temuan ini, sementara Tjiptardjo membantah dugaan tersebut. “Pisahkan dengan politik,” katanya.

Setahun sebelum ramai soal pengemplangan pajak, Sri Mulyani dan Ical juga berselisih tentang penjualan saham.

Ical, yang masuk dalam jajaran 40 orang terkaya Indonesia versi Forbes dengan harta 850 juta dolar AS saat itu, tiba-tiba kelimpungan karena terjadi krisis finansial skala dunia subprime mortgage yang berawal dari macetnya pembayaran perumahan di Amerika Serikat. Bursa saham di Indonesia terdampak, pun dengan salah satu perusahaan Bakrie Group, PT. Bumi Resources Tbk atau PT. BUMI. Saham mereka rontok, dari sekitar Rp8.000-an selembar menjadi hanya Rp425.

Perusahaan Bakrie lain juga terkena masalah, seperti PT. Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT. Bakrieland Development Tbk (ELTY), PT. Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP), PT. Bakrie Telecom Tbk (BTEL), dan PT. Energi Mega Persada Tbk (ENRG).

Sri Mulyani mengatakan Ical kesal karena dia menolak menutup perdagangan ketika harga saham Bakrie Group tengah jatuh. Ketika Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan akan membuka kembali perdagangan, ada intervensi dari pemerintah agar itu tidak terjadi. BEI enggan mengungkap siapa “pemerintah” yang melakukan campur tangan, tapi Sri Mulyani menyebut sosok itu tak lain adalah Ical.

Daftar keributan bertambah panjang ketika pada Agustus 2008 Departemen Keuangan meminta Imigrasi mencekal 14 pengusaha batu bara, termasuk petinggi di Grup Bakrie, karena menunggak pembayaran royalti kepada negara. Selama 7 tahun, utang itu mengendap hingga Rp3,9 triliun.

Masih pada tahun yang sama, Sri Mulyani yang ketika itu menjabat Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menolak manuver Bakrie yang hendak membeli 14% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Sri Mulyani memilih memprioritaskan perusahaan negara PT. Aneka Tambang untuk mendapat saham tersebut. Perusahaan itu tidak kuat menyetor modal dan pada akhirnya Bakrie berhasil mendapat 75% dari 14% saham tersebut.

Ditarik jauh ke belakang, pada 2006 Sri Mulyani sudah sedikit menyentil Ical karena kasus luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Sri Mulyani tidak mau uang negara digunakan untuk mengganti rugi kesalahan swasta. Pada akhirnya APBN 2006 memang disisihkan untuk membantu korban terdampak kelalaian tersebut, tapi tetap saja setidaknya Bakrie harus merogoh kocek Rp4 triliun.

Panas Dingin di Century

Di antara sekian banyak perseteruan, barangkali yang paling bernuansa politik adalah perkara Bank Century. Kasus ini juga bisa dibilang pukulan paling kuat dari kubu Bakrie kepada Sri Mulyani.

Bank Century yang bermasalah mendapat kucuran dana Rp6,7 triliun dari pemerintah karena dianggap jika tidak dibantu mereka bakal memberikan dampak sistematis terhadap perbankan. Sebagai Menkeu sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) kala itu, Sri Mulyani tentu berperan penting dalam menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistematis.

Keputusan tersebut belakangan membuat Sri Mulyani jadi bulan-bulanan para politikus. DPR kemudian membentuk panitia khusus (pansus) hak angket Century untuk investigasi lebih lanjut. Kebijakan ini dianggap keliru, sementara Sri Mulyani bersikeras itu “adalah benar untuk negara.”

Sri Mulyani heran karena dalam rapat kerja dengan DPR pada Februari 2009 kasus Century tidak dibahas sama sekali, tapi tiba-tiba saja dipermasalahkan pada Agustus 2009, sebelum rapat kerja lagi antara DPR dengan Kementerian Keuangan.

Menurut Sri Mulyani, pembentukan pansus adalah usaha lawan politik untuk menjungkalkan dirinya dari posisi Menteri Keuangan. Lebih jauh, Sri Mulyani menuding Ical, saat itu Ketua Umum Partai Golkar, adalah otak di balik pembentukan hak angket. Dalam konteks inilah pernyataan “Aburizal Bakrie is not happy with me” keluar. Dalam kesempatan yang sama dia juga mengatakan bahwa “tidak berharap seorang pun di Golkar akan adil atau baik kepada saya.”

Ada pihak yang menganggap bahwa pembentukan pansus memang hanya upaya Ical “membereskan masalah” bernama Sri Mulyani Indrawati. Sementara seorang politikus bilang “ Ical menyuruh menyerang Sri Mulyani dari belakang.”

Tempo mengungkap ada pertemuan antara Ical dengan Maruarar Sirait (PDIP), Bambang Soesatyo (Partai Golkar), Andi Rakhmat dan Misbakhun (PKS), Chandra Tirta Wijaya (PAN), Lily Wahid (PKB), Kurdi Moekri (PPP), dan Akbar Faisal (Partai Hanura). Sembilan orang ini, kata mereka, “yang sejak awal getol” menuding bahwa ada masalah dengan bailout Rp 6,7 triliun Bank Century. Semua yang hadir ditunjuk fraksi sebagai anggota pansus.

“Dalam pertemuan di rumahnya, Aburizal segera menegaskan dukungannya,” catat Tempo.

