tirto.id - Minggu ini, informasi mengenai ratusan mahasiswa di Bandung yang positif HIV ramai diperbincangkan. Pasalnya, beberapa laporan di media dan informasi yang tersebar di media sosial, termasuk Twitter, menyebut bahwa per Desember 2021, ada 12.358 kasus HIV/AIDS pada rentang usia 20-29 tahun dan bahwa mahasiswa menyumbang 6,9 persen dari kasus secara umum. Disebut pula bahwa persentase ini artinya ada ratusan mahasiswa Bandung yang positif HIV/AIDS.
Informasi ini bisa dikatakan membuat panik masyarakat, hingga Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhaul Ulum, menyatakan baru-baru ini bahwa solusi untuk mencegah HIV/AIDS yang meningkat di Jawa Barat adalah dengan menikah dan poligami.
Informasi yang beredar memang ada yang menggarisbawahi statistik tanpa konteks serta pertambahan jumlah kasus semata, sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan pemahaman. Namun, seperti apakah konteks data ini dan seperti apa data utuhnya? Lalu, seperti apa perkembangan kasus HIV secara nasional? Benarkah kasus HIV di generasi muda, terutama pada usia mahasiswa, berjumlah banyak?
Klarifikasi Data Bandung
Sejak isu ini ramai dibicarakan menyusul beberapa pemberitaan soal data kasus HIV/AIDS di Bandung pada 23 Agustus, Humas Pemerintah Kota Bandung memberikan klarifikasi mengenai isu ini di laman resminya pada 26 Agustus.
Perlu dicatat bahwa di awal tulisan, Humas Kota Bandung menekankan bahwa di luar data, kasus HIV/AIDS di kota Bandung seperti fenomena gunung es. Kemudian, katanya, kondisi ini bisa semakin diperparah dengan stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat terhadap para pengidap HIV/AIDS. Padahal, deteksi dini bisa meningkatkan harapan hidup sehat dan produktif bagi penderita.
Mengenai data, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, dr. Ira Dewi Jani, menyatakan pada laman tersebut bahwa jika seseorang telah terdiagnosa HIV dan tercatat, serta terlaporkan dalam Sistem Informasi HIV (SIH), maka datanya akan terus ada sampai meninggal. Sehingga jumlah kasusnya termasuk kumulatif.
Jadi, terkait data yang banyak beredar tersebut, jumlah kasus di Bandung ini bersifat kumulatif.
"Kasusnya itu kita kumpulkan berdasarkan laporan selama 30 tahun dari 1991-2021. Jumlah total kasusnya sampai dengan Desember 2021 mencapai 5.843. 6,97 persennya mahasiswa atau terdapat 407 kasus selama 30 tahun," katanya.
Baca selengkapnya di artikel "Cacat Logika Wagub Jabar soal Poligami Solusi Cegah HIV/AIDS", https://tirto.id/gvHV
Kemudian, dr. Ira juga sempat menyatakan pada BBC Indonesia bahwa karena 407 kasus positif HIV/AIDS itu adalah jumlah kasus kumulatif selama 30 tahun, bisa jadi pada saat diagnosis, yang bersangkutan masih mahasiswa, tapi kini sudah bukan mahasiswa lagi.
"Soalnya kalau yang tercatat sebagai mahasiswa selama 2021 hanya 11 orang," katanya dinukil dari BBC Indonesia.
Menurut Ira pula, jika dirata-ratakan per tahun, kasus HIV/AIDS di Kota Bandung mencapai 300-400 kasus. Dari data yang dikumpulkan Dinas Kesehatan Kota Bandung sepanjang 30 tahun terakhir, usia paling banyak yang terkena HIV/AIDS adalah 20-29 tahun.
"HIV ini perjalanan penyakitnya 3-10 tahun. Kalau daya tahan tubuhnya tidak baik, 3 tahun dia sudah menunjukkan gejala ke arah AIDS. Kalau daya tahan tubuhnya bagus, baru bisa kelihatannya 10 tahun kemudian," jelasnya di laman Humas Kota Bandung.
Menanggapi isu jumlah penderita HIV/AIDS di kota Bandung ini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga memberikan klarifikasi melalui akun Instagram pribadinya. Beliau menyampaikan hal senada dengan dokter Ira.
Ridwan Kamil mengunggah tangkapan layar berita Detik dan menuliskan deskripsi unggahan, “KOREKSI BERITA: 414 Kasus HIV di kalangan mahasiswa Kota Bandung itu adalah AKUMULASI data selama 30 tahun: 1991-2021. Bukan data dalam 1 tahun," katanya.
Beliau juga menyampaikan berbagai program yang dilakukan Pemerintah Jabar untuk mendeteksi dan menangani masalah HIV di daerah tersebut. Ridwan Kamil juga menyampaikan ketidak setujuannya akan pendapat Wagub Uu Ruzhanul Ulum terkait poligami sebagai solusi.
Bagaimana Kondisi HIV Di Indonesia?
Menurut laporan Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) Kementerian Kesehatan triwulan I 2021, jumlah kumulatif orang dengan HIV (ODHIV) yang tercatat dari 1987 sampai dengan Maret 2021 sebanyak 427.201 orang. Sementara itu, jumlah kumulatif penderita AIDS yang dilaporkan pada periode itu sebanyak 131.417.
Persentase infeksi HIV tertinggi dari 2010 hingga Maret 2021 dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (70,7 persen), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15,7 persen), dan kelompok umur di atas 50 tahun (7,1 persen).
Berdasarkan cara penularan atau transmisi, untuk data total, kebanyakan lewat hubungan heteroseksual (30 persen) dan homoseksual (17,5 persen).
Lalu, berdasarkan data dari SIHA, penambahan kasus HIV paling banyak tercatat pada tahun 2019, hingga 50.200 lebih kasus. Kasus AIDS sendiri paling banyak dicatat tahun 2013, yakni sekitar 12.200 kasus. Pada 2020, ditemukan sekitar 8.600 kasus.
Untuk jumlah penderita AIDS, secara kumulatif hingga Maret 2021, mirip dengan HIV, usia 20-29 tahun mendominasi (31,9 persen) disusul usia 30-39 tahun. Cara penularan juga didominasi dengan hubungan heteroseksual (70,1 persen).Yang menarik, untuk data kumulatif nasional sejak tahun 2005 hingga 2021 ini, seperti juga data di Bandung, mahasiswa lagi-lagi bukan profesi yang paling banyak tercatat kasus HIV/AIDS-nya.
Bagaimana dengan tren terbarunya?Perlu diketahui, penambahan jumlah kasus HIV/AIDS pada medio Januari-Maret 2021 adalah 7.650 orang. Dari jumlah itu, penambahan paling banyak berada di Jawa Tengah (1.125 kasus), diikuti dengan Jawa Barat (1.115 kasus), dan DKI Jakarta (964 kasus).
Masih dari laporan SIHA triwulan I 2021, orang dengan HIV yang tercatat pada periode Januari-Maret 2021, sebagian besar terdapat pada kelompok umur 25-49 tahun (71,3 persen). Kelompok kedua yang banyak ditemukan adalah usia 20-24 tahun, yakni 16,3 persen.
Sementara itu, untuk jumlah penemuan kasus AIDS yang dilaporkan pada Januari-Maret 2021 adalah sebanyak 1.677 orang. Lima provinsi dengan jumlah kasus AIDS dilaporkan terbesar berturut-turut adalah Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.
Untuk kasus AIDS, trennya agak berbeda. Kelompok umur 30-39 tahun merupakan kelompok dengan persentase AIDS tertinggi (36 persen), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (29 persen).
Perlu diketahui bahwa kasus yang ditemukan ini bukanlah representasi dari masalah HIV AIDS di Indonesia. Data ini dihimpun dari layanan HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) kabupaten dan kota. Jumlah kabupaten/kota yang pernah melaporkan kasus HIV AIDS sampai dengan Januari 2021 sebanyak 498 dari 514 kabupatan/kota di seluruh Indonesia.
Hal ini juga terlihat di tren tahun 2011 hingga 2019, seperti dikutip dari laporan SIHA Kemenkes tahun 2019. Kelompok usia produktif 25-49 tahun merupakan kelompok yang paling banyak tertular HIV dari rentang waktu 2011 hingga Juni 2019.
Pada 2017 misalnya, terdapat sekitar 33.400 orang berusia 25-49 tahun yang dilaporkan terdeteksi HIV. Kemudian, kelompok usia 20-24 tahun merupakan paling banyak kedua yang tertular HIV selama 2011 hingga 2019.Dari semua data ini, bisa disimpulkan bahwa memang untuk kasus HIV yang tercatat pemerintah, usia yang paling dominan adalah 25-49 tahun, bukan usia mahasiswa. Sementara untuk kasus AIDS, secara umum didominasi usia 20-29 tahun.
Lalu tak seperti anggapan stigma bahwa HIV adalah masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), penularannya, baik HIV dan AIDS, secara umum didominasi hubungan heteroseksual.
Stigma Yang Menyebabkan Masalah Gunung Es
Pada laman Humas Kota Bandung, dr. Ira juga menyorot fenomena bahwa banyak orang yang malu untuk tes HIV/AIDS, padahal tes penting untuk pengobatan yang bisa mencegah orang tersebut masuk ke fase AIDS.
"Maka dari itu, kita harus hilangkan dulu stigma dan diskriminasinya agar seseorang itu mau untuk dites HIV," katanya.
Menurutnya, seseorang baru bisa didiagnosa HIV setelah dia melakukan tes karena tidak ada tanda dan gejala spesifik bagi orang yang terkena HIV. Penjelasan dokter Ira juga sekaligus mengonfirmasi bahwa seseorang tidak bisa mendiagnosa diri sendiri apakah ia terkena HIV atau tidak.
Laporan dari United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) misalnya menyebut bahwa dari 2017-2021, sekitar hampir 40 persen orang dengan HIV di Indonesia merasa malu menjadi ODHIV. Laporan yang sama juga mencatat lebih dari 10 persen ODHIV yang mendapat stigma ketika berobat ke pelayanan kesehatan. Padahal stigma dan diskriminasi adalah salah satu hambatan utama yang perlu diatasi agar ODHIV dapat mengakses layanan kesehatan.
Sementara itu, menurut dr. Ira, pengobatan HIV/AIDS telah dijamin oleh pemerintah. Sehingga, Ira berpesan, jangan sampai para pengidap HIV/AIDS merasa seperti divonis mati.
Editor: Farida Susanty