tirto.id - Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto mengakui, sudah menerima Surat Presiden (Surpres) mengenai kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Namun Supres tersebut dinilai belum lengkap karena tidak disertai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
"Surpres sudah keluar, empat hari lalu. Hanya saja belum disertai DIM," kata Sugeng saat dikonfirmasi Tirto, Kamis (22/9/2022).
Dia menjelaskan, Surpres diterima hanya mencantumkan kementerian dan lembaga yang akan terlibat dalam pembahasan RUU. Seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, KLHK, BUMN, Mendikbud Ristek, dan Kemenkumham.
Sugeng pun berharap penyelesaian tuntas RUU menjadi UU dilakukan sebelum G20 Summit akan berlangsung pada 16 November 2022. Karena hal ini menjadi legacy yang baik bagi Indonesia, di mana tema G20 adalah energi transisi.
Untuk diketahui, Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) ini sempat tertunda. RUU EBT ini dinilai penting dan strategis karena pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan mencapai 23 persen pada 2025, tapi hingga 2020 bauran EBT baru sekitar 11 persen, masih jauh dari target.
Pembahasan RUU EBT ini tergolong singkat sebab naskah akademik dan draf dibuat pada 25 Januari 2021. Selain itu, RUU EBT ternyata juga memuat soal Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan produk turunan batu bara, yaitu gasifikasi.
Dalam drat akademik terbaru, Pasal 9 ayat 1 draf RUU EBT memuat sumber energi baru adalah nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane/CBM), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Adapun EBT lain disebut dalam Pasal 30 draf RUU EBT. Sumber energi terbarukan, antara lain: panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian, limbah atau kotoran hewan ternak, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan sumber lainnya.
Sementara itu, Pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai kebijakan yang dirumuskan dalam RUU EBT cukup adil untuk memberikan kesempatan pada industri batu bara bertahan saat banyak negara sedang berusaha lepas dari batu bara, terutama untuk pembangkit listrik.
"Saya kira logis soal itu, memang industri ini [batu bara] kan kontribusinya cukup besar di dalam penerimaan devisa maupun dalam penciptaan nilai tambah. Saya kira ini solusi yang coba ditawarkan pemerintah karena bagaimana pun akan ada sikap tertentu di mana industri yang dulu sudah berkontribusi besar pada perekonomian akan terhambat," kata Komaidi kepada Tirto, Jumat (24/9/2021) lalu.
Menurut dia, selain soal isu energi ramah lingkungan, EBT juga harus mengakomodir kelanjutan atau kontinuitas industri yang sudah berjalan. Selama ini, batu bara termasuk komoditas dengan porsi sumbangan ke pemasukan negara cukup tinggi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 6 September 2021, realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara tembus Rp42,36 triliun.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin