tirto.id - Belum lama ini Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bangga memamerkan data statistik kemiskinan terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Sri Mulyani mengklaim bahwa capaian itu yang pertama dalam sejarah. Klaim ini memunculkan pertanyaan soal realitas di atas kertas dengan di lapangan.
Capaian persentase kemiskinan yang angkanya makin kecil maka menandakan orang miskin Indonesia di atas kertas makin berkurang, dan tentu jadi prestasi rezim yang berkuasa.
Sri Mulyani menyebut, persentase kemiskinan pada Maret 2018 tercatat sebesar 9,82% terhadap jumlah penduduk. Angka tersebut turun dari persentase pada September 2017 yang mencapai 10,12%. “Saya menyambutnya dengan perasaan istimewa. Selama menjadi menteri keuangan, kemudian [menjabat] di Bank Dunia, dan kembali lagi jadi menteri keuangan, saya cukup terobsesi dengan penurunan kemiskinan,” kata Sri Mulyani.
Menurutnya, beberapa era pemerintahan sebelumnya belum pernah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 10% terhadap jumlah penduduk. Ia sempat menyinggung pemerintahan Soeharto yang baru mendekati angka 10% saat sudah memasuki repelita kelima, tapi harus terkena hantaman krisis moneter pada 1998 yang mengakibatkan angka kemiskinan melonjak ke kisaran 24% pada 1998. Capaian terbaik Orde Baru hanya mencapai 11,3% dari jumlah penduduk.
Begitu pun saat masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sri Mulyani mengklaim, saat dirinya menjabat menkeu di era SBY, angka kemiskinan kala itu berada stagnan di kisaran 14-17%.
“Jadi menurunkan angka kemiskinan di bawah 10% ini merupakan pencapaian tersendiri. Kami ingin menurunkannya lebih lanjut,” kata Sri Mulyani.
Dengan persentase sebesar 9,82%, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2018 ada sebanyak 25,95 juta orang. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 633,2 ribu orang, dari yang sebelumnya tercatat sebesar 26,58 juta orang pada September 2017. Selain penduduk miskin, yang perlu diingat ada juga penduduk yang hampir miskin, jumlahnya
Namun, di balik angka kemiskinan yang turun ternyata masih ada disparitas yang relatif tinggi antara masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan. Hal inilah yang kemudian turut mempengaruhi tingkat ketimpangan antara masyarakat di desa dan kota. Pemerintah masih memiliki segudang pekerjaan rumah untuk memastikan data tersebut benar-benar berkualitas.
Sri Mulyani mengaku bakal segera mengevaluasi program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan terkait masih adanya disparitas kemiskinan di kota dan desa. Ia juga menyebutkan pemerintah akan mengevaluasi transfer dana desa yang terus meningkat dari waktu ke waktu guna menjamin kualitas dan tata kelolanya.
BPS mencatat persentase penduduk miskin di perkotaan pada Maret 2018 ada sebanyak 7,02 persen. Sementara penduduk miskin di pedesaan, jumlahnya hampir dua kali lipatnya, yakni sebesar 13,20 persen.
Bila melihat catatan sejak 2016, tren semacam itu memang sudah terjadi, tapi angkanya terus menurun. Pada September 2016 misalnya, BPS mencatat ada 7,73 persen penduduk miskin di perkotaan dan 13,96 persen di pedesaan.
Kepala BPS Suhariyanto menilai, tren angka kemiskinan Indonesia menunjukkan pergerakan yang signifikan. Ia pun mengimbau agar pemerintah terus berfokus membuat kebijakan yang mampu memecahkan masalah kemiskinan secara multidimensional, serta meningkatkan kualitas program pengentasan kemiskinan dan bantuan sosial.
“Beberapa tahun lalu memang lamban sekali. Pak Presiden pun bertanya-tanya. Namun kita lihat pada September 2017 itu turunnya signifikan. Kalau ditanya apa sudah sesuai harapan? Belum. Tapi saya pikir ada perkembangannya,” kata Suhariyanto, di kantornya, Jakarta, Senin kemarin (16/7/2018).
Tingkat kemiskinan di Indonesia per Maret 2018 memang masih lebih tinggi ketimbang beberapa negara di kawasan ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Pada 2016 misalnya, persentase penduduk miskin di Malaysia hanya sebesar 0,4 persen. Sementara di Thailand pada tahun yang sama sebesar 8,6 persen.
Namun, penduduk miskin di Indonesia masih lebih rendah ketimbang Filipina dan India. Di sepanjang 2015, persentase penduduk miskin di Filipina berada di kisaran 21,6 persen, sementara BPS mencatat angka kemiskinan pada Maret 2015 dan September 2015, masing-masingnya sebesar 11,22 persen dan 11,13 persen.
Persentase penduduk miskin di India pada 2011-2012 berada di angka 21,9 persen, sedangkan di Indonesia sendiri dalam kurun waktu tersebut hanya 11-12 persen.
Apakah angka-angka ini mencerminkan kenyataan di lapangan?
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memberikan catatan dalam laporan terbaru dari BPS terbaru ini. Bhima menyoroti klaim BPS yang menyebutkan bahwa kelompok penduduk 40 persen terbawah tercatat mengalami kenaikan dari segi pengeluaran. Seperti diketahui, pada September 2017 lalu, BPS mengkategorikan garis kemiskinan adalah mereka yang maksimal pengeluarannya per kapita per bulan adalah Rp400.995 untuk masyarakat kota, atau Rp370.910 untuk desa.
Bhima menduga, pengeluaran yang meningkat dan angka persentase kemiskinan turun karena momentum survei oleh BPS. Kegiatan survei saat mendekati masa pemberian bantuan sosial, Bhima menduga survei BPS dilakukan saat panen raya tengah berlangsung di berbagai daerah.
“Sebanyak 60 persen penduduk miskin ini bekerja di sektor pertanian, dengan menjadi buruh tani. Saat terjadi panen raya, itu akan tergambar seakan-akan ketimpangan menurun,” ujar Bhima kepada Tirto pada Selasa (17/7/2018).
Sementara dari segi kelompok penduduk 20 persen teratas yang seharusnya pengeluarannya besar, Bhima malah mendapati data adanya penurunan. Pengeluaran dari penduduk kaya yang kalah tinggi itulah yang lantas diduganya sebagai bentuk menahan konsumsi.
“Untuk data kemiskinan dan ketimpangan ini memang masih sangat bias. Karena bukan pendapatan yang menjadi basis perhitungan, namun pengeluarannya,” ujar Bhima.
Bhima menyebutkan apabila basis perhitungan data kemiskinan menggunakan parameter pengeluaran, maka belum mampu menangkap seluruh uang yang dimiliki masyarakat. Dari total pendapatan seseorang, sangat mungkin apabila sebagian uangnya tidak dibelanjakan melainkan untuk ditabung, artinya pengeluaran tak bertambah.
Ia mengatakan bahwa jumlah uang tabungan itulah yang kemudian tidak bisa dihimpun datanya oleh BPS. Artinya potensi angka-angka di atas kertas makin jauh dari kenyataan di lapangan.
“Dari dulu kami sudah konsisten mendata pengeluaran. Karena memang lebih sulit juga untuk mendata pendapatan. Tentu akan lebih mudah menanyakan pengeluaran tanpa memedulikan dari mana pendapatannya per bulan,” jelas Bhima.
Adapun penghitungan statistik kemiskinan yang mengacu pada pendapatan itu, kata Bhima, biasanya dilakukan lembaga-lembaga survei di sejumlah negara lain. Tak sekadar pendapatan, bahkan ada juga yang melakukan pendataan aset sehingga temuan pun tak jarang jauh lebih fantastis.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz