tirto.id - Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyebut adanya dugaan penghalangan penyidikan atau obstruction of justice dalam kasus pembunuhan dan mutilasi yang menewaskan 4 orang warga sipil di Mimika, Papua.
"Adanya berbagai upaya obstruction of Justice. Jadi ini ada upaya juga untuk menghilangkan barang bukti," ujar Beka dalam konferensi pers temuan awal Komnas HAM terkait kasus mutilasi di Mimika, Selasa, 20 September 2022.
Di tempat yang sama, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut pelaku sengaja memilih kekerasan dengan mutilasi untuk menghilangkan jejak.
"Pilihan kekerasan dengan mutilasi dari pelaku sengaja untuk menghilangkan jejak. Apalagi kalau dalam keterangannya yang kami dapat juga disiapkan batu untuk supaya jenazah tidak naik ke permukaan," ujar Anam.
Warga sipil bernama Arnold Lokbere, Anis Tini, Irian Narigi, dan Lemaniol Nirigi tewas dianiaya dan di mutilasi oleh enam personel Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo.
Berdasar versi aparat, Arnold dkk dipancing oleh pelaku untuk membeli senjata jenis AK-47 dan FN seharga Rp250 juta. Setelah korban dipastikan bersedia untuk transaksi senjata, para pelaku mengatur strategi dengan memancing korban untuk datang ke lahan kosong di SP I.
Di situlah keributan terjadi, sehingga korban diduga dianiaya di lahan sekitar musala sebelum dimutilasi.
Potongan tubuh dimasukkan ke dalam enam karung yang terbagi dari satu karung berisi kepala korban, satu karung berisi kaki, dan empat karung berisi badan. Karung-karung itu diisi pula oleh batu. Lantas karung itu dilempar ke Sungai Pigapu.
10 orang tersangka diduga terlibat dalam kasus ini. 6 orang di antaranya adalah anggota TNI yaitu Mayor Inf HF dan Kapten Inf DK, Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC dan Pratu R. Sedangkan, empat tersangka dari kalangan sipil yakni APL alias J, DU, R, dan RMH.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky