Menuju konten utama
10 Tahun Gerindra

Gerindra dan Puing-Puing Koalisi Oposisi

Meski di tingkat nasional tampil sebagai oposisi pemerintahan Jokowi, Gerindra dan PDI Perjuangan ternyata mesra di 48 wilayah pilkada.

Gerindra dan Puing-Puing Koalisi Oposisi
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) menunggang kuda disela-sela pertemuan di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor, Senin (31/10). Pertemuan tersebut dalam rangka silaturahmi sekaligus membahas masalah bangsa, politik dan ekonomi. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Suatu hari di bulan November 2007. Fadli Zon dan Hashim Djojohadikusumo pergi bersama menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.

Keduanya terlibat perbincangan yang isinya tidak jauh soal kondisi politik Indonesia pada waktu itu. Baik Fadli maupun Hashim berkesimpulan bahwa demokrasi Indonesia tengah dibajak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan memiliki modal besar. Perbincangan itu pun bermuara keinginan Hashim untuk membuat partai baru.

Laman resmi Gerindra menyebutkan, sebulan kemudian, pada Desember 2007, Fadli Zon bersama Ahmad Muzani, M. Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi dan Haris Bobihoe membahas anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai baru tersebut di kantor IPS (Institute for Policy Studies), Jakarta.

Awalnya, partai baru itu bakal dinamakan Partai Indonesia Raya (Parindra). Menurut David Bourchier dalam Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2014), kakek Hashim, Margono Djojohadikusumo, adalah salah satu pendiri partai tersebut.

Namun, Hashim punya gagasan lain, yaitu menambahkan kata “gerakan” sehingga ia bernama partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Pada 6 Februari 2008, tepat 10 tahun lalu, Gerindra dideklarasikan secara resmi. Ketua Umum Gerindra dijabat Suhardi, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang sempat mendirikan Partai Kemakmuran Tani dan Nelayan pada 2003.

Kini, salah satu sosok yang lekat betul dengan Gerindra adalah Prabowo Subianto (kakak kandung Hashim). Dia menjadi anggota Gerindra sejak 12 Juli 2008. Sebelumnya, Prabowo masih menjadi pembina partai Golkar. Prabowo kemudian menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Pada 2009, partai duo Djojohadikusumo ini berkoalisi dengan PDI Perjuangan, menyokong Megawati dan Prabowo sebagai capres-cawapres. Hasilnya kita tahu: SBY bersama Boediono tampil sebagai pemenang. PDI dan Gerindra pun menjadi oposisi pemerintah di parlemen.

Lima tahun kemudian, sebulan setelah perhitungan KPU menunjukkan Jokowi akan segera menjadi Presiden Indonesia, Ketua Umum Suhardi meninggal pada Agustus 2014. Alhasil, Kongres Luar Biasa Gerindra menetapkan Prabowo Subianto sebagai ketua umum, merangkap jabatan ketua dewan pembina partai.

Lika-liku Gerindra

Ditinjau dari segi waktu, Gerindra didirikan setahun sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Waktu yang relatif singkat bagi partai baru untuk dapat mempromosikan gagasan dan tokoh partai.

Namun, Gerindra mendapat 4.646.406 suara dalam pemilu tersebut atau 4,46 persen total pemilih dan menjadikan Gerindra bercokol di peringkat ke-9 klasemen perolehan suara partai.

Hasil yang didapatkan Gerindra itu tidak lepas dari dana iklan yang mereka habiskan. Menurut data konsultan periklanan AC Nielsen, Firmansyah dalam Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik, hingga Februari 2009 Gerindra menggelontorkan Rp46.782 miliar.

Data Susi Kusumawardhani dalam “Political Campaign Tranforms Politician into Celebrity: A Study of Semiotics on Prabowo Subianto’s Television Advertisement” juga bisa ditengok. Pada pertengahan 2008, saat partai lainnya masih dalam tahap perencanaan kampanye, Gerindra sudah mulai membanjiri publik Indonesia dengan iklan-iklan di televisi.

“Dalam setiap iklan itu, Gerindra selalu meletakkan nama Prabowo di bagian pembuka dan penutup. Iklan itu secara jelas menekankan kepada sosok Prabowo Subianto dan partai baru bernama Gerindra. Dia disebut dua kali, di awal dan akhir. Itu memberi tahu masyarakat bahwa kembalinya Prabowo ke arena politik menggunakan Gerindra sebagai kendaraan politiknya,” sebut Susi.

Pada tahun itu pula, Prabowo mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri. Keduanya didukung koalisi Gerindra dan PDI Perjuangan. Namun, pasangan mereka kalah dengan perolehan suara nasional sebesar 26,7 persen.

Lima tahun kemudian, Gerindra kembali masuk ke gelanggang elektoral. Dalam Pileg 2014, Gerindra mendapat 14.760.371 suara (11,81 persen). Angka tersebut membuat Gerindra menduduki peringkat ke-3 partai dengan suara terbanyak.

Dengan modal itu, Prabowo kembali maju dalam Pilpres 2014. Bedanya, Prabowo kini mencalonkan diri menjadi presiden dengan didampingi politisi PAN, Hatta Rajasa. Keduanya didukung Koalisi Merah Putih yang terdiri dari partai Gerindra, PAN, PKS, Golkar, PPP, dan PBB.

Kali ini, Prabowo mesti berseberangan dengan Megawati, rekan elektoralnya pada 2009. Dalam Pilpres 2014, Prabowo-Hatta harus melawan Jokowi-Jusuf Kalla yang didukung Koalisi Indonesia Hebat yang terdiri dari partai PDI, Hanura, Nasdem, PKPI, dan PKB.

Namun, Prabowo lagi-lagi menelan pil pahit. Ia kalah dengan perolehan suara 46,85 persen. Sementara Jokowi melenggang sebagai presiden, Prabowo menjadikan KMP sebagai koalisi partai oposisi pemerintah Jokowi.

"Gerindra, saat ini, memeroleh dukungan utama karena peran Prabowo. Dia menjadi magnet dan simbol oposisi Pemerintah," ujar Sirajuddin Abbas, peneliti politik dari Saiful Muljani Research Center (SMRC), kepada Tirto, Senin (5/1).

Koalisi yang Sepi

Saat berkunjung ke Tirto, Rabu (31/1), politikus pendiri PKS, Fahri Hamzah, mengatakan awalnya dia membayangkan KMP sebagai koalisi permanen. Pernyataan Fahri itu didukung fakta bahwa pada 8 Juli 2014—sehari menjelang pemungutan suara—para partai pendukung Prabowo-Hatta tersebut mendeklarasikan koalisi permanen yang berjanji akan selalu bersama, satu suara dan satu sikap termasuk dalam menjalankan fungsi legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Demikian komitmen ini kami sampaikan dalam rangka memperkuat koalisi permanen DPR RI periode 2014-2019 dalam rangka mendorong pembangunan bangsa dan negara," kata juru bicara koalisi permanen yang juga politisi PAN, Tjatur Sapto Edy, seperti dilansir dari Antara.

Namun, mimpi koalisi permanen itu urung terwujud. Satu per satu partai berpaling dari KMP. Sekarang, PAN, PPP, dan Golkar adalah bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah. Kader ketiga partai itu pun sekarang bercokol sebagai menteri di Kabinet Kerja bentukan Jokowi-JK, misalnya Menteri PAN-RB Asman Abnur (PAN), Menteri Agama Lukman Saifudin (PPP), Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto (Golkar), dan Menteri Sosial Idrus Marham (Golkar).

PKS menunjukkan sikap lain. Pada Desember 2015, Ketua Umum PKS Sohibul Imam mengatakan PKS tetap berada di KMP.

"Prinsip dasar di KMP, kami PKS tetap berada di KMP. Saya selalu mengatakan PKS adalah oposisi loyal. Kami tidak berada di pemerintah tapi kami loyal pada kepentingan bangsa dan negara," kata Sohibul, seperti dilansir Antara.

Sementara itu, pada Februari 2016, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani mengatakan KMP bubar secara de facto.

"KMP yang dulu mengusung menjadi kekuatan ekstra mengontrol pemerintah, sekarang hampir setahun setengah satu per satu keluar, karena itu de facto KMP sudah bubar," ujar Ahmad, seperti dikutip Merdeka.

Palagan Gerindra dan PKS

Otomatis, sekarang hanya Gerindra dan PKS yang menjadi partai oposisi di parlemen. Itu terlihat dari kekompakan mereka menolak Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang menetapkan presidential threshold sebesar 20 persen. Keduanya juga menolak Peraturan Pengganti Undang-undang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas). Lalu, Gerindra dan PKS menolak pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket KPK.

Keduanya juga mesra mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Hasilnya, paslon tersebut menang mengalahkan paslon Ahok-Djarot yang didukung PDIP. Kemenangan itu disebut dapat mengantarkan Prabowo menuju kursi presiden di Pilpres 2019.

Infografik Gerindra

Namun, peneliti politik dari CSIS Arya Fernandez mengatakan sikap oposisi yang diambil Gerindra sebetulnya tidak menguntungkan bagi partai berlambang kepala burung garuda tersebut karena tingkat penerimaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi tinggi. Selain itu, Arya juga tidak melihat sikap oposisi yang ditunjukkan Gerindra.

“Kalau untuk RUU Pemilu itu semangat oposisi untuk survive saja. Oposisi terhadap Perppu Ormas juga dilakukan [Gerindra] untuk menjaga suara konstituen. Itu karena basis pemilih Gerindra menolak [RUU] itu,” ujar Arya kepada Tirto, Senin (5/1).

Sementara itu, Sirajuddin Abbas menilai peluang kemenangan Prabowo di Pilpres 2019 kecil.

“Kalau dia bakal maju menjadi calon presiden melawan Jokowi, peluang dia menang itu kecil sekali. Saya kira Prabowo akan realistis. Kalau peluangnya kecil, dia bakal menyerahkan kekuasaan itu kepada orang lain. Atau, mencari cara lain, misalnya bergabung dengan Jokowi menjadi calon wakil presiden. Kenapa tidak?” ujar Sirajuddin kepada Tirto.

Ihwal jargon “Anies-Sandi menang, Prabowo presiden”, Arya mengatakan Pilkada DKI 2017 tidak mencerminkan kondisi politik nasional. Menurutnya, koalisi partai dalam pilkada di berbagai daerah bersifat cair.

“Kita lihat juga kecenderungannya koalisi antar partai yang lebih cair. Tidak ngeblok,” ujar Arya.

Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Gerindra berkoalisi dengan PDIP di 48 wilayah Pilkada 2018. Sedangkan PKS dan PDI Perjuangan mengusung paslon yang sama di 33 wilayah Pilkada 2018.

Sebelumnya, dalam Pilkada 2017, Gerindra dan PDIP berkoalisi di 26 wilayah, sedangkan PKS dan Gerindra berkoalisi di 24 wilayah. Jadi, keterbelahan kubu yang amat terlihat saat Pilpres 2014 tidak menjalar hingga ke daerah-daerah.

“Mungkin bisa digunakan untuk memanaskan mesin partai. Namun, belum tentu merefleksikan penguasaan teritorial untuk Pileg dan Pilpres 2019 karena pendukung calon-calon tidak terbelah,” ujar Arya.

Selama memimpin Gerindra, Prabowo telah mampu membawa partai ini dari partai peringkat papan tengah menuju partai papan atas. Namun, apakah Gerindra akan membawa Prabowo menang (jika ia memang maju lagi pada Pilpres 2019 sebagai pertandingannya yang ketiga)?

Baca juga artikel terkait PARTAI GERINDRA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani