tirto.id - Bukan hanya Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang unggul, setidaknya menurut versi empat lembaga survey (Charta Politika, CSIS, SMRC, hingga Indikator), tapi juga para partai pendukungnya. Mereka diprediksi menguasai parlemen.
Per Kamis (18/4/2019) pukul 10.00 WIB, survei Indikator menunjukkan hanya ada sembilan partai yang lolos ke Senayan--memenuhi ambang batas parlemen 4 persen. Lima di antaranya adalah partai koalisi Jokowi-Maruf. PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP lolos dengan total perolehan suara mencapai 54,5 persen.
Sedangkan sisanya adalah penyokong Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN diprediksi lolos dengan total perolehan suara 35,49 persen.
Lembaga survei lain seperti SMRC, Charta Politika, dan Cyrus menunjukkan hasil serupa: hanya 9 partai lolos, yang komposisinya sama seperti temuan Indikator.
Modal Positif
Jika formasi koalisi tak berubah (misalnya ada partai pendukung Prabowo yang merapat ke Jokowi dan vice versa), maka pada 2019-2024 nanti nampaknya relasi pemerintah dan legislatif akan baik-baik saja, setidaknya jika dibanding 2014, ketika Jokowi pertama kali memimpin.
Ketika itu partai yang menyokong Prabowo, Koalisi Merah Putih (KMP), bahkan mampu menguasai parlemen (meski kemudian perlahan bubar dan peta politik berubah). Saat itu relasi pemerintah-DPR tak bisa dibilang baik. Bahkan ada isu KMP ingin menjegal pelantikan Jokowi sebagai Presiden ke-7 Indonesia.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Jakarta, Gun Gun Heryanto, mengatakan start Jokowi tahun ini--jika memang menang pilpres--akan lebih baik. Hasil pileg juga positif bagi Jokowi. Dia, misalnya, akan lebih gampang mengumpulkan dukungan politik untuk merealisasikan janji kampanye.
“Dia (Jokowi) bisa memuluskan agendanya. Biasanya gara-gara sistem presidensial dan multipartai, presiden jadi tersandera DPR,” kata Gun Gun saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis (18/4/2019) siang.
Kabinet juga dapat lebih bekerja secara optimal, kata Gun Gun, sebab kursi-kursi seperti di kementerian tak mesti ditawarkan ke politikus oposisi--praktik yang lazim diterapkan untuk membuat oposisi berbalik mendukung.
“Contoh 2014 itu pemerintah terbelah. Eksekutif di Jokowi dan legisatif dipegang Prabowo,” tambah Gun Gun.
Melempem
Kendati demikian, Gun Gun mengingatkan bahwa tetap ada risiko dari hasil ini. Salah satunya adalah perkara kontrol: jika mayoritas partai di parlemen menyokong Jokowi, bisakah mereka kritis ke pemerintah?
“Mereka terlalu memberikan dukungan dan tak mengindahkan kontrol. Jadi tidak bagus untuk check and balance,” terang Gun Gun.
Direktur Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, mengatakan hal serupa. Bahwa hasil pilpres dan pileg akan menguntungkan Jokowi sekaligus membuka kemungkinan mekanisme kontrol antar instansi jadi lembek.
“Demokrasi yang sehat itu ada check and balance. Mengharuskan ada oposisi yang kuat dan kritis,” kata Ujang kepada reporter Tirto.
Ujang pun mengingatkan Jokowi dan koalisinya untuk tak sekali-kali menarik partai oposisi ke dalam kekuasaan. Ia meminta agar oposisi dibiarkan saja untuk menjalankan fungsi kontrol.
“Ini untuk mengimbangi kekuatan pemerintah. Jadi jangan sampai oposisi ditarik ke kekuasaan. Biarkan saja,” pungkasnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino