Menuju konten utama
Perppu KPK Belum Diterbitkan

Koalisi Save KPK: Ada yang Salah dengan Hati Presiden

Presiden Jokowi belum juga menerbitkan Perppu KPK di tengah desakan masyarakat.

Koalisi Save KPK: Ada yang Salah dengan Hati Presiden
Mahasiswa dan pelajar melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/9/2019). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/wsj.

tirto.id - Presiden Joko Widodo berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pembatalan UU KPK hasil revisi. Namun hingga kini produk pemerintah itu belum juga dikeluarkan.

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Perppu bisa diterbitkan "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa." Penilaian adanya unsur kegentingan bergantung pada subjektif presiden.

Artinya Joko Widodo bisa mengeluarkan Perppu berdasarkan keputusannya. Koalisi Save KPK menanggapi ihwal kegentingan yang memaksa. Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur berpendapat selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo, hampir tidak ada desakan sebesar ini dari masyarakat.

"Kampus-kampus turun ke jalan, ribuan dosen membuat pernyataan. Ini menandakan ada sebuah desakan yang luar biasa, kegentingan rasa. Kegentingan dan kegeraman yang ada di masyarakat menambah desakan [penerbitan Perppu]," ucap Isnur di kantor YLBHI, Minggu (6/10/2019).

Jika presiden tidak percaya dengan tokoh-tokoh yang selama ini sebagian besar mendukung dia, maka Joko Widodo bisa lakukan dengan sistemnya sendiri yang dia percaya. "Jangan sampai dia dibohongi anak buahnya, [seolah] asal bapak senang," sambung Isnur.

Gelombang penolakan UU KPK terjadi hingga membuat mahasiswa meninggal, luka-luka, ditangkap, dipukuli. Selain itu ribuan tanda tangan dosen bahkan tokoh-tokoh datang bertemu dengan presiden dengan menggunakan kursi roda untuk mengetuk hati presiden.

"Apakah itu belum cukup bagi Presiden untuk merasakan suasana kebatinan rakyat? Ini penting bagi Jokowi sebagai simbol yang dipilih masyarakat," kata Isnur.

Begitu juga media yang memberitakan soal UU KPK. "Bagi saya itu lebih dari cukup. Selaiknya itu kalau istilah 'kepala sudah merah'. Kalau sampai dia tidak merasa, berarti ada yang salah dengan hati dan kepalanya," tegas Isnur.

Sementara itu, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, menyatakan ada masalah hukum pascarevisi UU KPK yakni kewenangan lembaga antirasuah itu lemah, penanganan pemberantasan korupsi terancam lambat.

"Masalah hukum itu harus diselesaikan dengan UU. UU KPK ini adalah kuncinya dan kewenangan KPK ada di UU ini. Bagaimana cara menyelesaikannya? Harus menggunakan UU lagi untuk mencabut UU yang baru disahkan oleh DPR," ujar Fajri.

Selain itu kata Fajri saat ini juga muncul kekhawatiran anggota DPR yang baru dilantik akan lamban bekerja. Hal itu menurutnya terbukti dari pengalaman lima tahun lalu. Anggota DPR baru bisa aktif membentuk UU pada Februari tahun berikutnya.

"Jadi ada waktu menunggu sampai berbulan-bulan, sedangkan UU KPK sudah akan diundangkan 17 Oktober nanti," kata dia.

"Ini kegentingan yang dipotret oleh kami, berbasis pada subjektivitas presiden untuk menentukan dan objektivitas yang sudah ditentukan oleh MK melalui syarat. Ini memenuhi ihwal kegentingan yang memaksa," ujar Fajri.

Penerbitan Perppu, apa pun itu, adalah kewenangan presiden yang tidak bertentangan dengan hukum, juga konstitusi. Joko Widodo pernah mengeluarkan Perppu Ormas yang tidak berakibat hukum kepada yang bersangkutan, padahal ketika itu situasinya tidak segenting sekarang.

Presiden berencana berkomunikasi dengan DPR perihal legislative review. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menyatakan upaya legislative review semestinya sudah selesai ketika pemerintah dan DPR membahas UU KPK.

"Kalau ada pihak-pihak dari kalangan parpol mengoreksi tindakan presiden, itu merupakan pandangan yang keliru. Karena Perppu itu diatur di dalam UUD, di strata pertama dan hierarki presiden. Sebenarnya nanti akan diperiksa kembali oleh presiden, apakah ini akan ditolak atau diterima," ucap Kurnia.

Ia menegaskan tidak ada pihak yang bisa mencampuri Perppu lantaran itu hak prerogatif Joko Widodo. "Karena nanti ada review lagi dari presiden, menolak atau menerima. Jadi tidak ada masalah.

Baca juga artikel terkait PERPPU KPK atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Irwan Syambudi