Menuju konten utama

Padat Karya Tunai, Program Gaya Lama Jelang Pemilu

Program padat karya hampir hadir di setiap pemerintahan. Namanya bermacam-macam, tapi ada yang mengaitkannya dengan jelang Pemilu.

Padat Karya Tunai, Program Gaya Lama Jelang Pemilu
Presiden Joko Widodo meninjau kegiatan pengerukan atau normalisasi Sungai Wai Hatukau di Desa Batu Merah, Ambon, Maluku, Rabu (14/2/2018). ANTARAFOTO/izaac mulyawan

tirto.id - Di sebuah pematang sawah di Lampung, Presiden Jokowi tampak mondar-mandir bak mandor yang sedang mengawasi pekerjaan anak buahnya. Kedua tangannya sedekap ke sisi belakang badan, sesekali tangannya menunjuk sambil membuka pembicaraan dengan warga dan aparat pemerintah setempat.

Penggambaran lengkap kegiatan Jokowi ini terekam pada sebuah video yang diunggah akhir Januari 2018 lalu berjudul "Lagi Jadi Mandor Proyek, Pak Jokowi Tinjau Program Padat Karya Saluran Irigasi di Lampung Selatan." Jokowi sempat bertanya ihwal upah yang diberikan kepada para petani yang ikut program padat karya tunai.

“Saya sempat tanya langsung ke petani, upahnya berapa membangun irigasi ini? Untuk tukang itu dapat upah sebesar Rp100.000, dan pembantu tukang sebesar Rp80.000. Nanti, dibayar setiap minggu,” katanya

Pembangunan saluran irigasi di Lampung ini merupakan bagian dari Program Padat Karya Tunai yang digalakkan pemerintah mulai 2018. Tujuan program ini mulia, untuk meningkatkan pendapatan, konsumsi dan daya beli masyarakat di pedesaan, juga menambah perputaran uang di desa, hingga mengerek pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah berencana melaksanakan program Padat Karya Tunai pada 1.000 desa di 100 kabupaten secara bertahap hingga akhir tahun ini. Pada tahap pertama, program itu akan dilakukan di 10 kabupaten untuk 100 desa, yakni Kabupaten Rokanhulu, Pemalang, Brebes, Ketapang, Gorontalo, Maluku Tengah, Lombok Tengah, Lampung Tengah, Cianjur, dan Lanny Jaya.

Dasar program Padat Karya Tunai ini diatur di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional No. 140-8698/2017, No. 954/KMK.07/2017, No. 116/2017 dan No. 01/SKB/M.PPN/12/2017, yang ditetapkan bersama-sama empat menteri pada 18 Desember 2017.

Dalam SKB itu Padat Karya Tunai memang hanya satu dari tujuh aspek percepatan pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang menjadi dasar SKB. Kesepakatan ini juga mengatur khusus pelaksanaan Padat Karya Tunai. Pertama, maksimal 5 kegiatan sesuai kebutuhan dan prioritas desa. Kedua, cakupan kegiatan Padat Karya Tunai antara lain seperti pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan.

Ketiga, memperhatikan besaran upah, seperti upah yang setara dengan upah buruh tani, upah dibayar minimal 30 persen dari pekerjaan fisik, dan dibayar secara harian atau mingguan. Keempat, dilakukan tidak bersamaan dengan masa panen. Kelima, keberlanjutan program selama setahun, dan mengoptimalkan peran pendamping desa.

Untuk program Padat Karya Tunai 2018, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp18 triliun atau 30 persen dari anggaran dana desa yang sebesar Rp60 triliun. Selain dari anggaran desa, Padat Karya Tunai juga memiliki sumber pendanaan lainnya. Sumber dana itu berasal dari anggaran kementerian/lembaga.

Misalnya, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Kelautan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Kementerian Perhubungan misalnya, mengalokasikan anggaran senilai Rp1,27 triliun untuk program padat karya tunai pada tahun ini. Nanti, belanja upah itu akan membiayai sebanyak 70.858 tenaga kerja pada 831 desa di 739 kabupaten.

Bukan Hal Baru Menjelang Pemilu

Padat Karya Tunai bukan lah barang baru dalam nomenklatur program pemerintah. Setidaknya program sejenis dengan nama-nama yang mirip disisipkan kata "tunai" atau "langsung" pernah muncul. Masih ingat dengan Bantuan Langsung Tunai atau BLT? lalu diperhalus dengan istilah Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang kemudian dipelesetkan menjadi "Balsem".

Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), program ini bertujuan membantu masyarakat tak mampu akibat kebijakan kenaikan harga BBM. Pada masa itu ada istilah "memberi ikan", "memberi kail", dan "memberi jala" kepada masyarakat. Istilah yang pertama merujuk pada bantuan langsung, sedangkan memberi kail identik dengan padat karya—masyarakat dilibatkan aktif untuk diberikan pekerjaan dengan imbalan uang dari pemerintah. Sedangkan istilah memberi jala melekat pada bantuan program pembiayaan usaha.

Dalam konteks padat karya, program sejenis sudah setidaknya sudah digalakkan sejak era Orde Baru. Program padat karya yang dibentuk saat Soeharto mencakup program Inpres Desa Tertinggal. Program yang dimulai pada 1994 itu memiliki misi membantu masyarakat untuk keluar dari garis kemiskinan.

Dari program itu, pemerintah menyalurkan dana sebesar Rp20 juta per desa setiap tahunnya. Desa penerima akan mendapatkan dana bantuan langsung selama tiga tahun berturut-turut, sehingga total dana yang terima setiap desa mencapai Rp60 juta.

Kegiatan sejenis padat karya berganti nama saat era B.J Habibie, dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada 1998. Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp3,4 triliun untuk program JPS. JPS adalah kebijakan pemerintah untuk meminimalisir dampak primer dan sekunder krisis melalui integrasi berbagai program, khusus dirancang mengatasi dampak negatif krisis maupun pengurangan kemiskinan.

Program serupa juga dilakukan pada saat era SBY. Kala itu, kegiatan padat karya masuk ke dalam lingkup kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

Program Padat Karya Tunai bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat, terutama para petani. Apalagi, jadwal kegiatan Padat Karya Tunai tersebut juga disesuaikan ketika petani menganggur, yakni di luar musim tanam dan panen.

Chatib Basri, Menteri Keuangan periode 2013-2014, menilai Padat Karya Tunai berpotensi menaikkan konsumsi masyarakat menengah ke bawah, asalkan benar-benar dapat menyentuh langsung kepada masyarakat yang belum bekerja.

“Itu di mana orang kerja, kemudian dikasih uang tunai. Kalau mereka punya uang tunai, pasti akan dibelanjakan. Dengan orang belanja, permintaan akan naik. Pertumbuhan ekonomi pun bisa terdorong,” katanya kepada Tirto.

Selain meningkatkan daya beli masyarakat, program Padat Karya Tunai ini memang melekat dengan anggapan sebagai alat untuk mendongkrak popularitas pemerintah. Apalagi, program ini akan dilaksanakan hingga akhir 2018, mepet-mepet dengan digelarnya Pemilu.

Sejak awal Januari 2018, Jokowi memang telah beberapa kali terjun langsung ke desa-desa untuk memastikan program Padat Karya Tunai dilaksanakan. Interaksi langsung itu tentunya akan menambah kedekatan presiden dengan kaum petani di pedesaan.

infografik rezim padat karya

Sekadar contoh lain, saat BLT bergulir pada era SBY terjadi menjelang Pilpres 2009. Saat itu, program BLT memang dihujani berbagai kritik, selain juga menarik simpatik.

“[Padat Karya Tunai] mirip dengan program BLT dari SBY ketika menjelang Pemilu 2009. Konsepnya kurang lebih sama,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada Tirto.

Program BLT dimulai pada 2005, melalui Inpres No. 12/2005 tentang Pelaksanaan BLT Kepada Rumah Tangga Miskin. Nominal pembayaran BLT kala itu sebesar Rp300.000, dan dibayar sebanyak empat kali selama 12 bulan.

Pada 2008, program BLT digulirkan lagi oleh pemerintah, menyusul kenaikan harga BBM. Melalui Inpres No. 3/2008, nominal pembayaran BLT sebesar Rp300.000-Rp400.000, dan diberikan sebanyak dua kali dalam kurun waktu 7 bulan.

Jelang Pilpres pada Juli 2009, program BLT kembali digulirkan. Kali ini, nominal pembayaran BLT sebesar Rp100.000 per bulan, dan dibayarkan dua kali. Jumlah penerima BLT pada 2009 mencapai 18,5 juta rumah tangga sasaran.

Bhima menilai program sosial yang digulirkan pemerintah, terutama menjelang Pilpres sudah lazim. Pemerintah memang memiliki hak untuk membuat program, dan bebas menentukan kapan dimulainya programnya. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah mengenai transparansi anggaran dan ketepatan sasaran program. Jangan sampai, program itu justru menimbulkan persoalan baru di masa mendatang.

Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo membantah anggapan yang membandingkan Program Padat Karya Tunai yang mirip dengan BLT di era pemerintah sebelumnya. Menurutnya, Padat Karya Tunai tidak ada hubungannya dengan Pilpres 2019.

"Program ini digagas dan dimulai sejak tahun lalu, dan sebagai bentuk program untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat kecil melalui proyek padat karya di beberapa Kementerian. Tidak ada hubungannya dengan Pilpres 2019, terlalu jauh analisa itu," ujarnya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PROGRAM PADAT KARYA TUNAI atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra