tirto.id - (Artikel sebelumnya: Karut-marut Respons Gempa Turki & Sentralisasi Kekuasaan Erdogan)
Pengamat menilai bahwa kehancuran dahsyat dan banyaknya korban jiwa pada gempa Turki 6 Februari lalu bisa dicegah apabila gedung-gedung dibangun sesuai standar keamanan. Pada waktu sama, apartemen bertingkat tinggi dan infrastruktur yang luluh lantak dipandang mencerminkan problem struktural yang menjangkiti birokrasi Turki selama sekian dekade, terutama di bawah administrasi Presiden Recep Tayyip Erdoğan.
Di samping bermasalah karena pengawasannya kurang ketat, industri konstruksi Turki juga lekat dengan praktik korupsi. Nama Erdoğan sendiri ikut tercoreng karena orang-orang terdekatnya dituduh menerima suap dari pengembang agar kontraknya dimenangkan atau dapat terhindar dari aturan hukum rumit terkait tata rencana pembangunan.
Problem di Sektor Konstruksi
Penulis yang berbasis di Istanbul Kaya Genç menyatakan di The Times bahwa naiknya Erdoğan ke tampuk kekuasaan beriringan dengan popularitas sektor infrastruktur. Proyek pembangunan besar-besaran pun menjadi andalan pemerintahan Erdoğan dan partainya, AKP, untuk menjungkit kemakmuran dan kesejahteraan warga lewat pembukaan lapangan kerja serta peningkatan ekonomi.
Begitu derasnya aliran uang dalam bisnis konstruksi sampai-sampai muncul pepatah “batu dan tanah di Istanbul adalah emas”. Istanbul adalah kota historis, sentra bisnis, dan simbol modernisasi Turki.
Bersamaan dengan itu kemudian muncul malapraktik. Malapraktik yang lazim dilakukan pengembang adalah memotong kolom penyangga beban saat membangun ruang kantor (untuk bank atau pertokoan) di lantai dasar hunian apartemen. Ditemukan juga praktik renovasi tidak berizin untuk mengubah bangunan aman jadi berbahaya. Temuan lain mengungkap separuh bangunan di Turki melanggar aturan seismik atau keamanan dari gempa (data tahun 2020 dari Kementerian Lingkungan dan Perkotaan).
Namun pemerintah justru memberikan para pengembang nakal “amnesti rekonstruksi”. Ini adalah keringanan alias ampunan bagi para pengembang yang membangun gedung secara ilegal maupun tanpa struktur berlisensi. Pengembang nakal yang dimaafkan pemerintah kemudian harus mengisi formulir khusus dan membayar denda.
Amnesti rekonstruksi sebenarnya sudah diterapkan sejak negara modern Turki berdiri pada 1923. Selama satu abad pemerintahan, 23 kali amnesti sudah diselenggarakan. Lebih dari sepertiganya diterbitkan selama Erdoğan berkuasa. Ketika amnesti terakhir dibuka pada 2018 silam, persis sebelum pemilihan presiden dan parlemen, sebanyak 7,5 juta bangunan mendapatkan ampunan.
Bangunan yang rusak karena gempa lalu banyak yang terdaftar mengikuti program ini. Sedikitnya 75 ribu gedung bangunan di 10 provinsi terdampak sudah menerima ampunan dari pemerintah, demikian tutur Pelin Pınar Giritlioğlu, ketua serikat teknik dan arsitektur Istanbul, kepada The Guardian.
Meskipun jelas terdapat potensi bahaya tinggi, kelonggaran tetap dipertimbangan pemerintah terutama menjelang pemilu. Beberapa hari sebelum gempa Kahramanmaraş, hanya beberapa bulan sebelum pemilu berlangsung pada Mei atau Juni nanti, media Turki melaporkan bahwa ada wacana amnesti akan diselenggarakan lagi. Mungkin tujuannya agar saat pemilu nanti muncul dukungan dari pengusaha (yang bisnisnya sudah dilancarkan) maupun publik (yang diberi kemudahan mengakses beragam opsi bangunan tempat tinggal). Selain itu juga uang denda mampu menambah pemasukan pemerintah.
Meski jelas bahwa kerusakan akibat gempa mustahil dipisahkan dari andil pemerintah, administrasi Erdoğan justru mengambinghitamkan para kontraktor dan pengembang. Selama enam hari pascagempa, ratusan kantor jaksa daerah dikerahkan untuk mengidentifikasi lebih dari 130 kontraktor yang dicurigai melanggar kode keamanan saat membangun gedung.
Memperkaya Sekutu Erdoğan
Pada akhir 2013 silam, polisi pernah menahan 24 orang berlatar belakang pengusaha, staf pemerintah, pemimpin bank BUMN, sampai anak-anak dari tiga menteri di kabinet Erdoğan atas dugaan korupsi. Menteri-menteri tersebut mengundurkan diri—salah satunya bahkan menyuruh Erdoğan ikut mundur.
Ketika itu oposisi menggunakan isu ini untuk menyerang pemerintah. Partai sekuler tengah-kiri Republican People’s Party (CHP) menuding bahwa Erdoğan dan AKP sudah memperkaya pengusaha di lingkarannya, tepatnya dengan menghadiahi mereka beragam proyek pembangunan.
Tahun lalu hal serupa dianggap terjadi lagi. Ketika itu Ketua CHP Kemal Kılıçdaroğlu menuduh administrasi Erdoğan sengaja membatalkan keputusan soal pemenang tender dalam sebuah proyek pembangunan kereta. Alasannya, entitas tersebut tidak termasuk dalam jaringan lima raksasa industri konstruksi “Geng Lima” “Geng Lima” inilah yang dilaporkan rutin memenangkan tender untuk proyek-proyek besar pemerintah semenjak Erdoğan dan AKP berkuasa.
Kelak proyek diberikan kepada Kalyon Construction dengan nilai kontrak enam miliar lira lebih tinggi. Kalyon adalah bagian dari “Geng Lima” bersama Limak Holding, Cengiz Holding, Kolin Construction, dan MNG Holding.
Meskipun menjadi favorit administrasi Erdoğan dan AKP, raksasa industri ini juga dikritik karena tidak mampu mengatasi masalah pada infrastruktur sendiri. Salah satunya terjadi di daerah pegunungan Isparta yang warganya dibiarkan hidup tanpa listrik berminggu-minggu akibat badai salju pada Maret 2022. Infrastruktur listrik di kawasan yang dipimpin oleh politikus AKP itu sudah diprivatisasi sejak 2013 oleh anak perusahaan Cengiz dan Kolin.
Selama AKP berkuasa pada 2002-2020, perusahaan Cengiz sudah mengantongi tender dari proyek pemerintah senilai 42 miliar dolar AS (sekitar Rp630 triliun) dan diikutsertakan dalam megaproyek bandara baru yang kontroversial di Istanbul.
Salah satu CEO-nya, Mehmet Cengiz, merupakan kawan dekat Erdoğan sekaligus termasuk orang terkaya di Turki (yang namanya tercatat di Panama Papers).
[infog]
Masa Depan Erdoğan
Gempa bermagnitudo 7,8 pada akhirnya mungkin akan sangat memengaruhi politik Turki, apalagi terjadi pula kekacauan ekonomi dengan anjloknya nilai lira dan inflasi yang meroket sampai 85 persen.
Tindak tanduk Erdoğan, dari mulai kepemimpinan selama darurat bencana sampai relasi mesra dengan perusahaan konstruksi selama ini, akan semakin diawasi dan dikritisi oleh publik. Ada kemungkinan pula dukungan suara untuk AKP tergerus dalam pemilu mendatang.
Situasi yang dialami Erdoğan sekarang mengingatkan pada peristiwa tahun 1999 lalu, yaitu ketika gempa di Provinsi Kocaeli merenggut 17 ribu korban jiwa. Pemerintah berkuasa kala itu, Perdana Menteri Bülent Ecevit dari partai Kemalis Democratic Left Party, dinilai gagal mengatasi karut-marut. Akhirnya popularitasnya merosot tajam. Peluang tersebut lantas dimanfaatkan oleh Erdoğan yang mengampanyekan pemerintahan antikorupsi dan lebih efisien oleh partai baru AKP. AKP berhasil. Mereka menang dalam pemilu pertama.
Memang, di satu sisi, kekuasaan Erdoğan selama dua dekade sudah mengakar kuat dan menjadikannya figur Superman yang sulit sekali ditandingi. Namun Enam partai dari kubu oposisi telah memutuskan untuk bersatu dan mengajukan kandidat tunggal—yang namanya sampai sekarang belum diumumkan.
Kali ini, mungkinkah Erdoğan akan bernasib sama seperti Ecevit?
Editor: Rio Apinino