tirto.id - Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan resmi mengamankan singgasana empuk di Ankara setelah 52 persen suara mendukungnya dalam pemilu Mei silam. Dengan ini, kekuasaannya diperkirakan bakal mencapai 25 tahun—terlama dalam satu abad lebih riwayat Republik Turki modern.
Politikus yang pernah menjajal karier pemain sepak bola semiprofesional ini pertama mencuri perhatian di lanskap politik Turki sebagai wali kota Istanbul pada pertengahan dekade 1990-an. Setelah itu semuanya tampak mulus. Dari mulai menjadi perdana menteri selama sepuluh tahun (2003-2014) hingga akhirnya menjabat presiden sepanjang tiga periode (2014-2028).
Tentu saja pertanyaannya adalah, mengapa Erdoğan bisa kembali menang?
Rekam Jejak yang Kacau: Ekonomi
Sebelum menjawab hal tersebut, patut dicatat terlebih dulu bagaimana sebenarnya situasi Turki ketika Erdoğan berkuasa.
Beberapa waktu menjelang pemilu presiden yang berlangsung hingga putaran kedua tersebut, tak sedikit pengamat dan pers menilai—jika bukan berharap—karier politik Erdoğan tengah berada di titik nadir sehingga berpotensi tersingkir selamanya. Media-media luar seperti The Guardian dan Wall Street Journal, misalnya, mengatakan politikus Justice and Development Party (AKP) tersebut tengah menghadapi “tantangan terbesar”, sementara CNBCmenulis “ujian terberat”. Erdoğan juga disebut oleh New York Timesmengalami “pemilu paling sengit” sepanjang kariernya.
Bukan hanya itu, selama masa kampanye, survei demi survei mewartakan Erdoğan terseok mengekor di belakang kandidat oposisi yang disokong oleh enam partai.
Situasi tersebut tak terlepas dari krisis ekonomi yang menghantui Turki bahkan selama sekian tahun belakangan. Media pendukung pasar bebas The Economist mengatakanErdoğan-lah penyebabnya. Dia disebut sudah “menyabotase ekonomi” dan bertanggung jawab atas kejatuhan nilai mata uang lira (kehilangan 90 persen nilainya terhadap dolar selama satu dekade terakhir), inflasi akut (pernah menembus 85,5 persen pada Oktober tahun lalu, sementara hari ini berkisar 40-an persen), dan kepergian para investor asing (lima tahun lalu mereka memiliki 64 persen ekuitas dan 25 persen obligasi Turki, sekarang persentasenya masing-masing hanya 29 persen dan 1 persen).
Economist menjelaskan bahwa ini ada kaitannya dengan pemahaman Erdoğan tentang keuangan Islam, terutama bahwa bunga bank adalah “dedengkot dari segala kejahatan” yang memicu inflasi dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi serta aktivitas pembangunan. Berdasarkan pemahaman itu, selama inflasi meroket, Erdoğan gigih mengintervensi bank sentral agar tidak menaikkan suku bunga. Tentu ini bertentangan dari prinsip independensi bank sentral. Selain itu, meningkatkan suku bunga adalah kebijakan ekonomi ortodoks yang lazim diambil bank-bank sentral di berbagai negara untuk meredakan krisis.
Seiring itu, bermunculan pula laporan tentang kesulitan sehari-hari masyarakat. Survei oleh Yöneylem Social Research Centre di Istanbul pada musim panas tahun lalu, misalnya, menjabarkan lebih dari 53 persen rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari; dan nyaris 70 persen warga kesulitan membeli makan.
Upaya Erdoğan meredam kekacauan ekonomi juga dianggap tambal sulam: sekadar meredakan gejala sakit yang bersifat sementara alih-alih menjalankan solusi jangka panjang.
Contoh untuk kritik yang disebut terakhir baru saja terjadi. Dia misalnya menjanjikan gas gratis untuk setiap rumah tangga selama setahun ke depan, seiring dengan tingginya biaya kebutuhan hidup. Janji tersebut dikatakan usai meresmikan megaproyek infrastruktur dan energi dari cadangan gas alam di Laut Hitam.
Sementara dalam rangka merespons lonjakan inflasi, pemerintah konsisten mendongkrak uang pensiun bulanan (dalam kurun kurang dari tiga tahun sudah dilipatgandakan berkali lipat menjadi 7.500 lira/Rp5,4 juta) dan upah minimum (menjadi 8.500 lira/Rp6 juta, nyaris setara median penghasilan nasional). Dia juga berjanji akan menaikkan kembali upah minimum setelah pemilu.
Pengkritik dan oposisi Erdoğan menilai Turki akan semakin sulit sembuh dari krisis jika terus-menerus mengikuti kebijakan moneter yang nyentrik seperti di atas.
Cengkeraman “One-man Rule”
Selain perkara ekonomi, gaya kepemimpinan yang sering dicap otoriter oleh pers Eropa dan AS juga disorot sebagai faktor yang berpotensi menjatuhkan dan menjauhkan Erdoğan dari publik Turki.
Jurnalis asal Turki sekaligus periset politik di Brookings Institution, Asli Aydintasbas, dalam kolom opini di Washington Post menilai ketidaksigapan pemerintah dalam menangani gempa bumi bulan Februari silam punya andil besar terhadap goyahnya popularitas Erdoğan. Aydintasbas mengaitkan karut-marut penanganan gempa yang menelan sampai 50 ribu korban jiwa itu dengan “one-man regime”—sentralisasi atau pemerintahan presidensial terpusat yang membuat birokrasi semakin kaku dan hierarkis.
Selama ini, menurut Aydintasbas, institusi-institusi pemerintah dipenuhi oleh loyalis Erdoğan yang tidak kompeten dan mustahil bergerak sebelum dapat sinyal hijau dari atasan tertinggi. Selama era Erdoğan pula, anggaran untuk badan penanggulangan bencana disunat dan Palang Merah Turki dikritik karena tata kelola yang buruk dan skandal lain.
Apa yang dilakukan Erdoğan selama ini, dari mulai mengubah demokrasi parlementer menjadi sistem kepresidenan “one-man rule”, memenjarakan lawan politik, dan menekan pers untuk melakukan sensor mandiri, diyakini mendorong Turki ke jurang otoritarianisme. Demikian menurut media Inggris berhaluan politik liberal Financial Times.
Mereka juga memandang prihatin hak-hak sipil lain. Bersama pendukungnya dari kelompok konservatif religius dan ultranasionalis, Erdoğan gencar menyerang kubu oposisi karena mendukung hak-hak minoritas LGBT dan akrab dengan komunitas Kurdi yang diasosiasikan dengan gerakan pemberontak dan teroris.
Majalah populer berhaluan kiri asal Jerman Der Spiegelbahkan terang-terangan menyamakan kemenangan kembali Erdoğan dengan malapetaka. “Setelah satu abad riwayatnya berdiri, Republik Turki berada di persimpangan jalan: jika Erdoğan kembali terpilih, kalangan pengamat pun khawatir dia bakal mengubah Turki jadi kediktatoran; dia bisa jadi penguasa seumur hidup, membubarkan pemilu.”
Pemimpin otoriter dan tidak demokratis memang jadi kata kunci yang paling sering digaungkan pers luar negeri terhadap negara berpopulasi 85 juta jiwa tersebut. Kritiknya akan terdengar semakin dramatis apabila yang dijadikan rujukan adalah indikator-indikator kebebasan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara.
Indikator yang sering dipakai berasal dari think tank berbasis di Washington, Freedom House. Mereka mengelompokkan Turki dalam grup “negara tidak bebas”.
Tentu saja ada indikator lain. Salah satu cerminan pemerintahan demokratis adalah pemilu masih tetap berlangsung dan sesuai undang-undang. Dan di Turki itulah yang terjadi. Maka, berdasarkan kategorisasi dari Economist Intelligence Unit, karakter Turki di bawah Erdoğan adalah ”rezim hibrida”: memiliki elemen demokratis dan otoriter pada waktu bersamaan.
Penting diingat juga bahwa pesta demokrasi di Turki selama ini disambut dengan antusias. Erdoğan terpilih dengan tingkat partisipasi yang konsisten tinggi (voter turnout pada pemilu presiden kemarin berkisar 84-87 persen, tidak berbeda jauh dari pemilu-pemilu sebelumnya).
Tidak heran jika penilaian media-media Barat tentang otoritarianisme Erdoğan dianggap berlebihan. Menurut analis politik Timur Tengah David Hearst dalam artikel opini di Middle East Eye, Turki memang perlu membangun institusi-institusi yang independen dan pemerintahan yang sehat, namun “kepresidenan Erdoğan yang cacat masih jauh lebih maju daripada negara-negara Arab yang pemimpinnya dengan arogan menganggap rakyatnya belum cukup dewasa atau belum siap untuk mengikuti pemilu bebas.”
Kenapa Masih Bisa Menang
Lantas, apa yang membuat Erdoğan kembali berhasil memenangkan pilpres untuk ketiga kali meskipun pemerintahannya dihujani kritik? Jurnalis dan penulis buku asal Turki yang kritis terhadap pemerintahan Erdoğan, Mustafa Akyol, berpendapat bahwa kemenangan Erdoğan tidak bisa dipisahkan dari ikatan yang berhasil ia jalin dengan basis sosiopolitik terbesar di Turki: kalangan konservatif religius.
Dalam artikelnya di Washington Post, Akyol menjelaskan bahwa kelompok tersebut sudah Erdoğan jejali dengan narasi besar bahwa dirinya tengah menggiring negeri kembali pada masa kejayaannya, termasuk mengangkat kejayaan kaum muslim Turki lagi.
Narasi pro-Erdoğan ini biasanya dimulai dari kisah tentang Kekaisaran Turki Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah yang pernah menguasai dunia namun jatuh setelah diserang bangsa Eropa dan para pembelot. Situasi bertambah pelik dengan pengekangan ekspresi beragama oleh kalangan sekuler yang mendominasi politik Turki sepanjang abad ke-20.
Erdoğan digambarkan sebagai penyelamat Turki dari segala kemunduran itu, dan dia sehari-hari dihadapkan dengan “musuh-musuh” seperti politikus oposisi, pengkritik dari spektrum liberal, elite kapitalis seperti George Soros, pengadilan Eropa, pemberontak Kurdi, sampai aktivis LGBT.
Masih mengutip Akyol, narasi kejayaan Turki senantiasa dihidupkan oleh Erdoğan melalui kegiatan pameran atau pawai megah yang mengundang decak kagum khalayak luas. Misalnya, di tengah-tengah aktivitas kampanye bulan lalu, ia meresmikan teknologi perang super canggih buatan anak bangsa: TCG Anadolu (diklaim sebagai kapal perang pertama di dunia yang bisa mengangkut unmanned combat aerial vehicle/ UCAV atau drone bersenjata) dan “pesawat tempur nasional” KAAN.
Citra negara yang maju, kuat, dan agamis juga Erdoğan cerminkan lewat penampilannya yang maskulin (berkacamata hitam, memakai seragam pilot pesawat jet untuk foto profil di Twitter) dan aktivitas beribadah (malam sebelum hari pemilu, dia melaksanakan salat di Hagia Sophia, situs budaya yang sejak 2020 dia fungsikan lagi sebagai masjid).
Narasi penuh percaya diri demikian terutama sangat berguna di tengah krisis ekonomi dan situasi keamanan serba tidak pasti, yang mendorong lahirnya kegelisahan atau kecemasan eksistensial di khalayak Turki.
Hal ini lebih lanjut dijelaskan oleh Gonul Tol, peneliti asal Turki di lembaga riset Middle East Institute sekaligus penulis buku Erdoğan's War: A Strongman's Struggle at Home and in Syria (2022). Dalam tulisannya di Foreign Policy, Tol mengungkapkan, “figur perkasa yang otoriter dan populis” seperti Erdoğan bisa bertahan di tengah situasi negara yang karut-marut dengan “mengeksploitasi kecemasan eksistensial rakyatnya.”
Situasi Turki memang diwarnai dengan paradoks. Sedari awal, administrasi Erdoğan sendiri mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkontribusi pada kegelisahan masyarakat. Seiring itu, ketakutan tersebut mereka olah untuk meraup suara, misalnya dengan cara membingkai oposisi sebagai alternatif yang tidak kompeten, tidak terorganisir, dan berbahaya sehingga tidak akan mampu menawarkan kestabilan dan keamanan yang didambakan masyarakat.
Ketakutan eksistensial rakyat Turki tidak terbatas pada masalah ekonomi sehari-hari. Masih ada rasa takut yang lahir dari gesekan historis antara orang Turki dengan orang etnis Kurdi—yang dicap oleh kubu Erdoğan sebagai ancaman terhadap keutuhan negara. Masyarakat Turki juga sudah memendam sentimen antimigran seiring derasnya aliran pengungsi Suriah—yang ditakutkan akan merebut kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Akhirnya, rakyat yang ketakutan pun memilih untuk menjalani keseharian di bawah kebijakan-kebijakan mengekang demi kestabilan dan keamanan yang sudah dijanjikan oleh Erdoğan. Masih mengutip Tol, di tengah situasi penuh ketidakpastian, orang-orang akan cenderung memilih tetap bersama dengan figur yang sudah dikenal, seburuk atau sejahat apa pun rekam jejaknya.
Mari tengok kembali hasil pilpres putaran pertama kemarin sebagai contoh. Dilansir dari The Guardian, Erdoğan menang dengan sukses di tujuh dari sebelas daerah terdampak gempa, padahal tak sedikit pakar yang memperkirakan pemilih suara konservatif di sana akan berhenti mendukung karena kecewa pada penanganan gempa yang lamban dan merebaknya korupsi di sektor konstruksi.
Rupanya, meskipun pemilih Erdoğan di sana mengakui dia punya kekurangan, mereka tidak mau ambil risiko dengan memilih oposisi yang belum pernah punya pengalaman memimpin dan belum tentu dapat memberikan solusi lebih baik. Kalut dan panik karena kehilangan tempat tinggal serta sanak saudara, para korban gempa terang saja memilih Erdoğan yang menjanjikan pembangunan rumah dalam kurun satu tahun. Toh dia selama ini terbukti mampu mewujudkan proyek-proyek besar di sektor pembangunan, juga energi dan pertahanan.
Tidak bisa dimungkiri, pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintahan Erdoğan masih kecewa dan heran dengan hasil pilpres.
Di sisi lain, Erdoğan sendiri tampaknya mulai sadar harus segera membuat gebrakan pada periode kepresidenan yang ketiga (dan mungkin juga yang terakhir). Kini, dia tidak punya pilihan selain mencoba bersikap pragmatis dan rasional untuk mengatasi karut-marut ekonomi yang sudah terlanjur akut.
Awal Juni ini, Erdoğan menunjuk Hafize Gaye Erkan, bankir muda didikan AS yang pernah berkarier di raksasa perbankan Goldman Sachs dan First Republic, sebagai gubernur bank sentral. Perempuan pertama yang memangku jabatan tersebut akan menggantikan pendahulunya yang tidak punya cukup daya tawar untuk melawan tekanan Erdogan untuk memangkas tingkat suku bunga secara besar-besaran.
Erdoğan juga memberikan posisi Menteri Keuangan pada Mehmet Şimşek, mantan wakil perdana menteri yang akrab dengan komunitas investor luar negeri, sementara Cevdet Yilmaz, politikus pendukung kebijakan ekonomi ortodoks, diminta mendampinginya sebagai wakil presiden.
Keputusan Erdoğan untuk mempekerjakan tokoh-tokoh yang condong pada arah kebijakan ekonomi lebih konvensional tersebut tentu perlu diacungi jempol. Namun, bagaimana nanti implementasinya, mari kita saksikan saja lima tahun ke depan.
Editor: Rio Apinino