Ical tentu membantah semua tudingan. “Rumornya memang begitu, tapi itu cuma rumor. Yang jelas, kasus Bank Century adalah masalah nasional yang harus jelas kasusnya,” katanya. “Jadi tidak ada dendam. Itu cuma rumor.”

Sebelum pertemuan pansus, Tempo mencatat sebenarnya Presiden SBY meminta Sri Mulyani menemui Ical di kediamannya di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tujuannya agar Partai Golkar tidak memberikan dukungan terhadap pembentukan pansus. Seorang Politikus Partai Golkar, Harry Azhar, mengaku mendengar kabar bahwa SMI sampai mencium tangan Ical agar permintaan SBY terkabul.

Dipaksa Mundur Hingga Serangan Balik

Pansus Century akhirnya dibentuk pada 1 Desember 2009. Setelah pansus berjalan, DPR dan Ical mendorong agar Sri Mulyani diberhentikan sementara dari jabatannya. Tak heran jika asumsi bahwa semua ini hanya usaha politik “untuk mengusir dua teknokrat (SMI-Boediono)” semakin menguat. Dua orang itu punya banyak musuh di kalangan anggota DPR cum pebisnis.

Vishnu Juwono, kala itu asisten profesor bidang Administrasi Publik di Universitas Indonesia, mengatakan SBY selama periode pertama “menggunakan teknokrat sebagai proksi untuk membendung pengaruh oligark yang punya pengaruh politik dan menumbuhkan kredibilitas internasional bagi kebijakan ekonominya.”

Tapi SBY akhirnya harus memilih. Karena dekat dengan Ical, apalagi Partai Golkar adalah salah satu kekuatan politik besar di parlemen, SBY memilih mendepak Sri Mulyani. Detik melaporkan–berdasarkan sumber anonim dari Partai Golkar–SBY sepakat dengan Ical untuk mencopot Sri Mulyani. Posisinya kemungkinan akan diganti oleh Anggito Abimanyu–kendati pada akhirnya diganti oleh Agus Martowardojo.

Tapi secara resmi Sri Mulyani tidak dipecat. Ia menyatakan diri mundur untuk menerima jabatan baru sebagai salah satu Direktur Bank Dunia. Bertahun-tahun kemudian SBY mengatakan Sri Mulyani adalah “ekonom terbaik yang kita pinjamkan ke Bank Dunia.”

Posisi baru Sri Mulyani memang bergengsi, tapi bagi sebagian orang itu tetap saja merupakan bentuk kekalahan dan kematian kaum reformis. SMI dianggap sebagai simbol harapan agar negara lebih bertaji menagih pajak dari pengusaha-pengusaha yang selama ini mengemplang pajak.

Dalam tulisannya di WSJ, Hal Hill, profesor di Universitas Nasional Australia, menulis mundurnya Sri Mulyani bukan perkara sepele. “Itu menunjukkan kepada kita di mana kekuatan negeri ini berada,” katanya. Keresahan sebagian orang Indonesia yang kehilangan Sri Mulyani digambarkan dengan sangat baik oleh Hill. Baginya, “reformis macam Sri Mulyani sangat jarang di negara berkembang” dan “Indonesia akan lebih miskin karena kepergiannya.”

“Kaum reformis yang lain juga akan lebih berhati-hati. Mereka mungkin berkesimpulan: jangan mencari masalah dengan orang paling berpengaruh di Indonesia, terutama ketika kepentingan bisnis mereka ikut disenggol,” catat Hill lagi.

Setelah Sri Mulyani pergi, pengusutan kasus Bank Century tidak lagi berjalan intensif. Meski dalam laporan terakhir yang dibacakan pada Maret 2010 pansus menyimpulkan bahwa “mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono serta mantan Ketua KSSK Sri Mulyani serta pemilik dan manajemen Bank Century dipandang sebagai pejabat dan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus Bank Century,” kedua orang itu tak ada yang dituntut tanggung jawab.

KPK juga telah memproses kasus ini pada 2012 dan sempat memanggil Sri Mulyani, namun dia lolos dari segala tuduhan. Komisi antirasuah hanya menetapkan Budi Mulya selaku Deputi Gubernur BI Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa serta Siti Chalimah Fadjrijah sebagai Deputi Gubernur BI Bidang VI Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah sebagai tersangka. Kasus ini kemudian tak dilanjutkan lagi.

Terulang Kembali

Sejarah panjang konflik Sri Mulyani dengan Bakrie ternyata belum berakhir. Pada 2020, Sri Mulyani menagih utang PT. Lapindo milik Bakrie sebesar Rp 773,78 miliar.

Kemudian, belum lama ini, pada September 2021, giliran perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dijadikan alasan untuk menyasar keluarga Bakrie.

BLBI adalah bantuan dari pemerintah untuk bank yang mengalami masalah saat krisis moneter 1997-1998. Sebagaimana skema bantuan, uang tersebut haruslah dikembalikan ke negara. Tapi sampai sekarang belum juga dilunasi.

Satgas BLBI, yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021, baru-baru ini memanggil dua anggota keluarga Bakrie, yakni Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie, yang termasuk obligor (penerima utang) BLBI, untuk melunasi utang yang jumlahnya mencapai Rp22,7 miliar.

Dengan perkembangan terbaru ini, kita mungkin akan kembali melihat drama perseteruan antara kedua belah pihak untuk kesekian kali.

Baca juga artikel terkait SRI MULYANI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino