tirto.id - Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua merespons perihal kriminalisasi terhadap sembilan mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi (USTJ) Jayapura.
Sembilan orang itu diduga membentangkan bendera Bintang Kejora dalam protes damai di lingkungan kampus, sehari usai pemerintah Indonesia mengklaim keberhasilan di bidang HAM dalam sesi UPR ke-41 di Dewan HAM PBB.
"Pada prinsipnya 'pemberitahuan secara tertulis tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan', sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (4), UU Nomor 9 Tahun 1998," ucap Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Emanuel Gobay, Senin (14/11/2022).
Emanuel mempertanyakan kehadiran aparat dari Polres Kota Jayapura di dalam kampus pada 10 November 2022. Apalagi aparat kepolisian datang dengan memakai pendekatan penanganan aksi anti huru-hara.
Semestinya, kata Emanuel kepolisian menerapkan pendekatan humanis jika beralasan ada dua perangkat aksi bermotif Bintang Kejora.
Pendekatan Humanis dimaksud juga sejalan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang tidak mengatur perihal jika orang atau sekelompok orang menggelar demonstrasi menggunakan bendera bermotif Bintang Kejora ditangkap atau dibubarkan secara paksa.
"Pendekatan penanganan aksi huru-hara dalam wilayah USTJ jelas bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 juncto Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007," terang Emanuel.
Akibat peristiwa itu, penyidik Polres Kota Jayapura menetapkan 9 dari 15 mahasiswa sebagai tersangka.
"Selain menjadi tersangka pengibaran bendera Bintang Kejora, mereka juga disangkakan telah menyerang aparat keamanan di USTJ, " kata Kapolresta Jayapura Kota Kombes Pol Victor D. Mackbon.
Sembilan tersangka yakni RNRK (23), MW (23), AH (19), TMGS (21), NM (23), DW (19), YEMN (20), AFE (22) dan DT (25). Empat inisial terakhir bukanlah mahasiswa USTJ.
YEMN, AFE dan DT dikenakan Pasal 106 KUHP, sementara RNRK, DW, MW, AH, TMGS dan NM dikenakan Pasal 212 KUHP.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto