Menuju konten utama

Subsidi Energi Jadi BLT, Upaya Tepat Sasaran dan Risiko Korupsi

Pengelolaan dan penyaluran dana BLT dapat menjadi sasaran praktik korupsi jika tidak dilakukan dengan transparan dan pengawasan yang ketat.

Subsidi Energi Jadi BLT, Upaya Tepat Sasaran dan Risiko Korupsi
Warga menunjukkan uang bantuan langsung tunai (BLT) El Nino di Desa Dutohe, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Rabu (27/12/2023). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/tom.

tirto.id - Pemerintahan tengah mengkaji opsi baru dengan mengubah mekanisme subsidi energi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat. Tujuan kebijakan ini untuk memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran dalam mendukung daya beli masyarakat, khususnya yang terdampak oleh lonjakan harga energi.

"Jadi subsidi tetap ada, cuma ada yang berbentuk cash dan ada yang berbentuk barang," kata Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dalam konferensi pers usai rapat koordinasi pembahasan skema penyaluran subsidi energi tepat sasaran di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (4/11/2024).

Bahlil mengatakan, untuk menyalurkan subsidi menjadi BLT dirinya akan terlebih dulu menunggu data calon penerima dari PT Pertamina (Persero) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Namun, jika subsidi diberikan dalam bentuk barang, maka akan diatur secara rinci siapa saja yang berhak mendapatkan akses terhadap BBM bersubsidi.

Jika keduanya telah disetujui Presiden Prabowo Subianto, ia akan menuangkan kebijakan penyaluran subsidi BBM ke dalam aturan baru atau memasukkannya ke dalam aturan yang sudah ada. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

"Setelah ada keputusan formulasi, baru kami putuskan. Apakah memang ke aturan baru atau ke aturan lama, nanti kami putuskan," kata Bahlil.

Penasihat Khusus Presiden Urusan Ekonomi, Bambang Brodjonegoro, mengatakan secara khusus memang perlu ada perubahan skema subsidi. Alasannya, subsidi BBM yang ada saat ini tidak lagi efektif, bahkan cenderung kurang tepat sasaran. Maka, menurutnya, jika menggunakan skema subsidi lewat BLT yang disalurkan langsung ke keluarga yang membutuhkan dinilai akan jauh lebih efektif.

Bambang mengatakan, dengan skema BLT masyarakat diharapkan tidak khawatir mengenai risiko daya beli yang bakal menurun. Ia menilai bantuan langsung dari pemerintah mampu menjaga daya beli masyarakat agar tidak terganggu sehingga meminimalkan risiko terjadinya inflasi.

“Jadi bantuan langsung itu diberikan sebagai upaya untuk menjaga agar daya beli tidak terganggu oleh kenaikan harga. Itu esensi dari perubahan subsidi harga menjadi bantuan tepat sasaran,” ucap Bambang dikutip dari Antara.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengamini pengalihan subsidi BBM menjadi BLT yang menurutnya memiliki potensi besar untuk lebih tepat sasaran.

Namun dia mengingatkan jangan sampai pemerintah mengulangi pola kebijakan era Jokowi yang lebih banyak mengalihkan subsidi BBM ke proyek-proyek infrastruktur daripada bantuan langsung yang mendukung daya beli masyarakat miskin.

“Pengalihan subsidi BBM sebaiknya diwujudkan dalam bentuk bantuan sosial tunai yang langsung diterima oleh penerima manfaat tanpa perantara,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (5/11/2024).

Bahlil Lahadalia usai menemui Prabowo

Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, usai menyambangi kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

Celah Korupsi dalam BLT

Dengan alih bentuk subsidi energi dari subsidi barang menjadi bantuan tunai, pemerintah berupaya memastikan bahwa bantuan tepat diterima oleh masyarakat yang membutuhkan, bukan dinikmati oleh kelompok yang tidak berhak. Namun, beberapa pihak menilai perubahan ini justru membuka peluang bagi penyalahgunaan anggaran.

“Saya sepakat jika subsidi diberikan pada pihak yang tepat. Jika diberikan dengan bentuk BLT, kita sudah punya pengalaman subsidi ditukar dengan BLT akan menimbulkan masalah kebocoran atau korupsi,” ujar pemerhati kebijakan publik, Azas Tigor Nainggolan, kepada Tirto, Selasa (5/11/2024).

Dia menyebut beberapa potensi celah korupsi yang dikhawatirkan antara lain adalah penyalahgunaan data penerima. Proses pendataan masyarakat yang berhak menerima BLT rentan dimanipulasi. Jika data penerima tidak dikelola dengan baik, pihak tertentu bisa saja memasukkan nama-nama fiktif atau yang tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan, sehingga mengarah pada penggelapan dana.

Secara distribusi juga dikhawatirkan tidak transparan. Pengelolaan dan penyaluran dana BLT dapat menjadi sasaran praktik korupsi jika tidak dilakukan dengan transparan dan pengawasan yang ketat. Penyaluran yang tidak sesuai dengan prosedur bisa melibatkan pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan pribadi.

Meskipun tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat miskin dan rentan, lanjut Tigor, tetap ada kekhawatiran dana tersebut malah digunakan oleh pihak yang tidak berhak. Atau bahkan oleh pihak yang seharusnya tidak menerima bantuan sama sekali.

Dalam hal ini, pemerintah sepertinya tidak belajar dari kasus-kasus penyelewengan BLT di masa lalu. Di tingkat aparatur pemerintahan desa, misalnya, penyelewengan BLT dana desa masih rentan terjadi.

Pada 2023, mantan Kepala Desa (Kades) Baruh, Kecamatan Sampang, Kabupaten Sampang, berinisial AM telah ditetapkan tersangka dan ditahan Kejari Sampang. AM ditahan lantaran diduga menyelewengkan uang BLT Rp359 juta yang bersumber dari Dana Desa 2021.

Di tahun yang sama, Kejaksaan Negeri juga menahan mantan Kades Ranuwurung, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, WY. Ia diduga terlibat kasus korupsi senilai Rp136.800.000. Uang tersebut merupakan bantuan BLT dampak COVID-19.

Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, mengatakan dalam konteks kebijakan permasalahan yang dihadapi pemerintah sampai saat ini adalah tidak tepatnya sasaran penerima manfaat subsidi dan terbukanya peluang celah korupsi. Ini akibat pemotongan jumlah nominal subsidi yang diberikan secara langsung seperti BLT.

“Tentu ini jadi peluang celah korupsi akibat pemotongan jumlah nominal subsidi yang diberikan dalam bentuk BLT,” ujar Dewi kepada Tirto, Selasa (5/11/2024).

Sisi lain, Tigor justru mengusulkan subsidi BBM diberikan pada kendaraan umum (pelat kuning) karena akan berdampak positif juga pada sisi yang lain. Kebijakan mencabut subsidi BBM dari kendaraan pribadi dan pemerintah (pelat merah) sisi lainnya juga akan meningkatkan biaya penggunaan kendaraan bermotor pribadi.

“Sehingga kebijakan baru ini akan mendorong masyarakat meninggalkan kendaraan pribadinya dan pindah pada sarana transportasi publik. Juga dari sisi pembuatan kebijakan publik, kebijakan ini jadi benar berpihak pada publik sesungguhnya,” pungkas dia.

ANTREAN PENGISIAN SOLAR TURUN

Petugas mengisi BBM jenis solar ke sebuah truk di salah satu SPBU di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (20/2/2023). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/tom.

Pemerintah Harus Waspada

Di luar itu, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, risiko korupsi selamanya tetap ada. Maka pemerintah harus memastikan beberapa hal penting agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang. Pertama, pemerintah harus benar-benar transparan dalam pendataan dan penyaluran.

Menurut Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Sarmin, pemerintah perlu menjamin bahwa data penerima bantuan dapat dipertanggungjawabkan, dan proses distribusi BLT harus dilakukan dengan transparan, serta mudah diawasi oleh masyarakat dan lembaga independen.

“Pertama adalah akurasi data penerima BLT, saat ini kualitas data kita masih buruk sehingga banyak yang berhak tidak menerima, yang tidak berhak justru menerima, termasuk orang yang sudah meninggal,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (5/11/2024).

Untuk meminimalkan hal tersebut, ungkapnya, maka perlu teknologi yang mumpuni, sehingga penerima menerima langsung BLT tersebut tanpa melewati perantara. Ini penting untuk memotong rantai potensi korupsi. Karena jika masih mengandalkan perangkat desa misalnya, sudah pasti akan dikorupsi.

Menurutnya, rekening ponsel bisa dijadikan alternatif penyaluran tepat sasaran. Terlebih negara dengan populasi besar seperti India sudah menerapkan hal ini.

Pemanfaatan rekening ponsel ini, kata dia, selain lebih mudah prosesnya, pemerintah juga bisa mengirim pesan, motivasi, penyemangat kepada penerima setiap kali transfer dilakukan. Ini bisa membangun kedekatan antara pemerintah dengan rakyat.

“Dalam kondisi data yang akurat dan teknologi yang memadai, BLT jauh lebih superior dari subsidi energi,” jelasnya.

Singkatnya, mengubah subsidi energi menjadi bantuan langsung tunai memang merupakan langkah yang berpotensi membantu masyarakat miskin dan rentan.

Namun, seperti halnya kebijakan besar lainnya, implementasi yang tidak hati-hati bisa membuka celah bagi praktik korupsi. Pemerintah harus memastikan bahwa distribusi BLT dilakukan secara adil, transparan, dan diawasi dengan ketat untuk menghindari penyalahgunaan yang merugikan rakyat.

Baca juga artikel terkait BANTUAN LANGSUNG TUNAI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi