Menuju konten utama

Koalisi Gemuk Hanya Buat Jokowi Bingung Ambil Keputusan Pro-Rakyat

Koalisi gemuk dinilai justru akan membuat Jokowi kesulitan dalam mengambil keputusan yang pro-rakyat, tapi ditentang partai koalisi.

Presiden Joko Widodo (kanan) melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

tirto.id - Joko Widodo dipastikan akan mendapatkan dukungan penuh dari legislatif di periode kedua pemerintahannya. Dari sembilan partai politik yang lolos ke parlemen, lima di antaranya merupakan pengusung saat Pilpres 2019, yaitu: PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP.

Empat parpol sisanya merupakan pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lawan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Namun, saat ini dua partai dalam barisan itu: Gerindra dan Demokrat kemungkinan besar akan hijrah bergabung ke dalam barisan pendukung Jokowi.

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada Kamis (10/10/2019) diundang Jokowi ke Istana Negara. Salah satu yang dibahas adalah mengenai koalisi pasca Jokowi-Ma'ruf dilantik nanti. Prabowo pun juga diundang Jokowi, Jumat (10/10/2019) siang.

Secara otomatis, bila Demokrat dan Gerindra jadi bergabung akan menambah gemuk koalisi pendukung Jokowi.

Koalisi gemuk pendukung pemerintah ini awalnya memang akan menguntungkan Jokowi. Sebab, Jokowi tak perlu susah payah melobi legislatif lantaran mayoritas isi parlemen adalah parpol pendukung pemerintah.

“Diharapkan setiap kebijakan politik eksekutif dengan mudah disetujui oleh legislatif,” kata Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar kepada reporter Tirto, Jumat (11/10/2019).

Namun, kata Rully, akan sangat berbahaya bila mayoritas fraksi di DPR RI adalah pendukung pemerintah. Sebab, demokrasi tak akan berjalam dengan baik dan sistem pengawasan atau check and balances hanya akan sekadar formalitas saja.

Kekuatan oposisi yang masih bertahan pun akan diredam oleh pemerintah dan parlemen yang saling mendukung. Padahal, kata Rully, oposisi tetap dibutuhkan.

"Oposisi bukan hanya sebagai penyerang pemerintah, tapi juga sebagai pemberi alternatif kebijakan,” kata Rully.

Jika mayoritas parpol sudah menjadi koalisi pemerintah, maka masalah selanjutnya DPR hanya akan menjadi ruang jual beli kepentingan politis saja. Tidak akan ada dinamika pengawasan kinerja kementerian dan lembaga negara yang independen.

"Yang akan terjadi kongkalingkong, saling mengamankan, dan jual beli kepentingan. Juga akan semakin menguatkan oligarki dan dinasti politik,” ucap Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin kepada reporter Tirto, Jumat (11/10/2019).

Bila tak ada oposisi, kata Ujang, tak akan ada pengawasan yang objektif lagi dari parlemen terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga yang akan terjadi, kata Ujang, semakin tumbuh suburnya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Kekuasaan itu akan cenderung korup atau disalahgunakan. Dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup secara absolut pula," kata Ujang.

Gerindra Klaim Tetap Lakukan Check and Balance

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengklaim partainya tetap akan melakukan check and balance meski nanti akan bergabung ke jajaran pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

"Seandainya siapapun itu, baik yang sekarang ini koalisi pemerintah yang kemudian masuk dalam pemerintahan, saya pikir yang di legislatif juga harus menjalankan fungsi pengawasan cek and balances gitu," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/10/2019).

Dasco yang saat ini menjadi Wakil Ketua DPR mengatakan, anggota legislatif dari partai manapun wajib melakukan check and balance.

Menurut dia, tak perlu ada yang dikhawatirkan bila ada partai yang tadinya di barisan oposisi kemudian bergabung ke pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

"Di luar pemerintahan maupun di dalam pemerintahan juga wajib [mengawasi]. Apalagi yang di parlemen," kata Dasco.

Sementara PKS yang akan ditinggalkan Gerindra akan tetap menjaga demokrasi melalui proses check and balance.

“PKS konsisten oposisi kritis dan kontruktif, pertarungan ke depan adalah kompetisi karya dan gagasan,” kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada reporter Tirto, Jumat (11/10/2019).

Jokowi Akan Bingung Ambil Keputusan Pro-Rakyat

Menurut Rully koalisi gemuk pendukung pemerintah ini justru bisa menjadi blunder bagi Jokowi.

Rully mengatakan, Jokowi akan kesulitan dalam mengambil keputusan, khususnya kebijakan yang dinanti-nantikan rakyat, tapi ditentang partai koalisi pendukung pemerintah.

Ia mencontohkan polemik Perppu KPK. Di satu sisi, Jokowi mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK setelah didemo mahasiswa di sejumlah daerah.

Namun, keinginan Jokowi itu justru ditentang oleh sejumlah parpol koalisi pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf. Ketua Umum Nasdem Surya Paloh bahkan pernah menyingung soal pemakzulan bila Jokowi menerbitkan Perppu KPK.

Rully mengatakan, masalah seperti itu merupakan konsekuensi dari koalisi gemuk pendukung pemerintah. Akibatnya, Jokowi sendiri akan kerepotan mengambil keputusan yang dikendaki publik, tapi ditentang partai koalisi.

“Ada banyak kepentingan didalamnya. Jokowi tidak mungkin bisa berdiri sendiri dan pasti kebingungan mengambil jalan tengah dalam sebuah kebijakan,” kata Rully.

Baca juga artikel terkait KABINET JOKOWI-MARUF atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz